Dampak Mengenalkan Teknologi Pada Anak Menjadikan Stereotip Gender

Elisa
Elisa (Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta : elisa.penulis@gmail.com),
Nurul Istiyani (Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta : nurulistiyani@gmail.com),
Ratna Kanyaka Budi Utami (Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta : kanyakautami@gmail.com)
                            

ABSTRAK
Society nowadays still standardizes the technology as masculinity. Masculinity is a form of gender stereotypes. This paper presents about the different view about perspective of technology. The technology is most related to the boy’s activities. Apparently, the concept of masculinity and femininity has a big impact for an individual potency. The gender stereotypes limit the individual potency. The teacher and parents have to realize those things. They are ought to open up their mind that the children better to learn about masculine and feminine activities. They can aim the children not to be gender stereotype by giving knowledge about gender roles. Toys such as Barbie doll and car can be a good method for them to understand the gender roles in order to be androgyny.

PENDAHULUAN
Teknologi menjadi bagian kehidupan kita. Secara umum teknologi dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat teknis. Tanpa kita sadari teknologi tidak hanya hal-hal yang berbau mekanis dan teknis, tetapi teknologi menimbulkan pemahaman pada masyarakat bahwa teknologi itu lebih bersifat maskulin. Contohnya mahasiswa jurusan teknik lebih banyak diminati oleh laki-laki daripada perempuan. Sedangkan jurusan Bahasa lebih banyak diminati oleh perempuan daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat mengenai teknologi lebih bersifat maskulin, sehingga terjadi pemisahan peran gender (maskulin dan feminin). Fenomena inilah yang akhirnya menjadi budaya masyarakat stereotip gender.
Stereotip gender adalah proses pemberian status feminim dan maskulin pada setiap individu sebagai hasil dari konsep sosial (Almutawa, 2005; Bartlett & Vasey, 2000; Blackmore, 2003;  Boyatzis, Michael & Ileana, 1999; Bussey & Bandura, 1992;  Crespi, 2003; Zaduqisti, 2009). Hal ini berarti, seorang anak laki-laki akan memilih segala sesuatu (termasuk aspirasi karir) yang bersifat maskulin. Hal ini juga berlaku pada anak perempuan yang melakukan segala sesuatu yang bersifat feminin. Budaya yang berkembang di masyarakat akan memberikan pengaruh pandangan orangtua dalam memberikan edukatif terhadap anak-anak mereka. Budaya menimbulkan pandangan stereotip gender kepada orangtua bahwa teknologi lebih sering dikaitkan dengan hal yang bersifat maskulin, hal ini menimbulkan stereotip orangtua terhadap anak. Budaya ini terjadi karena anak-anak melihat bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya mengikuti prinsip stereotip gender. Sebagai contoh, anak perempuan bermain boneka, karena boneka adalah mainan feminin. Anak laki-laki bermain mobil-mobilan karena mobil-mobilan adalah mainan maskulin.
Pilihan mainan yang stereotip gender pada anak-anak, juga berimbas pada pola pikir anak. Apakah salah bila anak-anak memilih mainan  yang stereotip gender? Sebenarnya tidak ada yang keliru bila anak memilih mainan yang stereotip gender. Persoalan akan muncul bila pilihan mainan tersebut merupakan paksaan dari lingkungan sosial. Dampaknya adalah anak-anak terpaksa menguasai ketrampilan yang sesuai dengan peran gendernya. Dampak berikutnya adalah potensi mereka dalam bidang yang sesuai dengan peran gendernya akan berkembang dengan maksimal, namun potensi dalam bidang yang berlawanan dengan stereotip gender akan terlupakan (Crespi, 2009).
Pengaruh stereotip gender akan mempengaruhi anak dalam penilaian sesuatu yang diminati. Hal ini terjadi karena pada masa anak-anak banyak tekanan dan harapan sosial yang menyebabkan perubahan perilaku, minat, dan nilai (Hurlock,1999).  Anak yang melanggar budaya tradisional yang stereotip gender akan mendapat sanksi lingkungan. Sebagai contoh lingkungan memandang sebelah mata. Dampaknya membuat membuat anak menjadi menerima apa yang telah ada dalam budaya masyarakat. Sehingga, anak menjadi stereotip gender dalam pemilihan perilaku di masyarakat. Misalnya memilih aspirasi karir yang sesuai peran gender karena dirasa karir tersebut lebih realistis dan diterima oleh budaya masyarakat sekitar atau sesuai dengan nilai-nilai sosial (Auger, Blackhurst & Wahl, 2005; Helwig, 1998).  Pandangan budaya tradisional yang stereotip gender sebaiknya diminamilisir untuk mengembangkan kreatifitas anak. Orangtua mengenalkan anak pada mainan yang bersifat feminin dan maskulin, sehingga anak bersifat androgini. Androgini adalah perpaduan antara sifat feminin dan maskulin, sehingga anak yang androgini lebih bersifat fleksibel (Bem, 1974).


