Tuesday, January 31, 2017

Dampak Plastik Berbayar

Plastik berbayar disambut dengan baik oleh masyarakat. Bukan berarti kebijakan plastik berbayar disetujui oleh semua orang. Salah satunya pelajar dari SMKN 1 Yogyakarta, Margaretha Viona Prasasti, kelas XI jurusan Akuntasi 2. Ia mengaku lebih senang plastik yang tidak berbayar. Alasannya sederhana, karena sebagai pembeli adalah raja, yang harus dilayani secara prima, salah satunya dengan memberikan kantong plastik gratis.
foto : http://bit.ly/2jIm95f
“Soalnya kita udah beli di toko mereka. Jadi, anggaplah kantong plastik itu sebagai bentuk ucapatan terimakasih karena sudah berbelanja di sana,” tuturnya. Bertolak belakang dengan pendapat siswa SMK N 7 Yogyakarta, jurusan Akuntansi 1, Retno Dewi Yatmi. Ia berpendapat bahwa plastik berbayar yang dibandrol dengan harga Rp. 200,- terlalu murah dibandingkan dampak yang ditimbulkan. “Saya tidak setuju plastik diberikan gratis. Harga dua ratus rupiah terlalu murah dibandingkan dengan dampak yang disebabkan sampah plastik,” tegasnya, yang masih duduk di bangku X akuntansi 1
Beberapa waktu lalu banyak televisi dan surat kabar menyiarkan perihal plastik berbayar. Dari tayangan tersebut memberikan pengetahuan bagi masyarakat, salah satunya seperti yang dirasakan siswa SMAN 11 Yogyakarta, Ridwan Arifianto, jurusan IPA 3, tahu perihal plastik berbayar dari Internet. Begitupun dengan siswa SMKN 5 Yogyakarta, Bagas Ghiffari Putra, tahu kebijakan plastik berbayar dari televisi.

“Mungkin plastik berbayar sebagai bentuk pajak beli dari mall,” kata Ridwan Arifianto, jurusan IPA 2, kelas XI, saat ditanya kenapa plastik sekarang berbayar. Berbeda dengan Bagas, salah satu pelajar yang mendukung program plastik berbayar dalam upaya mengurangi sampah. “Semoga dengan ini bisa mengajak masyarakat untuk diet tidak membeli plastik berlebihan, dan memilih menggunakan kantong lain selain plastik,” pungkas siswa jurusan Animasi B, kelas XI. (Sonia, Linda, Elisa)

Monday, January 30, 2017

BAKPIA DAY : Ajang Ucap Syukur

Berkunjung ke kota Yogyakarta, tidaklah lengkap tanpa mengunjungi sentra bakpia yang berada di kawasan Kelurahan Ngampilan. Namun kali ini ada sedikit berbeda dari hari biasanya, gunungan bakpia dalam ukuran besar mengundang perhatian banyak orang di kawasan itu. Bahkan hiruk pikuk orang-orang dengan kostum yang beraneka ragam serta tabuhan musik tradisional membuat suasana makin riuh dan semarak.
Ya, hari itu memang berbeda. Satu hari pada tiap tahunnya membuat ageda ini menjadi mengesankan bagi banyak orang. Bakpia Day, agenda yang rutin di adakan setiap bulan September, dimana acara ini adalah perwujudan rasa syukur warga Kelurahan Ngampilan yang didominasi oleh para produsen bakpia. Paguyuban Kesenian Kelurahan Ngampilan dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan DIY menggandeng para produsen bakpia untuk mengadakan pentas seni dan budaya yang diakhiri dengan pawai budaya dan Gunungan Bakpia.
Tidak hanya itu, adanya Bakpia Day atau bisa disebut  dengan merti bakpia, juga diharapkan dapat mempererat kebersamaan  antara warga asli Yogyakarta dengan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Ngampilan. Hal tersebut ditegaskan oleh Wagiman P. W. (63) sebagai ketua panitia Bakpia Day 2016. " Dengan acara ini akan tercipta keharmonisan dan kerukunan sesama warga Ngampilan yang terbingkai dalam keselarasan budaya." ungkapnya.
Sedikit mengulas tentang asal usul bakpia, bakpia sebenarnya bukanlah makanan yang berasal asli dari Yogyakarta, melainkan berasal dari China. Di negara asalnya, Bakpia memiliki nama asli Tou Luk Pia yang secara harafiah berarti kue yang berisi daging. Meskipun berasal dari China, Bakpia yang ada di Yogyakarta telah mengalami adaptasi rasa dan evolusi bentuk yang disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal. Bakpia yang ada di Yogyakarta tidak lagi berisi daging, melainkan berisi kacang hijau.
Diikuti oleh 13 Rukun Warga, membuat Bakpia Day semakin meriah. Bagaimana tidak, event taunan yang sudah berlangsung lima tahun berturut-turut ini melibatkan produsen bakpia khususnya di kelurahan Ngampilan. Lebih dari 150 produsen bakpia ikut serta dalam agenda Bakpia Day. Meskipun diakhir acara diguyur hujan deras, tidak mempengaruhi antusias warga. Bahkan semarak pawai mengelilingi kelurahan Ngampilan di dukung dengan adanya gunungan besar yang terdiri dari sepuluh ribu bakpia. Ditambah gunungan yang terdiri dari 3500 bakpia.

