Manusia Terlalu Jauh Berpikir, Padahal Hidup Hanya Meminta Kita Belajar
Manusia sering kelelahan bukan karena hidup terlalu berat, melainkan karena pikiran terlalu sibuk. Pikiran melompat jauh ke depan, mengulang masa lalu, menimbang segala kemungkinan, lalu menyimpulkan sesuatu yang belum tentu benar. Dari situlah kecemasan lahir. Hidup terasa rumit, padat, dan melelahkan—padahal jika diam sejenak dan benar-benar melihat, hidup sesungguhnya berjalan apa adanya.
Sejak awal, Tuhan tidak pernah menyuruh manusia menjadi
sempurna. Tidak ada perintah agar manusia selalu benar. Yang ada hanyalah
undangan untuk belajar. Belajar melalui perjumpaan, kehilangan, kesalahan,
kegagalan, dan pengalaman sehari-hari yang sering dianggap sepele.
Namun manusia kerap lupa. Kita terlalu ingin memahami
segalanya sebelum menjalaninya. Kita ingin tahu ujung cerita sebelum berani
melangkah. Kita ingin hidup berjalan sesuai teori yang kita bangun sendiri.
Ketika Pikiran Terlalu
Mendominasi
Pikiran manusia memang luar biasa. Ia mampu mengingat,
merencanakan, dan menganalisis. Tetapi pikiran juga memiliki sisi yang
melelahkan. Ia tidak pernah benar-benar berhenti. Selalu ada skenario terburuk,
perbandingan, penyesalan, dan kekhawatiran.
Dalam kondisi ini, manusia lebih sibuk hidup di dalam kepala
daripada hidup saat ini/detik ini. Seperti pesan Gus Dur, “Jangan memikirkan
apa yang kamu tidak tahu. Kalau yang diketahui, buat apa dipikir?” ada juga
kata-kata lain dari beliau yang sederhana sepele, tapi mak jleb “Jika kamu
punya masalah, dan sudah tahu solusinya, ya sudah nggak usah dipikir, kan sudah
tahu. Terus kalau nggak tahu solusinya? Ngapain juga dipikirin, malah capek.”
Kita lupa bahwa hidup tidak terjadi di pikiran, melainkan di
pengalaman langsung. Apa yang kita jalani saat ini, rasakan saat ini. tidak
perlu jauh-jauh melihat kedepan apalagi ke belakang.
Ketika pikiran memegang kendali penuh, hidup kehilangan
kesederhanaannya. Hal-hal kecil terasa berat. Keputusan sederhana menjadi
rumit. Dan pada akhirnya, manusia merasa tersesat di dalam pikirannya sendiri.
Tuhan Tidak Meminta Kita
Membuat Teori
Manusia sering mengira bahwa mendekat kepada Tuhan berarti
memahami Tuhan. Padahal Tuhan tidak pernah meminta manusia menciptakan teori
tentang-Nya. Yang diminta bukan penjelasan, melainkan kesadaran.
Tuhan tidak berbicara dalam rumus atau konsep yang kaku.
Kehidupan berbicara lewat peristiwa. Lewat rasa kehilangan, manusia belajar
melepaskan. Lewat kegagalan, manusia belajar rendah hati. Lewat kesabaran,
manusia belajar percaya. Semua pelajaran itu tidak datang dalam bentuk
definisi, tetapi dalam bentuk pengalaman yang harus dijalani.
Banyak orang yang terlalu sibuk bertanya “mengapa” sampai
lupa untuk hadir dalam “apa yang sedang terjadi”. Padahal sering kali, jawaban
tidak datang dari berpikir lebih keras, melainkan dari berani mengalami masalah
dan belajar dari masalah yang datang itu.
Merasakan Adalah Cara
Belajar yang Alami
Sejak kecil, manusia belajar bukan dari teori, melainkan
dari pengalaman. Seorang anak tidak belajar berjalan dengan membaca buku,
tetapi dengan jatuh dan bangkit. Tubuh dan batin manusia sudah dilengkapi
mekanisme belajar yang alami.
Namun seiring bertambahnya usia, manusia mulai menjauh dari
cara belajar yang sederhana itu. Kita lebih percaya pada konsep daripada rasa.
Kita lebih percaya pada logika daripada kata hati/rasa.
Padahal banyak kebenaran hidup hanya bisa dipahami lewat
rasa. Cinta, kehilangan, kesepian, dan makna hidup tidak pernah benar-benar
bisa dijelaskan, tetapi bisa dirasakan dengan sangat nyata.
