Ketika Ilmu Materi Sulit Diterima, MUNKIN Kamu Perlu Perspektif Ilmu Frekeunsi, Energi, dan Vibrasi
Pernahkah kamu merasa suasana hati seseorang bisa memengaruhi ruangan di sekitarnya? Atau mendengar ungkapan bahwa “semua hal di dunia ini bergetar”? Ternyata, itu bukan hanya kalimat puitis, melainkan cerminan dari energi kita. Dalam berbagai tradisi ilmu pengetahuan dan filsafat, energi dan vibrasi adalah inti dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Di tengah kemajuan sains modern, kita mulai memahami bahwa realitas
kehidupan bukan hanya soal materi yang terlihat, tapi juga tentang energi yang
bergerak dan bergetar dalam frekuensi tertentu. Semuanya, dari tubuh manusia,
suara, cahaya, hingga pikiran, memiliki bentuk energi dan vibrasi yang unik.
Ilmu Frekuensi: Dasar
Fisika dari Kehidupan
Secara ilmiah, frekuensi diukur dalam satuan hertz (Hz) —
yaitu jumlah getaran per detik. Frekuensi bukan hanya konsep musik atau
gelombang radio, tetapi juga menjadi dasar dari seluruh fenomena energi di
alam.
Fisikawan Nikola Tesla pernah berkata:
“Jika kamu ingin memahami rahasia alam semesta, pikirkan
dalam hal energi, frekuensi, dan getaran.”
Pernyataan ini kemudian didukung oleh penelitian modern.
Dalam bidang biologi, sel-sel tubuh manusia memiliki frekuensi alami yang
stabil antara 62–72 Hz dalam kondisi sehat (Healer, 2012). Ketika seseorang
sakit, stres, atau marah, frekuensinya menurun, menyebabkan sistem imun
melemah. Sebaliknya, emosi positif, doa, atau musik harmonis dapat meningkatkan
frekuensi tubuh dan membantu proses penyembuhan alami.
Bahkan otak manusia pun bekerja berdasarkan frekuensi
listrik yang disebut gelombang otak (brainwaves). Ada lima jenis utama
gelombang otak:
- Delta
(0,5–4 Hz): keadaan tidur dalam dan penyembuhan.
- Theta
(4–8 Hz): relaksasi, meditasi, dan kreativitas.
- Alpha
(8–12 Hz): fokus tenang dan keadaan sadar ringan.
- Beta
(12–30 Hz): konsentrasi aktif dan berpikir logis.
- Gamma
(30–100 Hz): kesadaran tinggi dan pemrosesan informasi cepat.
Penelitian oleh Lutz, Greischar & Davidson (2004)
menunjukkan bahwa praktik meditasi dan doa dapat meningkatkan aktivitas gelombang
gamma, yang berkaitan dengan empati, ketenangan, dan keseimbangan emosional.
Ini menunjukkan bahwa praktik spiritual sebenarnya dapat memengaruhi frekuensi
otak manusia secara ilmiah.
Frekuensi tidak hanya ada di luar diri kita, tetapi juga
menjadi bagian dari cara otak memproses informasi. Penelitian di bidang neurosains
kognitif menunjukkan bahwa otak manusia terdiri dari miliaran neuron yang
saling berkomunikasi melalui sinyal listrik dan kimia.
Energi: Inti dari Segala
Kehidupan
Secara ilmiah, energi diartikan sebagai kemampuan untuk
melakukan kerja (the capacity to do work). Segala sesuatu yang bergerak,
berubah, atau bereaksi di alam semesta membutuhkan energi. Dalam hukum
kekekalan energi (Law of Conservation of Energy), dijelaskan bahwa
energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, hanya dapat berubah bentuk
dari satu wujud ke wujud lainnya.
Misalnya, energi kimia dalam makanan berubah menjadi energi
panas dan gerak di tubuh manusia. Energi listrik berubah menjadi cahaya dalam
lampu, dan energi matahari menjadi energi tumbuhan melalui fotosintesis. Semua
proses itu menunjukkan bahwa kehidupan adalah sistem dinamis dari pertukaran
energi tanpa henti.
Albert Einstein kemudian menguatkan pandangan ini melalui
rumus terkenalnya, E=mc², yang menunjukkan bahwa massa (materi) sejatinya
adalah bentuk energi yang terpadatkan. Artinya, bahkan benda yang tampak padat
dan diam sebenarnya terdiri dari partikel-partikel energi yang terus bergetar
dalam kecepatan luar biasa.
Vibrasi: Bahasa Alam
Semesta yang Tak Terucap
Jika energi adalah substansi, maka vibrasi (getaran) adalah
bahasanya. Setiap bentuk energi di alam semesta memiliki frekuensi getar
tertentu. Fisika kuantum menyebutkan bahwa partikel subatomik — seperti
elektron dan proton — tidak pernah diam. Mereka selalu bergetar dan memancarkan
gelombang energi.
