SIMPONI KEMERDEKAAN

Elisa
Cakrawala memotong garis simetri tepat di garis ufuk timur. Sinarnya kian merekah, memancar setiap sudut terpetang. Sang bukit sertamerta membiaskan bayangan dipilar-pilar sinar sang surya yang kian membumbung. Namun harapan pagi itu telah tersamarkan oleh kabut. Menenggelamkan diri di atas pucuk-pucuk rumput ilalang.

Lihat gadis SMK itu. Kalangan anak tidak punya, namanya Yuliani. Lihatlah kakinya yang kusam. Telapak kakinya yang bengkak. Pucuk-pucuk jari kakinya yang panjang dan tak sedap dipandang mata, serasa mual dan muntah melihatnya.

Sepatunya kumal, dan kaos kakinya di penuhi debu jalanan. Langkah tegapnya membuat jahitan ditepian sepatu itu meraung-raung. Ibu jarinya terlhat jika langkah kaki diangkat sekali saja. Betapa hitamnya, sungguh debu yang tertempel memang terlalu pekat.

***

Kesendirian biasa Yuli jalani. Saat gerbang sekolah terbuka, dan anak-anak masuk ke gerbang. Kerlingan mata kesedihan nampak di mana-mana. Hanya bermula pada sepatu melonglong dan baju putih abu-abu yang kumal. Sungguh, hati Yuli tidak mengharapkan tatapan belas kasihan dari teman-teman seperti itu. Terkadang senyum kejam kerap ditemui. Yuli merasa bagaikan sampah yang hendak dilempar jauh-jauh dari sekolah, atau disingkirkan disuatu sudut seorang diri.

Seragam mereka bersih-bersih, sepatu mereka masih terlihat bagus, tasnya juga. Tawa membaha setiap ruang. Kecerian mereka, cita-cita mereka yang tertata rapi. Sungguh keberanian bermimpi yang begitu mengairah.

***

Seorang pemuda bertubuh tinggi, kekar, otot-atot tangannya nampak, kulitnya hitam langsat terbakar mata hari, suara yang begitu menggetarkan para wanita udzur. Teriakan dan tawa teman-teman yang membentuk berisan itu nampak tenang sekarang, dan pelatihan upara 17-an sekecamatan segera dimulai. Beberapa siswa yang tidak terpilih, teman-temannya yang telah mendamparkannya di lembah ketiadaan. Bagi Yuli, menjadi cadangan Paskibra di kecamatan sesuatu yang luar biasa. Kecerdasan dan prestasinya di sekolah mungkin jadi pertimbangan kenapa yuli terpilih, selain secara fisik ia memang sempurna untuk menjadi seorang paskibra.

Yuli melihat ujung jari kakinya yang kini telah rata. Tadi pagi ia gunakan pisau dapur untuk memotong kukunya yang panjag dan kotor. Ia tersenyum, dialihkan pandangannya pada sepasang sepatu baru yang dibeli dengan tabungan yang ia kumpulkan selama dua tahun di celengan bambu.

Secarik kertas ditangannya meliuk-liuk bagaikan topan kesetanan. Hati Yuli bergetar saat ujung pensil menggores kertas gambar yang ia bawa. Pencil itu sangat pendek, hanya 5 cm saja.

Peluh mengenang di pelupuk mata. Puluhan kawan yang berdiri di depan I lukis penuh ketulusan. 

“Kawan, ku gambar paras kalian, kemudian kanku bingkai kalian sepenuh hatiku. Kanku doakan kalian akan cita-citamu. Meski kau injak-injak harga diriku dengan kerlingan matamu. Aku tak mempedulikan cacianmu kemarin. Kini harapan kalian menjadi paskibra telah terlaksana”.

“Lukisanmu bagus. Tubuhmu juga tegap”. Kata Pembina pengibar bendera seraya menatap lukisan yuli lama. Di lihatnya dari berbagai sudut dan rah. Lukisan pasukan pengibar bendera dan pengirinya begitu sempurna.
 
“pakai sepatumu, ikutlah menjadi pengibar bendara!. Di dalam haitmu ada ketulusan akan kemerdekaan melalui goresan tangan dan sentuhan hatimu ini. aku suka dengan ekspresimu menungkan pikiran di atas kertas”. Tatapan instruktuk Paskibra menegaskan sebuah tugas yang diberikan kepada Yuli.

Angina tiba-tiba berhembus. Mimpi yang selama ini hanya terbesit di dalam hati, akhirnya Tuhan telah mendengar. Satu kebahagian akan di persembahkan kepada para pahlawan yang sekarang tengah tidur pulas di pusaran. Di lapangan kecamatan, yuli akan melantunkan doa. Tubuhnya menghadap merah putih. Hati semakin bergetar saat sang saka berkibar di pucuk tiang yang gagah perkasa. □–g (Elisa, SMK Budhi Dharma Piyungan)

Di Muat di Kedaulatan Rakyat : Kedaulatan Rakyat
SIMPONI KEMERDEKAAN SIMPONI KEMERDEKAAN Reviewed by elisa on Friday, October 16, 2009 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.