Bumi Adalah Tempat
Belajar, Bukan Tempat Menghakimi
Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, bumi
bukanlah panggung pengadilan. Ia adalah ruang belajar. Di sinilah manusia
belajar menjadi manusia. Namun pada kenyataannya? Kita mudah sekali menghakimi
orang hanya lewat kesan pertama, apa yang terlihat dan banyak lainnya.
Memang, tidak ada murid yang langsung mengerti semuanya.
Tidak ada proses belajar tanpa kesalahan. Jika demikian, mengapa manusia begitu
keras pada dirinya sendiri ketika gagal? Mengapa begitu cepat menyalahkan Tuhan
ketika hidup tidak sesuai harapan?
Masalah, konflik, dan kegagalan bukan tanda bahwa Tuhan
meninggalkan manusia. Justru sering kali itu adalah bagian dari pelajaran yang
sedang diberikan. Seperti sekolah pada umumnya, ada pelajaran yang
menyenangkan, ada yang sulit, ada yang harus diulang berkali-kali sampai
benar-benar dipahami. Dan, ketika dalam hidup ini kita mengalami kesalahan,
kegagalan, kemarahan dan tantrum, Tuhan di atas sana mungkin hanya tersenyum
melihat kekanak-kanakan kita. karena tuhan akan memberi pengertian di masa yang
tepat. Agar ketika sudah menerima paham itu, kita baru bisa melihat betapa
sayangnya Tuhan kepada seluruh hambanya.
Hidup Itu Sederhana,
Pikiranlah yang Membuatnya Ruwet
Jika ditanggalkan semua ekspektasi, hidup sebenarnya sangat
sederhana. Kita hidup, merasakan, belajar, lalu bertumbuh. Yang membuat hidup
terasa berat adalah keinginan manusia untuk mengontrol segalanya. Pikiran ingin
kepastian. Hidup tidak selalu bisa memberi itu. Dari benturan inilah
kegelisahan muncul.
Semakin manusia memaksa hidup mengikuti rencana pikirannya,
semakin sering ia kecewa. Sebaliknya, ketika manusia mulai menerima bahwa hidup
adalah proses belajar, beban batin perlahan berkurang.
Mengapa Manusia Mudah
Menyalahkan Tuhan?
Ketika hidup tidak berjalan sesuai harapan, Tuhan sering
menjadi sasaran kekecewaan. Padahal sering kali, yang terluka bukan iman,
melainkan ego.
Manusia ingin hidup sesuai keinginannya, bukan sesuai
pelajarannya. Ketika pelajaran datang dalam bentuk yang tidak menyenangkan,
manusia menolak dan menyalahkan. Namun dalam banyak ajaran kebijaksanaan,
justru penderitaan dianggap sebagai guru yang paling jujur/objektif.
Belajar Hadir dan
Menerima Lebih Penting daripada Mencari Jawaban
Tidak semua pertanyaan hidup membutuhkan jawaban. Beberapa
hanya perlu dihadapi dengan kehadiran penuh. Diam, bernapas, dan jujur pada apa
yang dirasakan.
Ketika manusia berhenti terlalu jauh berpikir, ia mulai
mendengar suara kehidupan. Dari sanalah kebijaksanaan perlahan tumbuh—bukan
sebagai konsep, tetapi sebagai kesadaran.
Manusia tidak diciptakan untuk selalu benar, tetapi untuk
terus belajar. Tuhan tidak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran dalam
menjalani proses. Hidup tidak meminta kita memahami segalanya, hanya
mengalaminya dengan sadar.
Ketika manusia berhenti menyalahkan Tuhan dan mulai belajar
dari kehidupan, hidup kembali terasa ringan. Karena pada akhirnya, bumi
hanyalah sekolah. Dan kita semua masih murid yang sedang belajar memahami arti
menjadi manusia.
Referensi
Tolle, Eckhart. The Power of Now. New World Library,
1999.
Rohr, Richard. Falling Upward: A Spirituality for the Two
Halves of Life. Jossey-Bass, 2011.
Watts, Alan. The Wisdom of Insecurity. Vintage Books,
1951.
Krishnamurti, Jiddu. Freedom from the Known. Harper
& Row, 1969.
Frankl, Viktor E. Man’s Search for Meaning. Beacon
Press, 1959.
Reviewed by elisa
on
Monday, December 29, 2025
Rating:

No comments: