Ilmu Nomerologi Identik Dengan Ilmu Barat? Bagaimana Perspektif Dalam Islam?


Pernahkah kamu berpikir, mengapa angka terasa begitu dekat dengan kehidupan kita? Mulai dari tanggal lahir, jam keberangkatan, hingga perhitungan dalam sains — semuanya berputar di sekitar angka. Namun tahukah kamu, jauh sebelum kalkulator ditemukan, para filsuf dan ilmuwan telah menaruh simbol di balik angka. Tidak hanya pythagoras yang sudah mendalami ilmu ini, tetapi juga di dunia Islam juga ada beberapa tokoh yang memiliki ketertarikan dengan ilmu angka ini.

Pythagoras: Filosof Yunani yang Melihat Alam sebagai Simfoni Angka

Pythagoras (lahir sekitar 570 SM) dikenal sebagai bapak numerologi dan tokoh penting dalam sejarah matematika. Ia percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta dapat dijelaskan melalui angka dan proporsi. Bagi Pythagoras, angka bukan hanya alat hitung, tetapi juga memiliki makna. Misalnya, angka satu dianggap melambangkan kesatuan, angka dua melambangkan dualitas, dan angka tiga dianggap sempurna karena mewakili awal, tengah, dan akhir.

Pemikiran ini kemudian membentuk dasar teori harmoni, musik, dan bahkan konsep keseimbangan kosmos. Di sinilah benih awal numerologi tumbuh, keyakinan bahwa angka memiliki energi dan pengaruh terhadap kehidupan manusia.

Peralihan ke Dunia Islam

Berabad-abad setelah masa Pythagoras, dunia Islam mengalami masa keemasan intelektual. Sekitar abad ke-8 hingga ke-13 M, para ilmuwan Muslim tidak hanya menerjemahkan karya Yunani, tetapi juga mengembangkannya dengan perspektif tauhid dan religiusitas. Mereka memadukan logika dan iman, termasuk dalam memahami makna angka dan keteraturan ciptaan Allah.

Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Biruni, Al-Ghazali, dan Ibn Arabi menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan religiusitas. Mereka tidak melihat angka sebagai alat ramalan, tetapi sebagai simbol dari keteraturan Ilahi yang bisa direnungkan.

1.      Al-Kindi (801–873 M): Filsuf yang Menyatukan Logika dan Spiritualitas

Al-Kindi dikenal sebagai “Filsuf Arab Pertama” yang memperkenalkan logika dan filsafat Yunani ke dunia Islam. Ia banyak mempelajari karya Pythagoras dan Plato, tetapi menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Dalam pandangannya, angka dan huruf Arab memiliki nilai numerik (abjad jumal) yang mencerminkan keseimbangan ciptaan Tuhan. Ia percaya keteraturan angka menunjukkan keindahan dan kesempurnaan Ilahi, bukan alat untuk menebak nasib.

2.      Al-Biruni (973–1048 M): Sang Ilmuwan dan Pengamat Alam Semesta

Berbeda dari Al-Kindi yang lebih filosofis, Al-Biruni menekankan aspek ilmiah dari angka. Ia meneliti sistem bilangan India, geometri, dan astronomi, lalu menulis ratusan karya ilmiah. Menurutnya, angka adalah “bahasa universal” yang digunakan Allah untuk menata alam. Setiap planet, bintang, dan pergerakan waktu memiliki pola matematis yang menunjukkan kekuasaan Tuhan.

3.      Al-Ghazali (1058–1111 M): Sang Penyatupadu Akal dan Hati

Imam Al-Ghazali, ulama besar dan sufi terkenal, mengkritik mereka yang hanya memahami angka secara rasional tanpa melihat arti esensialnya. Dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulum al-Din, ia menjelaskan bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar hasil logika, melainkan cahaya yang menuntun hati. Bagi Al-Ghazali, angka dan keteraturan alam hanyalah bukti bahwa semua ciptaan tunduk pada kehendak Allah. Ia mengingatkan agar ilmu pengetahuan tidak menjauhkan manusia dari Sang Pencipta, tetapi mendekatkannya.

4.      Ibn Arabi (1165–1240 M): Sufi yang Menemukan Tuhan dalam Simbol dan Angka

Tokoh yang paling banyak dikaitkan dengan “numerologi Islam” adalah Ibn Arabi, seorang sufi dan filsuf besar dari Andalusia. Dalam karya Futuhat al-Makkiyyah, ia menjelaskan bahwa huruf dan angka memiliki makna spiritual yang sangat dalam.

Menurut Ibn Arabi, angka adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah. Angka satu mewakili keesaan (tauhid), angka dua melambangkan penciptaan pasangan, dan angka tujuh menggambarkan kesempurnaan kosmos (seperti tujuh langit dan tujuh hari).

Saat melaksanakan ibadah haji, umat Islam melakukan tawaf sebanyak tujuh kali mengelilingi Ka’bah. Gerakan berputar ini dilakukan berlawanan arah jarum jam, searah dengan peredaran bumi dan galaksi di alam semesta.