Frekuensi ini menentukan bentuk dan sifat suatu benda.
Misalnya, suara memiliki frekuensi yang berbeda antara nada rendah dan tinggi.
Warna juga muncul karena perbedaan panjang gelombang cahaya. Dalam konteks yang
lebih luas, frekuensi getaran juga menentukan kondisi mental dan emosional
manusia.
Ketika seseorang merasa bahagia, bersyukur, dan penuh kasih,
frekuensi energinya meningkat. Sebaliknya, ketika ia marah, takut, atau sedih,
frekuensinya menurun. Prinsip ini menjelaskan mengapa suasana hati seseorang
bisa menular — karena energi bersifat menular, memengaruhi medan di sekitarnya.
Prinsip ini pula yang memvalidasi pertanyaan “kenapa orang kaya semakin kaya,
orang miskin semakin miskin!”.
Ini ada hubungannya dengan vibrasi yang kita pancarkan. Ketika
tubuh kita memancarkan energi tinggi, maka kita akan menarik hal-hal yang baik.
Seperti dapat rejeki. Itu sebabnya, orang yang banyak uang itu biasanya
kerjanya santai. Arti santai di sini bukan nganggur ya gengs. Tetapi bekerja sak
madyone. Sementara ketika kita bekerja mati-matian dan mengejar mendapatkan
uang, justru uangnya ngacir lari pergi. Coba deh amati ke diri masing-masing.
Eksperimen Modern
tentang Energi dan Getaran
Salah satu peneliti yang populer dalam menjelaskan efek
getaran adalah Dr. Masaru Emoto, seorang peneliti asal Jepang yang meneliti
struktur molekul air. Dalam eksperimennya, Emoto menunjukkan bahwa air yang
diberikan kata-kata positif seperti “cinta” dan “terima kasih” membentuk
kristal es yang indah dan simetris. Sebaliknya, air yang diberikan kata negatif
membentuk pola tidak beraturan dan rusak.
Penemuan ini menunjukkan bahwa energi dari kata, pikiran,
dan perasaan manusia benar-benar memengaruhi struktur fisik alam. Karena tubuh
manusia terdiri dari ±70% air, maka vibrasi yang kita pancarkan — baik positif
maupun negatif — memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan fisik dan
emosional.
Selain Emoto, fisikawan William A. Tiller juga meneliti
“subtle energy” atau energi halus. Ia menemukan bahwa niat manusia (intensi)
bisa memengaruhi sistem fisik, bahkan alat ukur laboratorium. Ini menegaskan
bahwa kesadaran (consciousness) adalah bentuk energi yang dapat berinteraksi
dengan dunia material.
Energi dan Vibrasi dalam
Perspektif Islam
Konsep energi dan vibrasi ternyata juga sangat dekat dengan
pandangan spiritual dalam Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada-Nya. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isra: 44)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala ciptaan Allah bergetar dan
bertasbih dalam frekuensi masing-masing. Dalam bahasa religiusitas, tasbih itu
bisa dipahami sebagai bentuk energi dan vibrasi dzikir yang tak terputus.
Para sufi juga mengajarkan bahwa setiap huruf, nama, dan
bilangan memiliki getaran spiritual tertentu. Itulah sebabnya dzikir, doa, dan
bacaan Asmaul Husna dipercaya mampu meningkatkan energi ruhani seseorang.
Misalnya, membaca “Ya Salam” berulang kali dipercaya dapat menenangkan hati
karena mengaktifkan energi kedamaian dalam diri.
Energi, Ilmu, dan
Spiritualitas: Sebuah Jembatan Pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern dan spiritualitas sebenarnya tidak
saling bertentangan. Sains menjelaskan “bagaimana” energi bekerja,
sementara spiritualitas menjawab “mengapa” energi itu ada. Keduanya
saling melengkapi untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang kehidupan.
Fritjof Capra, seorang fisikawan dan penulis buku The Web of Life,
menyatakan bahwa alam semesta berfungsi seperti jaring kehidupan, di mana
setiap elemen saling terhubung melalui pola energi dan vibrasi. Pandangan ini
sangat mirip dengan prinsip dalam tasawuf bahwa semua ciptaan adalah
manifestasi dari satu sumber energi Ilahi, yaitu Allah SWT.
Ketika ilmu dan spiritualitas bertemu, kita dapat memahami
bahwa energi bukan sekadar gelombang fisika, tetapi juga sarana manifestasi kesadaran
Ilahi dalam realitas material. Menariknya, pemahaman seseorang terhadap konsep
seperti energi, spiritualitas, atau numerologi ternyata tidak lepas dari cara
kerja otak manusia dalam membentuk koneksi sarafnya.
Penelitian dalam bidang neurosains kognitif menjelaskan
bahwa otak menyimpan berbagai informasi dalam bentuk jaringan neuron. Setiap
kali seseorang mempelajari hal baru, neuron-neuron di otak saling berkomunikasi
melalui dendrit, yaitu cabang sel saraf yang berfungsi sebagai penghubung
antar-neuron. Proses ini dikenal sebagai neuroplastisitas, yakni kemampuan otak
untuk berubah dan beradaptasi berdasarkan pengalaman dan pembelajaran (Kolb
& Whishaw, 2015).