PEMBAHASAN
Lembaga pendidikan merupakan salah satu media kedua selain keluarga dalam mengenalkan peran gender pada anak-anak. Dalam hal ini pendidik menjadi fokus utama dalam memberikan pengaruh pandangan stereotip gender pada anak didiknya. Pendidik mempunyai peran dalam pembentukan kepribadian anak dimasa anak-anak awal (Almutawa, 2005). Pemahaman mengenai konsep peran gender pada anak usia 8-9 tahun sudah stabil (Boyatzis & Eades, 1999; Miller et al., 2009; Sáinz, Pálmen & Cuesta, 2011). Oleh sebab itu, perlu adanya pemahaman para pendidik tentang peran gender agar membuahkan generasi penerus yang androgini. Apabila anak-anak sejak dini diperkenalkan dengan budaya peran gender yang androgini maka anak merasa lebih leluasa memilih segala sesuatu yang diminati tanpa dibatasi oleh peran gendernya. Pemilihan minat anak dipengaruhi oleh lingkungan, salah satunya adalah peran pendidik di lingkungan sekolah (Auger et all, 2005; Helwig, 1998).
       Perilaku pendidik yang stereotip gender kerap kali terjadi. Misalnya saat mengajarkan bahasa pada anak-anak kelas satu, kalimat “ ayah pergi ke sawah dan ibu sedang memasak”. Nah, dalam kalimat ini tanpa disadari adanya pembedaan peran gender yang membuat anak menjadi stereotip gender (Hess & Ferre, 1987). Pekerjaan ibu selalu dihubungkan dengan pekerjaan yang bersifat domestik dan pekerjaan ayah dihubungkan dengan pekerjaan yang bersifat diluar rumah (Crespi, 2003; Hess & Ferre, 1987; Domenico & Karen, 2006). Kebiasaan yang seperti ini bisa diubah sejak dini dengan menerapkan pola komplementari pada kedua peran gender. pola komplementari dapat berjalan apabila individu laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk saling melengkapi dan membantu tanpa membedakan peran gender masing-masing. Pola seperti ini dapat diterapkan dalam pola pengajaran para pendidik. Misalnya dalam pelajaran bahasa disisipi dengan kalimat-kalimat yang dapat menghindarkan persepsi anak yang stereotip gender. Sebagai contoh, “ayah membantu ibu membuat kue di dapur”, “ibu dan ayah pergi ke sawah untuk menuai padi”. Kalimat tersebut dapat membantu mengubah persepsi anak bahwa peran gender tidak menjadi suatu halangan untuk mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan peran gender. perilaku yang berlawanan gender ini juga tidak membuahkan punishment sehingga anak merasa leluasa dalam  melakukan sesuatu yang berlawanan gender.
                Pemilihan mainan anak-anak kerap kali dihubungkan dengan peran gender. Mainan anak-anak dalam bentuk elektronik seperti game balap mobil dan game memasak adalah contoh dari pengelompokan permainan berdasarkan peran gender. Budaya orangtua yang selalu memberikan mainan kepada anak berdasarkan peran gendernya membuat potensi anak menjadi tidak maksimal (Crespi, 2003). Hal ini disebabkan karena pengaruh dari pendidikan orangtua. Contohnya, anak laki-laki bermain mobil remote control akan membatasi anak laki-laki tersebut dalam bidang yang bersifat feminin. Sedangkan anak perempuan yang bermain masak-masakkan akan membatasi anak tersebut dalam bidang yang bersifat maskulin. Hal ini hendaknya minimalisir dengan cara memberikan mainan yang bersifat feminin dan maskulin. Sebagai contoh, anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama diberi mainan mobil-mobilan dan boneka Barbie (Abramson, 2009). Sehingga anak bisa melakukan hal-hal yang berbeda dari peran gendernya.
                Anak dapat berperilaku dengan berlawanan peran gender apabila ada dorongan dari lingkungan sosial (Wendy & Richard, 1987; Sarah, Jayne & Zoe, 2012). Lingkungan sosial yang berpengaruh dimasa pendidikan anak adalah para pendidik. Pendidik bisa mengarahkan anak menjadi androgini dengan kegiatan pramuka di sekolah. Kegiatan pramuka merupakan kegiatan yang dapat menyetarakan gender (androgini) (Shinta, 2012). Kegiatan pramuka meliputi semua kegiatan feminin dan maskulin yang harus dikerjakan oleh anak laki-laki dan anak perempuan (Hakala, 2010). Pada kegiatan pramuka ini anak laki-laki dan perempuan dituntut untuk dapat melakukan kegiatan yang bersifat feminim dan maskulin. Adanya kegiatan pramuka anak laki-laki dan anak perempuan dapat melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan peran gendernya tanpa adanya ketakutan untuk mendapatkan sanksi dari lingkungan. Pendidik yang bersifat androgini dan lingkungan yang tidak stereotip gender dapat mengembangkan kreatifitas anak. Sehingga anak-anak mempunyai kepercayaan dalam dirinya bahwa kegiatan yang dilakukannya tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya.