Mengapa tujuh kali? Dalam Islam, angka 7 memiliki makna simbolik yang dalam:

  • Tujuh lapisan langit (sab’a samawat)
  • Tujuh lapisan bumi
  • Tujuh hari dalam seminggu
  • Dan tujuh anggota tubuh utama yang digunakan dalam sujud

Secara spiritual, angka 7 menandakan kesempurnaan kosmik dan keseimbangan universal. Dalam numerologi, angka ini juga sering disebut sebagai “angka Tuhan” — simbol kebijaksanaan, intuisi, dan kesadaran spiritual. Sementara di jawa angka 7 disebut “pitu” yang artinya “Pitulungan”. Sampai saya mempelajari makna simbol angka ini saja, saya belajar bahwa orang-orang jaman dulu setiap melakukan sesuatu itu tidak ngawur. Alias, penuh bahasa simbol.

Contoh lain, Gerakan tawaf menunjukkan bahwa hidup manusia harus selalu berpusat pada Tuhan, sebagaimana Ka’bah menjadi pusat orientasi umat Islam di seluruh dunia. Pandangan ini menunjukkan bahwa Ibn Arabi tidak menolak konsep numerologi, tetapi menafsirkannya sebagai simbol dari kebijaksanaan Tuhan, bukan alat prediksi masa depan.

Daripada Berdebat Soal Musrik/Srik, Mari Kita Lihat Dari Perspektif Lain

Oke kita tahu, ada sebagian pendapat dari kita terbuka dengan ilmu numerologi, ada juga yang tidak setuju ilmu ini. Kita tidak akan berdebat terkait teori masing-masing. Tapi saya hanya ingin mengambil dari perspektif lain, yang jika setuju tetap biasa saja, tidak setuju juga “biasa saja”. Atau bagi yang netral juga biasa saja, anggap saja ini hanya wawasan dan data untuk otak, yang suatu saat kamu bisa menemukan sendiri teorimu sendiri.

Islam tidak menafsirkan angka sebagai alat untuk meramal, melainkan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah (ayatullah). Al-Qur’an berulang kali menunjukkan bahwa ciptaan Allah penuh dengan keteraturan dan ukuran yang pasti:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49)

Ayat ini menjelaskan bahwa angka dan ukuran adalah bagian dari sunnatullah — sistem keteraturan yang mencerminkan kesempurnaan ciptaan. Dalam konteks ini, angka menjadi simbol harmoni antara langit dan bumi, antara manusia dan Sang Pencipta.

Contoh dalam setiap gerakan shalat juga mencerminkan harmoni antara tubuh, jiwa, dan semesta. Secara simbolik gerakan sholat :

  1. Berdiri (Qiyam) – posisi tegak lurus, seperti angka 1, melambangkan keesaan Allah (Tauhid).
  2. Rukuk – membentuk sudut mendekati 90 derajat, menunjukkan ketundukan total kepada Sang Pencipta.
  3. Sujud – posisi terendah, menggambarkan angka 0, simbol kehampaan ego di hadapan Allah.
  4. Duduk di antara dua sujud – keseimbangan antara dunia dan akhirat, seperti angka 2 yang melambangkan dualitas ciptaan.

Jika diperhatikan, pola shalat membentuk siklus angka: dari 1 (tauhid), ke 0 (kerendahan), lalu kembali berdiri. Ini mencerminkan perjalanan spiritual manusia, dari asal (Allah), menuju kehampaan (penyucian diri), dan kembali kepada-Nya.

Dalam pandangan sufi seperti Al-Ghazali, setiap gerakan shalat bukan sekadar ritual fisik, melainkan simbol dari penyatuan manusia dengan sistem kosmik yang tertata oleh angka dan keseimbangan Ilahi.

Walau numerologi sering diasosiasikan dengan tradisi Barat atau Pythagoras, hakikatnya konsep tentang makna angka juga hidup dalam khazanah Islam. Bedanya, dalam Islam angka tidak digunakan untuk menebak masa depan, melainkan untuk merenungkan keteraturan ciptaan Allah.

Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Biruni, angka dan pergerakan alam menunjukkan bahwa seluruh jagat raya tunduk pada “matematika Ilahi”. Sementara Al-Kindi melihat keteraturan bilangan sebagai bukti bahwa logika dan wahyu berjalan seiring. Maka tak heran, angka menjadi bahasa universal antara ilmu dan iman, antara matematika dan spiritualitas.

Dan dari mempelajari ilmu nomerologi, saya pribadi merasa ilmu matematika lebih seru dan menarik. Karena mengetahui setiap angka memiliki arti yang esensisal. Padahal, jaman masih sekolah, matemakatika salah satu ilmu yang paling menyebalkan dan paling sulit karena kita tidak bisa mengambil sisi nilainya.

 

Daftar Pustaka

Pythagoras. The Golden Verses of Pythagoras. Dover Publications, 1993.

Ibn Arabi. Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar Sadir, 2004.

Al-Kindi. On First Philosophy. Oxford University Press, 2012.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005.

Al-Biruni. The Chronology of Ancient Nations. London: E.J.W. Gibb Memorial, 1879.

Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press, 1968.

 

Ilmu Nomerologi Identik Dengan Ilmu Barat? Bagaimana Perspektif Dalam Islam? Ilmu Nomerologi Identik Dengan Ilmu Barat? Bagaimana Perspektif Dalam Islam? Reviewed by elisa on Friday, November 21, 2025 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.