Semakin banyak informasi atau pengalaman yang diperoleh
seseorang, maka semakin kompleks pula pertumbuhan dendrit di otaknya. Inilah
yang membentuk apa yang disebut sebagai “bank informasi otak”, yaitu kumpulan
memori, konsep, dan pengalaman yang menjadi dasar seseorang dalam memproses
realitas. Dengan demikian, setiap individu sesungguhnya melihat dunia melalui
struktur koneksi saraf yang unik hasil dari perjalanan belajarnya
masing-masing.
Itulah sebabnya muncul perbedaan cara pandang terhadap suatu
hal — termasuk dalam memahami numerologi, energi, atau fenomena spiritual. Bagi
sebagian orang, numerologi dapat dianggap logis dan selaras dengan hukum energi
karena mereka mampu menghubungkan konsep angka dengan simbol, pola, dan getaran
melalui jejaring pengetahuan yang sudah terbentuk di otaknya. Namun bagi yang
belum memiliki koneksi informasi sejenis, konsep itu mungkin terasa tidak masuk
akal.
Secara ilmiah, ini dapat dijelaskan melalui teori neural
network activation — di mana persepsi seseorang terhadap ide atau kepercayaan
sangat bergantung pada jaringan neuron yang aktif dalam otaknya (Gazzaniga et
al., 2018). Ketika informasi baru seperti konsep numerologi masuk, otak akan
mencocokkannya dengan data yang sudah tersimpan. Jika ada kecocokan pola, maka
informasi tersebut akan diterima dan diintegrasikan. Sebaliknya, jika tidak sesuai
dengan pola yang ada, otak akan menolaknya.
Dengan kata lain, perbedaan persepsi terhadap kebenaran
suatu ilmu bukan hanya masalah keyakinan, tetapi juga hasil dari perbedaan
struktur dendrit dan jaringan saraf otak setiap individu. Maka, memahami energi
dan numerologi dari sudut pandang ilmiah maupun spiritual memerlukan
keterbukaan kognitif, latihan berpikir reflektif, dan keinginan untuk
memperluas jejaring neuron melalui proses belajar berkelanjutan.
Energi dan vibrasi bukan hanya istilah abstrak, tetapi
realitas yang dapat dirasakan dan dijelaskan. Dalam tataran ilmiah, energi
adalah fondasi seluruh kehidupan. Dalam tataran spiritual, vibrasi adalah
bahasa komunikasi antara ciptaan dan Sang Pencipta. Keduanya berpadu membentuk keseimbangan
hidup yang sempurna.
Dengan memahami teori energi dan vibrasi, manusia belajar
untuk tidak hanya hidup di tingkat fisik, tetapi juga di tingkat kesadaran.
Semakin tinggi kesadaran seseorang, semakin harmonis pula energi yang ia
pancarkan — baik kepada dirinya, orang lain, maupun alam semesta.Hidup bukan
sekadar tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang frekuensi energi yang kita
sebarkan ke dunia.
Daftar Pustaka
Capra, F. (1996). The Web of Life: A New Scientific
Understanding of Living Systems. Anchor Books.
Davidson, R. J., & McEwen, B. S. (2012). “Social
influences on neuroplasticity: Stress and interventions to promote well-being.”
Nature Neuroscience, 15(5), 689–695.
Einstein, A. (1920). Relativity: The Special and General
Theory. New York: Henry Holt and Company.
Emoto, M. (2004). The Hidden Messages in Water. New
York: Atria Books.
Gazzaniga, M. S., Ivry, R. B., & Mangun, G. R. (2018). Cognitive
Neuroscience: The Biology of the Mind (5th ed.). New York: W. W. Norton
& Company.
Hölzel, B. K. et al. (2011). “Mindfulness practice leads to
increases in regional brain gray matter density.” Psychiatry Research:
Neuroimaging, 191(1), 36–43.
Ibrahim, H. (2019). Quantum and Islamic Perspective of
Energy and Consciousness. International Journal of Islamic Studies,
11(2), 22–40.
Kolb, B., & Whishaw, I. Q. (2015). Fundamentals of
Human Neuropsychology. New York: Worth Publishers.
Qur’an Surah Al-Isra: 44.
Sheldrake, R. (2012). Science Set Free: 10 Paths to New
Discovery. Deepak Chopra Books.
Sufi, A. (2012). Energy and Spiritual Consciousness in
Islamic Philosophy. Journal of Islamic Thought, 8(3), 45–58.
Tiller, W. A. (1997). Science and Human Transformation:
Subtle Energies, Intentionality and Consciousness. Pavior Publishing.
Reviewed by elisa
on
Monday, November 24, 2025
Rating:

No comments: