SEGENGGAM MIMPI


Foto : Elisaa
Di beranda rumah Ana mondar-mandir membawa payung yang rusak. wajahya cemas tak jelas. Sejak Maghrib menguyur Jogja Ana pasang gelisah. Tangannya sesekali menengadahkan ke langit, mengintip mendung yang masih mengumpal hebat disertai dengan gelegar petir. HP yang terselip disaku bajunya sering dipandangi, berharap pesan masuk ke ponselnya.
Di pertigaan jalan, nampak pemuda berlari kecil, setengah membungkuk badan. Meskipun lampu nion tidak begitu terang, Ana sangat mengenali gestur pemuda itu. Tangan pemuda itu mendekap barang yang sepertinya berharga. Ana segera merekahkan payung yang rusak sebelum akhirya berlari menghampiri pemuda bernama Tarto.
“Kenapa tidak menunggu hujan reda. Kamu ini keras kepala!”
Mereka berlari kecil menuju gubuk reot berdindingkan asbes. Sesampai di teras segera tas yang didekapnya di taruh di salah satu. Tarto mulai membuka seragam sekolah yang masih basah kuyub.
“Wah… bukumu basah semua. Ini bukannya buku paket yang kemarin kamu beli hasil dari kerja paruh waktumu?” tanya Ana terkejut.

Tarto mengambil Handuk di penjemur serambi, mengeringkan rambutnya yang basah. “Iya mbak, sudahlah tidak apa-apa. Nanti bisa dikeringkan, yang terpentingkan isinya. Bukan bentuk bukunya mbak!” jawabnya singkat.
Malam itu pukul 21.00 WIB, biasanya pemuda ini langsung tidur. Dini hari ia bangun mengerjakan tugas sekolah. kali ini ia harus menahan rasa kantuk dan lelahnya karena harus mengeringkan buku paket IPAnya. Buku ini harganya 40.000, bagi Tarto harga yang sangat mahal. Perlu perjuangan ia bisa membeli buku pelajaran ini.
****
Tarto segera masuk ke kamar, menemui Bapaknya yang terbaring lemas di kamar. Seperti biasa, selepas pulang dari sekolah, Tarto bekerja di salah satu rental komputer. Biasanya pulang pukul 20.00 WIB. Sepulang bekerja, biasanya ia berbagi cerita bersama Bapak dan Ana.
Kali ini Tarto bisa menggunakan sepeda unta milik ayahnya ke sekolah dan ke tempat kerjanya. Beberapa hari Tarto harus berjalan kaki sepanjang 4Km, dan itu sangat melelahkan. Selain membuang waktu, juga sangat menguras tenaga. Mengingat musim hujan mulai turun.
Hari ini tempat kerja Tarto terlihat lebih ramai dari hari biasanya. Banyak para pelanggan yang mengantarkan ketikan. Banyakknya permintaan, lagi-lagi Tarto pulang lebih malam, dan lagi-lagi tidak sempat membuka buku. Tarto tidak kehabisan akal, disisa waktu yang nyaris tidak di dapatkan ia mendengarkan rekaman suara dari ponselnya. Inilah cara Tarto agar tidak ketinggalan pelajaran.
Belakangan Ayah Tarto sering mengeluh sakit. Nampaknya lambungnya menyerang, mengakibatkan muncul beberapa rasa sakit seperti vertigo. Tarto harus berfikir dua kali untuk mendapatkan uang lebih. Uang yang didapatkan Tarto dan uang yang di dapatkan Kak Ana tidak cukup untuk membawa ayahnya ke puskesmas. Karena bersamaan waktu ujian, dimana syarat untuk mengikuti ujian adalah membayar lunas semua administrasi. Begitupun Kak Ana yang juga masih di bangku SMA kelas 3, selisih 2 tahun dengan Tarto.
Ibunya telah lama meninggal. Tetangga biasa menyebutnya mbok Sajiyem. Mbok Sajiyem meninggal karena kecelakaan saat perjalanan pulang dari jualan di pasar. Terakhir mbok Sajiyem ngeteh bersama, ia ingin sekali menyekolahkan Tarto dan Mbak Ana hingga bangku kuliah. Mengingat prestasi yang didapatkan sangat memuaskan.
Tarto dan Mbak Ana ingin mewujudkan harapan Ibu tercintanya. Meskipun harus didapatkan dengan darah kehidupan. Begitu Ayahnya yang sekarang terbaring sakit. Mereka percaya dengan kekuatan pikiran mereka. Mereka memiliki mimpi yang kuat.
***
Lagi-lagi pagi ini hujan menguyur Jogja. Hari yang tidak baik baginya, karena pagi ini ada ujian. Niatnya berangkat lebih pagi karena ingin mengurus pembayaran yang belum lunas. Tarto memasukkan tasnya ke dalam kantung plastik hitam.
“Bagaimana?. Apakah mau pakai payung kak Ana?” tawar Ana kepada adiknya.
Tarto tersenyum melihat kakaknya.
“Tidak mbak, mbak Ana yang pakai payungnya. Tarto mau hujan-hujannan. Biar sekalian mandi,” Tarto melawak. Sambil memasukkan seragam dan sepatu ke plastik hitam lagi. Pagi ini Tarto sengaja memakai kaos dan celana oblong. Rencananya sesampai sekolah, ia akan mengunakan seragamnya.
Hujan pagi ini diterjang. Sepeda onthel melaju pesat. Tubuhnya yang telanjang tanpa mantel tetap saja melaju. Tubuhnya kini benar-benar basah. Benar-benar lebuh menyatu, dingin tak terelakkan. Hingga giginya bergemlutuk. Namun semangat Tarto masih membara.
Gerbang sekolah sudah menyambut kedatangan Tarto. Tarto masuk menuju ke parkiran sepeda. Segera melucuti baju, menganti dengan seragam. Tarto berlari menuju bagian keuangan, hari ini ia benar-benar mengejar waktu. Bel tanda masuk tinggal 10 menit lagi.
“Mbak mau minta dispensasi pembayaran mbak, bisa tidak?. Janji deh mbak, dilunasi kok besok. Biar hari ini saya mengikuti ujian?” tanya Tarto.
Mbak Ifah diam tak menjawab, “Namamu siapa?. Biar saya cek dulu kekurangannya berapa?” sahut mbak Ifah singkat.
“Sutarto mbak” jawabnya singkat. Mbak Ifah sibuk mengotak-atik komputer. Tidak menunggu lama mbak Ifah tersenyum.
“Sudah tidak usah dibayar. Disini sudah tertulis lunas. Di sini sudah dicatat sudah dibayarkan oleh seseorang bernama Pak Jamal,”
Pak Jamal salah satu pelanggan Tarto di tempat kerjanya. Karena kegigihan Tarto meraih mimpi, dan melihat semangatnya yang mendorong Pak Jamal ikut membantunya. Baru diketahui bahwa Pak Jamal adalah pendiri SMA yang ditempati Tarto. (Elisa)

Cerpen ini dimuat di Tabloid BIAS
Edisi 8, 2012

SEGENGGAM MIMPI SEGENGGAM MIMPI Reviewed by elisa on Friday, December 21, 2012 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.