KESIMPULAN
Teknologi dalam dunia sehari-hari dipandang sebagai hal yang bersifat maskulin. Anak laki-laki lebih dipercaya dalam mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan teknis dan mekanis daripada anak perempuan. Pandangan ini masuk dalam ranah budaya yang stereotip gender. Budaya yang stereotip gender dapat menimbulkan kebiasaan yang tidak sehat. Kebiasaan yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan peran gender sehingga individu tidak dapat leluasa dalam berperilaku.
Keleluasaan dalam berperilaku mempengaruhi minat dan kreativitas anak-anak. Apabila anak-anak sejak dini dibesarkan dalam lingkungan yang stereotip gender, maka kemampuan anak tersebut terbatas pada peran gendernya saja. Anak tersebut tidak dapat menyadari potensinya dibidang yang berlawanan dengan peran gendernya. Oleh karena itu para pendidik sekarang dituntut untuk bersifat androgini dalam pengajarannya. Pendidik setidaknya bisa meminimalkan sifat stereotip gender di lingkungan sekolah. Para pendidik dapat menerapkan pola komplementer dalam pengajarannya agar anak dapat bersifat androgini. Pendidik mengenalkan mainan yang bersifat maskulin dan feminim pada anak laki-laki dan perempuan.(Halaman 179-181)


NB : Paper ini telah di publikasikan di PROSIDING : SEMNAS UTY Yogyakarta dengan tema : Konvergensi Teknologi dan Budaya Ciptakan Pendidik Profesional dan Berakhlak Mulia. Sabtu 21 Juni 2014. 


DAFTAR PUSTAKA

Abramson, E. (2009). Barbie brains: The effect of Barbie dolls on Girl’s perception of male and female jobs. Thesis. Business and Psychology Faculty. Oregon State University.

Almutawa, F. (2005). Beliefs of pre-service teachers at the University of Pittsburgh about gender roles and the role of teachers in relation to gender differences. Dissertation. University of Pittsburgh.

Auger, R. W, Blackhurst, A. E & Wahl, K. H. (2005). The development of elementary children’s career aspirations and expectations. Professional School Counseling, April, 8(4), 322-329.

Bartlett, H. N & Vasey, L. P. (2000). Is gender identity disorder in children a mental disorder?. Sex Roles: December, 43(2), 753-785.

Bem, S. L. (1974). The measurement of psychological androgyny. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 42, 155-162.

Boyatzis, J. C. & Eades, J. (1999). Gender differences in preschoolers’ and kindergartners’ artistic production & preference. Sex Roles: October, 41(8), 627-635.
Boyatzis, C. J, Michael, M & Ileana, L. (1999). Effects of game type on childrens gender based peer preferences: a naturalistic observational study. Sex roles. January.

Bussey, K & Bandura, A. (1992). Self-regulatory mechanisms governing gender development. Child Development, 63, 1236-1250.

Crespi, I. (2003). Gender socialization within the family: a study on adolescents and their parents in Great Britain. Paper prepared for BHPS. Retrieved on December 8,2013 from
http: //www.mariecurie.org/annals/volume3/crespi.pdf

Domenico, M. D & Jones, H. K. (2006). Career aspirations of women in the 20th century. Journal of Career and Techincal Education. Vol 22(2),1-7. Kennesaw Mountain High School. The University of Georgia.
Hakala, L. (2010). Scouting for a Tomboy: Gender-bending behaviors in harper Lee’s to kill a mockingbird. Thesis. Georgia Southern University.

Hess, B. B & Ferree, M. M. (1987). Analyzing gender: A handbook of social science research. New York: Sage Publication.

Helwig, A. A. (1998). Gender-role stereotyping: testing theory with a longitudinal sample. Sex roles:  March, 38(5), 403-423.
Hurlock, B. E. (1999).Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (penerjemah Istiwidayanti & Soedjarwo). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Miller, F. C., Lurye, E. L., Zosuls, M. K. & Ruble, N. D. (2009). Accessbility of gender stereotype domains: Developmental and gender differences in children. Sex Roles: June, 60(11-12), 870-881.

Sáinz, M., Pálmen, R. & Cuesta, G. S. (2011). Parental and secondary school teachers’ perceptions of ICT professionals, gender differences and their role in the choice of studies. Sex Roles: August, 66, 235-249.
Sarah, K. B., Jayne, E. S., & Zoe, D. P. (2012). Gender and the choice of science career: the impact of social support and possible selves. Sex Roles:. 66, 197-209.

Shinta, A. (2012). Variable - variabel psikososial yang mempengaruhi pilihan peran gender anak. Disertasi. Fakultas Psikologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wendy, C. G. & Richard, M. R. (1987). Autonomy in children’s learning: an experimental and individual difference investigation. Journal of Personality and Social Psychology, 52 (5) 890-898.

Zaduqisty, E. (2009). Stereotip peran gender bagi pendidikan anak. Muwazah, 1 (16), 74-82.

Dampak Mengenalkan Teknologi Pada Anak Menjadikan Stereotip Gender Dampak Mengenalkan Teknologi Pada Anak Menjadikan Stereotip Gender Reviewed by elisa on Wednesday, July 30, 2014 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.