Bangunteki Maryani (52) selaku panitia mengungkapkan ada misi tersendiri untuk memperkenalkan bakpia ke tingkat nasional. Selain itu, terdapat makna filosofis wujud syukur terhadap Tuhan YME yang diwujudkan dengan tumpeng dan gunungan bakpia sehingga masyarakat luas dapat merasakan nikmatnya. "Event ini bakpia dapat diketahui banyak orang sehingga meningkatkan penjualan dan meningkatkan perekonomian UKM di kampung Ngampilan," tuturnya.  (Intan, Elisa)

Sunday, January 29, 2017

Muhammadiyah Gelar Pawai Ta’aruf Budaya Jawa

Yogyakarta sarat akan ivent. Baik itu ivent dari pemerintah, komunitas sampai ivent yang sifatnya kecil-kecilan. Setiap ivent yang diselenggarakan pun memiliki tujuannya masing-masing. Salah satunya iven yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah DIY, mengadakan pawai ta’aruf budaya jawa. Pawai ini terselenggara pada 10 September 2016 yang lalu.
Edy Prajaka, selaku koordinator penyelenggara dan komandan pawai menuturkan Ta’aruf budaya ini sebagai ajang pembukaan Olimpiade Budaya Jawa (OBJ). Diselenggarakannya pawai dimaksudkan sebagai media ekspresi bagi para civitas sekolah Muhammadiyah dari SD sampai SMA/K/MA mengapresiasi dan mengkreasi budaya jawa. Kegiatan ini dimaksudkan bahwa sekolah Muhammadiyah turut berpartisipasi dalam pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.
Pawai yang dimulai di Balaikota Yogyakarta diikuti sekitar 103 kontigen, dengan jumlah peserta lebih dari 4.390 peserta. mulai dari SD, SMP, dan SMA/K/MA se-DIY. Kemeriahan pawai terlihat semarak. Mulai dari antusiasme peserta dan penonton.
Latar belakang mengambil tema budaya jawa diawali dari keprihatinan yang ternyata masih banyak orang yang memandang Muhammadiyah sebagai gerakan yang anti budaya dan anti tradisi lokal. Muhammadiyah ingin memperkenalkan kepada masyarakat, bahwa Muhammadiyah juga turut melestarikan dan menjaga budaya jawa. Dimana, sebenarnya Muhammadiyah memiliki konsep Dakwah Kultural, yaitu memahami keislaman dari banyak pendekatan, mulai dari konteks sosiologis, antropologis dan budaya. Konsep Dakwah Kulturat menurut Edy Prajaka sebagai acuan dakwah sehingga peserta didik tidak asing dengan budaya lokal.

“Harapannya, pawai ta’aruf budaya jawa bagi pelajar Muhammadiyah menjadi bagian dari proses pendidikan karakter dengan mengukuhkan identitas diri, sebagai bangsa jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur yang seirama dengan nilai akhlaqul karimah,” jelas Edy lewat WA. Ia juga menyampaikan harapan lain dari ivent yang diselenggarakannya, yaitu sebagai salah satu bukti eksistensi Muhammadiyah sebagai salah satu pilar Keistimewaan Yogyakarta yang berkontribusi pelestarian dna pengembangan budaya jawa. (Elisa)

Saturday, January 28, 2017

Pertunjukan Nini Thowong Simbol Menjaga Kedaulatan Pangan

Festival Memedi Sawah dimeriahkan oleh beberapa rangkaian acara. Tahun kali ini bekerjasama dengan banteng Vredeburg.  Kegiatan ini berlangsung selama lima hari, terhitung sejak tanggal 1 hingga 5 September 2016. Nia, selaku edukator Museum Tani Jawa sangat menyambut ivent ini dengan senang.
Pembukaan dihadiri langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan, Umar Priyono. Sambutan dari pihak masyarakat sendiri sangat luar biasa. Terlihat beberapa tamu penting dari pihak hotel Ibis, Duta Museum 2016 dan pelajar dari beberapa sekolah di Bantul juga turut serta meramaian festival pembukaan Memedi Sawah.
Dewi Nur Rohmania, edukator Museum Tani Jawa menerangkan bahwa acara inti dari festival memedi sawah jatuh di hari Sabtu, 02 September 2016. Salah satu daya tarik museum satu ini adalah pertunjukan memedi sawah dan Nini Thowong. Pertunjukan Nini Thowong selalu disertai dengan music, dan gejlok lesung. Nini Thowong adalah boneka buatan, yang disolek seperti manusia. “Biasannya, sehari sebelum pertunjukan Nini Thowong akan dilakukan ritual, dan disolek oleh kaum perempuan desa Candran,” cerita Nia.
Sambil memperlihatkan Nini Thowong di museum Tani Jawa, Nia menceritakan, ternyata di Yogyakarta hanya ada dua tempat yang masih menggunakan Nini Thowong. Salah satunya di desa Candran. Jaman dahulu, Nini Thowong dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat untuk bertanya obat mengobati warga yang sedang terkena penyakit. “Kalo disini, untuk pertunjukan, kebudayaan, dan hiburan,” tambahnya.
Pertunjukan Nini Thowong tidak hanya memperkenalkan tentang atraksi Nini Thowong ketika dimasuki mahluk halus. Secara tidak langsung juga memperkenalkan gejok lesung, yang notabenenya sekarang di Jogja tinggal sedikit yang masih menggunakannya. “Nini Thowong simbol menyerukan seluruhnya untuk menjaga kedaulatan pangan,” ujarnya, setelah panjang lebar bercerita. (Elisa)

Friday, January 27, 2017

Telepon Umum vs Telepon Genggam

            Kemajuan tekhnologi, telekomunikasi dan informasi begitu pesat terjadi di Indonesia. Begitu banyak bermunculan produk-produk komunikasi seperti android atau telepon genggam dengan segudang kecanggihan, didukung dengan berbagai fitur aplikasi yang dapat dijalankan guna untuk mempermudah dalam berkomunikasi dan saling bertukar informasi. Berbagai perusahaan mancanegara berlomba-lomba untuk menciptakan telepon genggam dengan keunggulan masing-masing produk.  
Foto : http://bit.ly/2j4tXfU
Miranda Asmaputri (17) berpendapat bahwa kehadiran android sangat membantu dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya, kemajuan teknologi smartphone dan android mengeser telefon umum. “Telepon umum tergeser, dan bahkan tidak ada peminatnya sama sekali,” tambah siswi SMAN 1 Playen Gunungkidul. Salah satu alasan kenapa telepon umum tidak lagi diminati, menurutnya dikarenakan fitur dan layanan yang ditawarkan oleh android, smartphone dianggap lebih praktis dan dapat menjangkau lebih luas dari semua kalangan.
“Sangat disayangkan, keberadaan telepon umum saat ini sudah sangat langka. Ingin sekali rasanya mencoba kembali menggunakan telepon umum,” tandasnya. Indonesia merupakan salah satu pengguna telepon genggam tertinggi di dunia, dengan berbagai alasan masyarakat Indonesia rela membelli produk telepon atau gadget dari mancanegara untuk mempermudah dalam aktivitas sehari-hari mereka. Telepon genggam yang diciptakan tentu lebih canggih, efektif, dan efisien dalam penggunaannya sehingga mampu menggantikan telepon umum yang beberapa tahun lalu masih begitu tinggi peminatnya, akan tetapi seiring dengan kehadiran android atau gadget yang canggih, telepon umum tidak banyak ditemui lagi. Keberadaannya jarang ditemui.
Tidak jauh berbeda yang dirasakan oleh siswa SMKN 8 Yogyakarta, Aldi Alviano. Ia sangat kecewa melihat turunnya minat terhadap telefon umum. Ia lebih nyaman saat menggunakan telefon umum, meskipun gadget saat ini menawarkan kepraktisan. Ia percaya bahwa penikmat telefon umum masih ada, dan merindukan kehadiran wartel kembali.
 “Telepon umum tidak akan pernah tergantikan dengan apapun, karena lebih aman,” jelasnya. Ia merasa bahwa telepon umum tidak menimbulkan banyak resiko seperti tindak kejahatan. Hal yang menarik dari telepon umum yang Aldi rasakan adalah, Ia dapat bersosialisasi dengan oranglain, selalu mengantri dan dari segi harga juga relatif murah.

Berbeda dengan pendapat siswi SMK Kesehatan Bantul, Tasya, panggilan akrabnya. Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan telepon umum tidak lagi diminati karena dari segi penampilan dan biaya kurang menarik dan kurang efisien, dibandingkan dengan Android saat ini. Meskipun demikian, dirinya tetap menyayangkan berkurangnya telepon umum saat ini. (Dhea, Elisa)

Thursday, January 26, 2017

Mengenalkan Kesenian Lewat Merti Bakpia

Yogyakarta kembali dimeriahkan ivent tahunan Merti Bakpia. Berbagai kalangan, baik masyarakat kota Yogyakarta, turis dan kota luar Jogja merelakan mendatangi ivent tahunan Merti Bakpia (18/09) di kelurahan Ngampilan, sebagai sentral pembuatan bakpia di Yogyakarta.
Foto : Elisa
Tepat pukul 15.00 WIB arak-arakan dimulai. Antusiasme warga sangat positif. Salah satunya Indah (20), salah satu warga Magelang yang menyempatkan datang, hanya melihat Merti Bakpia. Ia mengungkapkan bahwa dirinya kagum dan mengapresiasi ivent yang digelar oleh warga Ngampilan. Harapan kedepannya dari ivent kreatif, Indah berharap melibatkan pelajar, supaya mereka turut melestarikan dan ikut mengenalkan Bakpia Patuk kepada masyarakat.
Antusiasme masyarakat terlihat dari banyaknya pengjung yang memadati sepanjang jalan KS Tubun-Jl Letjen Soeprapto-Jl. KH Ahmad Dahlan-Jl. Bayangkara. Peserta pawai sudah bersiap menampilkan pertunjukan terbaik mereka. Kusmantoro, selaku ketua panitia paguyuban kesenian Ngampilan memaparkan bahwa, ada 13 rukun warga (RW) turut menampilkan kesenian yang mereka usung.
“Kegiatannya sendiri melliputi Pawai bersama gunungan bakpia, pentas seni, ditutup dengan grebek bakpia bersamaan” tambah Mulyono (54) selaku peserta panitia.


Mujiyem (40) salah satu pengusaha bakpia yang turut berpartisipasi merti bakpia mengaku senang. Ia bangga bisa turut berpartisipasi untuk mempromosikan dan membagikan bakpia hasil produksinya. Mujiyem mengaku merasakan manfaat adannya ivent tahunan ini. Selain meningkatkan penjualan, juga ada rasa kepuasan mengingatkan warga masyarakat tentang asal usul pembuatan bakpia ke masyarakat luas. “Menariknya, acara ini juga menjadi sarana untuk warga bisa saling berkumpul dan bersilaturohim,” Tutupnya.  (Dhea, Elisa)

Wednesday, January 25, 2017

Pelajar Yogyakarta Masih Memerlukan Telepon Umum

Telfon semakin sulit ditemukan. Telfon umum yang dulu menjadi salah satu alat komunikasi termutakhir dijaman. Kini, hanya beberapa titik yang bisa ditemukan, itu pun sudah tidak berfungsi. Telfon umum diperkenalkan sekitar tahun 1981. Di tahun 1983-1988 setidaknya terpasang 5.724 unit telfon umum menggunakan koin. Di tahun 1988 telfon umum menggunakan kartu mulai diperkenalkan, yang terpasang lebih dari 95 unit. Seiring berjalannya waktu, telfon menggunakan kartu semakin meningkat di tahun 1993, setidaknya terpasang lebih dari 7.835 unit. Hingga detik ini telfon mengalami metamorphose, perlahan telfon umum tersingkirkan.
foto : http://bit.ly/2iUUMYD
“Meskipun dunia teknologi sudah begitu maju, menurut saya telepon umum masih sangat dibutuhkan masyarakat. Karena belum tentu semua masyarakat memiliki ponsel genggam sendiri, jadi menurutku telepon umum masih dibutuhkan,” kata Fransisca Estu Narimawati, SMA Santo Mikael Sleman. Harapan siswa jurusan IPA adalah, telpon umum tetap ada, dan keberadaannya tetap berguna untuk masyarakat.
Lain lagi dengan Maria Lintang Pradita, R. Menurut siswa SMA Santa Maria Yogyakarta telfon umum perlu diadakan. Telpon umum sangat bermanfaat dan membantu pelajar yang beberapa sekolah dan orangtua tidak membolehkan membawa ponsel genggam. “Biasanya disini sekolah memfasilitasi telepon sekolah buat muridnya. Tapi ada juga sekolah yang tidak memfasilitasi muridnya. Jadi, disinilah peran fasilitas telepon umum. Kalau ada perubahan jam pulang sekolah mendadakan bisa ngabarin orang rumah untuk menjemput,” paparnya.

Dita, yang masih kelas XI jurusan IPS pun menghimbau, telepon umum perlu diadakan lagi. Tapi, jika diadakan lagi harus dirawat. Karena telpon umum bagian dari fasilitas umum, jadi harus dirawat bersama-sama. Tidak jauh berbeda menurut siswi dari SMKN 7 Yogyakarta, Fransisca Julia Melwati, Kelas 11 Pemasaran, menurutnya telfon umum penting. Telepon sebagai fasilitas umum harusnya ada dimana-mana. Tapi kenyataannya kita justru sulit ditemukan dan banyak yang rusak. “sebagai masyarakat umum, itu harus dijaga,” imbuhnya. (Elisa, Linda)

Tuesday, January 24, 2017

Museum Tani Jawa : Menggenalkan Pangan Lokal Ke Wisatawan

Yogyakarta, selain sebagai kota pelajar, juga sebagai kota museum. Budi Husada, selaku Kepala Seksi Promosi dan Inovasi Bidang Permuseuman, Disbud DIY, menuturkan dalam pelatihan 30 Besa Duta Museum 2016, di Yogyakarta terdapat 35 museum, yang tercatat secara resmi. Belum beberapa museum lainnya. Bentuk museum terbagi menjadi kategori, mulai museum umum dan khusus. Salah satunya museum Tani Jawa.
Museum Tani Jawa secara bangunan fisik tergolong kecil, hanya berukuran 8x8 meter, di dalamnya menyimpan beberapa koleksi pertanian. Mulai dari ani-ani, luku, arit, sampai peralatan pertanian lain. Dewi Nur Rohmania, edukator Tani Jawa memaparkan, ternyata banyak masyarakat yang antusias dengan program yang Tani Jawa selenggarakan. Ceritanya, banyak wisatawan asing, bahkan lokal tidak tahu bagaimana bersawah.
Hal yang paling mengherankan Nia, selaku edukator adalah, ketika ada salah satu pengunjung dari Jakarta, kunjungan dari anak-anak SMP, tidak tahu bentuk dan rupa pohon padi. “Jadi, sebelum bermain ke sini membayangkan pohon padi, daunnya seperti pohon palem,” ceritanya. Ada pun cerita lain, datang dari wisatawan asing, dari Perancis. Mereka kagum dan antusias dengan pohon putri malu, melihat bendungan sawah dan melihat beberapa pohon di sepanjang tepi sawah, mereka takjub.
Bagi sebagian besar orang Yogyakarta tidak takjub dengan beberapa cerita di atas.  Ternyata itu mampu mengedukasi, sekaligus memberikan ilmu penting bagi orang perkotaan. Itulah yang ingin dimanfaatkan oleh Museum Tani Jawa, sebagai media pembelajaran, bagi mereka yang ingin mengenal alam lebih dekat.
Tidak banyak masyarakat Yogyakarta sendiri tahu tentang Museum Tani Jawa, yang berlokasi di desa Candran, Kebon Agung, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Museum ini pertamakali didirikan tahun 1995. Latarbelakang museum berdiri karena di tahun 1988 desa Candran menyandang sebagai juara Nasional lembaga pangan.

Harapan Nia, sapaannya, menjelaskan berperan penting untuk mengedukasi masyarakat tentang museum adalah, semakin banyak pengunjung yang datang, dan sadar museum. “Harapan lain, kita ingin mempertahankan budaya pertanian yang dulu, agar anak muda sekarang tahu bagaimana prosesnya, dan berharap mereka bisa lebih menghargai,” tambahnya. (Elisa)

Monday, January 23, 2017

Mengejar Ketertinggalan, Manfaatkan Jam Kosong

Lahir di Surabaya, 8 Mei 1999 silam, Myrna Cristanto, siswi kelas XII SMA Negeri 10 Yogyakarta initelah mengukir berbagai prestasi di bidang permodelan. Belum lama ini, Myrna, sapaan akrabnya, menjadi finalis 6 besar Miss Celebrity Region Yogyakarta, dan juara pertama Waikiki kategori Woman.
Foto : M. Arik. R
Merintis karir bermodelnya sejak tahun 2013, Myrna telah mengikuti berbagai kejuaran dan menyabet bermacam penghargaan; Juara 1 Lomba Batik Fashion Show UNY 2014, Winner Fashion Show Global Aiesec UGM 2015, Juara 1 Fashion Show Look Model Tasikmalaya 2015, Juara 1 India Competition 2015 Magelang, Juara 2 Miss Modifest 2015, Juara 2 Automotif 2015, Finalis Cardinal Art and Culture 2016, Miss Jogjapro 2015, Juara 1 Polaris Radio Show 2015, Juara 1 Model Kalender 2015 Yogyakarta, Juara 1 Miss Sophie Yogyakarta 2016, Juara 2 Oriental Love 2016, Juara 2 Trend Model 2016, dan masih banyak yang lain.
“Dari kecil emang aku suka berdandan, tapi hanya sebatas itu aja. Kemudian pertama kali ikut model kelas IX SMP, waktu itu masih takut-takut dan nervous, dan nggak terlalu berharap untuk menang, buat pengalaman aja,” tutur Myrna di sela-sela pemotretran. “Tapi di luar dugaan ternyata justru juara satu, itu jadi pemicuku untuk selanjutnya mengikuti lomba-lomba yang lain,” tambah gadis berambut panjang ini. Selain modeling, Myrna mulai melebarkan langkahnya pada acting, serta presenting.
Myrna mengaku lebih memilih freelance daripada masuk di management, karena itu ia berlatiha modeling secara otodidak, melihat dari youtube, mengamati lingkungan sekitar, dan belajar dari sang mama langsung. Saat ini ia duduk di bangku terakhir jenjang SMA, sebab itu diperlukan siasat jitu untuk membagi waktu antara belajar dan karir modeling yang ia emban.
“Aku mengejar ketinggalan pelajaran ketika ada jam kosong dan di ketika ada waktu luang di rumah,” katanya. Myrnamengaku telah terlanjur ‘nyemplung’ dan karena menemukan dunia entertaiment merupakan minatnya ia tidak rela melepaskannya begitu saja. “Aku harus bisa profesional biar nggak sia-sia, ini hanya bagaimana caranya aku membagi waktu antara hobi dan pendidikan.”

Walau mungkin jika ditilik tidak mudah, namun gadis yang ingin melanjutkan studinya di UGM Jurusan Komunikasi ini berusaha menjalankan semuanya dengan imbang. “Jangan lihat semuanya itu langsung beratnya aja, bawa aja sesantai mungkin dan nikmati, anggap aja ini hiasan dari bagian kehidupan kita, kalau nggak begitu mau gimana lagi?” ucapnya sambil tertawa. (Adhisti)

Diterbitkan Tabloid BIAS | Edisi 4 | Th. XXI | 2016

LIBAS Mengajak Masyarakat Peduli Sampah

Yogyakarta sebagai gudangnya komunitas. youthyakarta.com melansir bahwa di Yogyakarta ada 68 komunitas. Dari semua komunitas yang ditulis di sana, masih ada beberapa komunitas yang belum tercatat. Salah satunya komunitas LIBAS.
Foto : Elisa
Lingkungan Bebas Sampah (LIBAS) di dirikan oleh Apri Tri Nugroho (25) bersama teman-temannya, yang peduli terhadap sampah. Komunitas ini dibangun sejak 16 Agustus 2016. Dilatarbelakangi dari keprihatinan melihat banyak sampah ditepi jalan, di sungai bahkan di tempat-tempat yang sebenarnya bukan tempat sampah.
LIBAS juga mengapresiasi siapapun warga Yogyakarta yang aktif memanfaatkan sampah lebih bermanfaat. Apri, sapaan akrabnya, menceritakan bahwa kegiatan komunitas ini diawali dengan memotret tumpukan sampah dimanapun, di Yogyakarta. Foto-foto tersebut di upload di Instagram, disertai koordinat dan keterangan. Harapannya, berawal dari mengaplud sampah yang tidak pada tempatnya, dapat memberikan sedikit kesadaran terhadap masyarakat.  
“Jadi kita ingin mengajak masyarakat dimulai dari hal kecil, mengaploud foto sampah di media sosial. Lewat medsos, semakin banyak orang yang melihat. Berawal dari sini, diharapkan banyak masyarakat juga tergerak untuk peduli. Minimal, dimulai dari diri sendiri, membuang sampah ditempat,” tambahnya.
Ia kembali memaparkan bahwa, ada beberapa tipe orang kenapa membuang sampah sembarangan. Diantarannya karena tidak tahu tetapi tidak peduli. Ada juga memang mereka tidak tahu. Harapannya, komunitas ini mampu menjadi media aktualisasi sekaligus edukasi kepada masyarakat.  Inti bentuk edukasi mengangkat 3 slogan 3R (Reduce, reuse, recycle).
“Kemarin bertemu dengan pemiliki Aquaphonik Mulyo, yang menanam hidroponik menggunakan botol bekas. Ada juga salah satu usaha bangunan batako menggunakan campuran sampah plastik untuk mengurangi sampah. Jadi kita jadikan mereka sebagai contoh kepada masyarakat lain, bahwa sampah memiliki nilai ekonomis jika mampu dikelola secara tepat,” ujarnya panjang lebar.

Diakhir diskusi dengan pengagas LIBAS, diharapkan LIBAS bisa sambut bagik oleh masyarakat. Libas sebagai bagian dari masyarakat, yang berusaha terlibat secara aktif dalam usaha pengurangan permasalahan sampah. Sebagai sebuah komunitas yang belum lama berdiri, LIBAS mengerti beratnya bentuk kepedualian yang berkembang dalam tahap permulaan. Namun sebagaimana lazimnya anak muda, kepedulian terhadap lingkungan dan generasi yang akan datang menjadi motivasi untuk terus melakukan usaha-usaha kreatif dan inovatif dalam upaya menangani permasalahan sampah. “karenannya, mari bergabung dalam gerakan LIBAS, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang paling sederhana,” tandasnya.  [Baca aksi peduli sampah kota yang dilakukan pelajar jogja]  (Elisa)

Sunday, January 15, 2017

Idola Sebagai Penyemangat Wujudkan Cita-cita

Segala sesuatu yang dilakukan berlebihan dan fanatic selalu tidak baik. Itulah yang diungkapkan oleh siswi SMA 1 Lendah, Kulonprogo, Devita Fitria Ningrum. Siswa kelas X E menuturkan bahwa Ia tidak suka dengan perilaku fanatik, karena tidak menjadi dirinya sendiri. “jadinya tidak menjadi seperti diri sendiri. Tidak perlu berperilaku dan persikap seperti oranglain, biasa saja. Idola boleh, tidak perlu berlebihan,” ceritanya.
Foto : http://bit.ly/2jqshh8
Jika Devi tidak setuju dengan idola terhadap teman-teman yang terlalu fanatik. Maka, berbeda dengan siswa SMA Pengudi Luhur Yogyakarta, Lukas Davin Pradana. Pertamakali Ia mengidolakan Chris Lie dan Andik Prayoga, salah satu komikus Reon Komik, yang memiliki tujuan memajukan seniman dan komikus lewat komik.
“Aku sangat suka dengan tujuan Reon Komik, yaitu menghidupkan kembali semangat berkarya melalui komik lokal. Sehingga bacaan generasi muda Indonesia tidak melulu dijejali komik dari luar,” ceritanya bersemangat. Kecintaan Lukas terhadap Reon Komik ini pulalah yang memberi dorongan siswa yang duduk di kelas XI IPS 1 ini ingin menjadi seorang komikus.

Setiap orang memang memiliki idolanya masing-masing, dengan kadar kecintaan yang berbeda-beda pula. Clara Shinta Anggraeni, SMA Santo Mikael Sleman misalnya. Ia mengagumi Didi Nini Towok sebagai idolanya. Alasan Clara yang masih duduk di bangku XI IPA pun sederhana, kecintaannya dengan menari inilah yang mendorongnya ingin mengenal lebih jauh tentang pemikiran Didi Nini Towok. “Intinya aku sangat kagum dengan cara Didik Nini Towok yang melestarikan budaya Jawa terutama di bagian Tari,” tutupnya. (Linda, Elisa)

Dipublikasi Tabloid BIAS | Edisi 4 | Th. XXI | 2016

Friday, January 13, 2017

Situs Warungboto : Sarana Masyarakat Mengenal Rupa

Yogyakarta sebagai kota budaya memiliki banyak peninggalan yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Salah satunya situs Warungboto. Lokasinya berada di kelurahan Rejowinangun dan kelurahan Warungboto, Umbulharjo. Letaknya tepat di sisi Barat dan Timur sungai Gajah Wong, yang tersusun dari batu bata.
Yogyakarta tempo dulu dan sekarang mengalami banyak perubahan. Begitupun dengan situs Warungboto. Amir Hendarsah, salah satu warga Yogyakarta mengenal situs Warung Boto dipenuhi dengan lumut dan tidak terawatt. Sekarang, disulaplah menjadi tempat rekreasi edukasi yang patut dikunjungi.
Situs Warung Boto atau yang akrab dikenal pesangrahan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Pesangrahan Warungboto masih memiliki benang merah dengan sejarh berdirinya Kraton Yogyakarta.
Pesangrahan di masa kerajaan sengaja dibangun untuk kepentingan sarana prasarana untuk mendukung eksistensi kerajaan. Ditempat ini pula sebagai tempat pertemuan dan tempat peristirahatan. Pesrangahan Warungboto pertamakali dibangun oleh Sultan Hamengkubuono I (Pangeran Mangkubumi), kemudian pembangunan dilanjutkan oleh Hamengkubuono II.
Kini lokasinya belum terekspose, karena masih dalam proses pemugaran. Sehingga, ketika melintasi Jalan Veteran Banyak yang tidak tahu jika tempat ini sebagai salah satu situs peninggalan kerajaan Mataram Islam. Pertamakali masuk ke pintu gerbang, kanan kiri banyak material bangunan dan pasir. Setelah menaiki tangga berundak sederhana, akan disuguhkan pemandangan, seperti memasuki negeri istana negeri dongeng yang belum pernah tertulis dalam cerita.
Tangga masuk terdapat sebuah kolam berbentuk persegi panjang. Panjangnya kurang lebih 10m, dengan kedalaman 0,75m. Konon katannya, ditempat ini dulu digunakan sebagai tempat peristirahatan sekaligus sebagai tempat pemandaian raja dan keluarganya. Disisi barat, kolam berbentuk lingkaran dengan diameter 4,5m, kedalaman 0,5m. Dimana dibagian tengahnya terdapat pusat air mengalir, yang disebut mata air Umbul.

Jika 10 tahun yang lalu tempat ini masih tidak terawat, kini tempat ini menjadi salah satu tempat spot foto yang menarik. Jika puluhan tahun yang lalu, ketika masa Hamengkubuono 1 dan 2 sebagai sarana dan prasaran mendukung eksitensi kerajaan, kini situs ini secara tidak langsung sebagai sarana prasarana masyarakat Jogja untuk mengenal lebih tentang sejarah Yogyakarta itu sendiri. Dari tempat ini memperlihat betapa Yogyakata selain sebagai kota budaya, juga sebagai kota meninggalkan banyak cerita sejarah. Cerita sejarah yang barangkali tidak pernah disebut dibuku pelajaran sekolah. (Elisa)

Dipublikasikan Tabloid BIAS | Edisi 4| Th. XXI|2016

Thursday, January 12, 2017

Mencontek Demi Kelulusan Bersama

Aksi mencontek dan mencari bocoran soal menjadi isu menarik. Salah satunya cerita dari Hasim Nurhidayah (17), salah satu pelajar jurusan Kesehatan di Yogyakarta. Ia mengakui bahwa pernah melakukan kecurangan dalam belajar. “Aku sendiri juga pernah membawa contekan saat ujian, karena saat itu aku terlalu sibuk dengan kegiatan organisasi di luar sekolah,” ceritanya. Ketertinggalan materi menjadi alasan Hasim membawa contekan. Meskipun demikian, Ia menyadari bahwa aksinya perilaku yang tidak terpuji. Setelah mencotek, ada rasa penyesalan di dalam hati.
Nilai memang bagus tapi rasa kepuasan itu tidak dapat aku rasakan, karena hasil tersebut bukan dari kerja kerasku,” tandasnya. Ketika ditanya, kenapa banyak pelajar mencontek? Menurut Hasyim karena mereka merasa takut dan tidak percaya diri mengerjakan. Takut mendapatkan nilai jelek.
Berbeda dengan pendapat siswi SMK Kesehatan Bhakti Husada, Dina Qoriani (17), baginya, lebih baik mendapatkan nilai jelek tapi jujur, daripada mendapatkan nilai bagus tetapi hasil dari cara curang. Dina tidak pernah mencontek bukan karena percaya diri mendapatkan nilai bagus, tetapi karena takut akan mendapatkan hukuman. “Selain takut dengan hukuman yang akan diberikan. Ketika mencontek juga membohongi diri sendiri,” tegasnya.

Beda siswa, beda pendapat. Seperti yang diutarakan oleh Elana Valiani, dari SMA 1 Lendah, Kulonprogo. Aksi mencari bocoran soal dan mencontek menurutnya boleh-boleh saja. Alasannya pun klasik, yaitu membantu teman yang tidak bisa mengerjakan soal. “Mencontek tidak ada larangan dari Agama. Saya setuju aksi mencontek karena membantu teman saat ujian, dan membantu agar mereka juga bersama-sama bisa lulus semua,” jelasnya. Pendapat ini disanggah oleh satu kelasnya, kelas 10 E, bahwa aksi mencontek dan mencari bocoran soal itu perilaku buruk. (Dhea, Elisa)

Dipublikasi Tabloid BIAS | Edisi 4 | Th. XXI | 2016

Wednesday, January 11, 2017

Ikuti Kehidupan Idola Lewat Medsos

Menurut Baron dan Byrne (2003) dalam buku psikologi sosial mengupas tentang terjadinya perubahan perilaku disebabkan karena mengikuti tokoh idola yang dikaguminya. Sebelum mencapai titik mengikuti perilaku sang idola, ada beberapa hal yang dilakukan, seperti update perkembangan sang idola lewat kehidupan keseharian mereka. Seperti pendapat siswi dari SMK N 7 Yogyakarta, Lilis Widi Erna Wati, selalu mengikuti perkembangan sang idola di media sosial.
Foto : http://bit.ly/2jyVWJe
Lilis, pelajar jurusan Pemasaran, kelas 11 mengidolakan Mohammad Ali Syarieh (Aliando). Alasan Ia mengidolakan Aliando, karena menurutnya ia seorang aktor muslim yang rajin beribadah, sebagai the best drummer, pendai membuat lagu dan instrument. “la itu bisa main drum, keren pokoknya,” tambahnya.
Tidak jauh beda dengan siswi SMA Santo Mikael Sleman, Christina Septiana Prasetyani. Ia mengidolakan Coboi Junior sejak Ia kelas 6 SD. Christin juga tidak pernah meninggalkan media sosial, seperti Facebook, IG dan twitter, untuk mengikuti update terbaru idolanya. “Aku juga tanya-tanya ke para fans Coboi Junior yang saya kenal,” ceritanya, tidak ingin ketinggalan. Alasan pelajar yang masih dibangku XI jurusan IPA lebih condong pada ketampanan para personilnya.

Jika Christina Septiana Prasetyani dan Lilis Widi Erna Wati mengidolakan sang idola sebatas update dan mengikuti perkembangan lewat jejaring sosial. Maka, berbeda dengan teman Lutfi Alfian Timur, SMA 1 Lendah, Kulonprogo. Ada beberapa temannya yang fanatik dengan idolanya, yang mendorong terjadinya perubahan sikap, perilakunya. “Ya perilakunya mendukung idolanya, sampai-sampai warna kesukaan Idola diikutinya,” cerita siswa kelas 10 E. (Linda, Elisa)

Dipublikasi Tabloid BIAS | Edisi 4 | Th. XXI | 2016

Tuesday, January 10, 2017

Bahaya Fanatik Terhadap Idola Bagi Pelajar

Banyak kebudayaan luar masuk tanpa disadari. Budaya masuk lewat tayangan televisi, dan lewat media sosial. Artis menjadi icon pertama yang mempengaruhi pola pikir para fans. Hanya lewat kemampuan mereka sebagai artis mampu membius masyarakat yang mengidolakan sosok dirinya berubah secara perilaku, gaya berpakaian dan sikap sang idola.
Foto : http://bit.ly/2ic00Ke
Dua pelajar dari sekolah yang berbeda, Nabilah Putri, MAN 3 Wates dan Husein Efendi, SMKN 10 Yogyakarta berpenampilan layaknya arti yang diidolakan sampai dibawa ke lingkungan sekolah tidak setuju. Alasannya sederhana, karena terlihat aneh dan lebai. 
Menurut pelajar SMK Kesehatan Sadewa, Dewi Irene sebenarya tidak masalah. Baginya, asal tidak berlebihan dalam meniru. Menurut Irene, teman-teman sekeliling yang fanatik terhadap idolanya, sampai-sampai cara berbicara, ber-make-up secara berlebihan terkesan lebai dan aneh. [Baca fenomena remaja hingga mengikuti kehidupan idolanya di medsos]
“Saat berada di sekolah sebenarnya ber-make up, mengenakan lipstick, bedak tebal dan pensil alis tidak perlu,” tambah Irene. Banyak teman-temannya yang seperti itu, dan ketika ditanya apa manfaat mengikuti gaya sang idola, itu semua belum perlu.
“Segi manfaatnya sendiri sih menurutku tidak ada ya, karena tidak ada gunanaya juga kita mengikuti gaya dan kebiasaan oranglailn, hal tersebut hanya akan menghilangkan jati diri kita dan membuat kita terkesan tidak percaya diri,” Ungkap
Lain lagi pandangan siswa dari SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, Abhiya Satria. Menurutnya ketika seseorang mengikuti life style sang idola terkesan berlebihan dan tidak bermanfaat. Ia beranggapan bahwa, sekeras apapun kita mengikuti dan mengorbankan tenaga, dan banyak uang hanya mengikuti trend, Sang Idola tidak  mengenali dan melihat kerja keras.
“Sebenarnya boleh mengikuti trend fashion, ya asal tidak berlebihan. Mereka yang mengikuti trend fashion seperti di televisi dan berlebihan, menurutku mengerikan dan justru terlihat idak natural seperti usia mereka. Sewajarnya saja, sesuai dengan usia, keadaan lingkungan sekitar,” ceritnya.

Dila, sapaannya, salah satu siswi dari SMKI yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Irene dan Satria. Sekalipun Dila juga memiliki Idola, tapi Ia tidak sampai fanatik, sebatas suka, tidak kurang dan tidak lebih. Menurutnya, fanatik itu memang tidak perlu. Dampak mengikuti trend fashion dan terlalu fanatik dengan idolanya, banyak teman-temannya rela merogok kocek mereka untuk perawatan ke salon, menonton konser yang harga tiketnya ratusan, bahkan ada yang mencapai jutaan. Baca juga dampak terlalu mengidolakan terhadap anak muda (Dhea, Elisa)
Dipublikasi Tabloid BIAS | Edisi 4 | Th. XXI | 2016


Monday, January 9, 2017

Artjog 2016: Universal Influence



Tempat Tumpah-ruahnya Seni Kontemporer Indonesia

ArtJog 2016, ajang pemeran seni kontemporer yang telah memasukin tahun kesembilan ini dibuka untuk umum pada tanggal 27 Mei – 27 Juni 2016 di Jogja Nasional Museum. Artjog tak pernah lengang dari pengujung, dari pukul 10.00 WIB hingga 21.00 WIB setiap harinya, 800 – 1200 orang bisa datang dan menikmati puluhan seni yang dipertontonkan, semakin malam justru semakin membludak. Ekhibisi seni ini menjadi sasaran para anak muda untuk menghabiskan waktu mereka dan belajar lebih banyak tentang seni.
Memasukin area Jogja Nasional Museum, pengunjung telah disambut oleh menara setinggi 36 meter lengkap dengan perangkat lampu suar yang berdaya jangkau 10 km. Menara itu diandaikan sebagai mercusuar yang merepresentasikan perangkat penyebaran pengaruh yang mendunia. Mercusuar yang disertai dengan instalasi kinetik berbentuk blower berdiameter 2,5 m dan berkedalaman 50 m tersebut akan menjadi terowongan yang menyedot penonton di perayaan tahun ini. Monumen ini diinisiasi oleh Heri Pemad, pendiri sekaligus direktur artistik ArtJog.
ArtJog bertujuan agar seniman Indonesia bertemu. Sekaligs sebagai wadah untuk mengekpresikan karya seniman kepada masyarakat luas. Diikuti oleh 72 seniman dari Indonesia dan mancanegara. Dalam acara ini menampilkan 97 karya. Secara khusus ArtJog 2016 mengundang 62 seniman asal Indonesia, 4 seniman dari Jepang, 3 seniman dari Liechtenstein, dan tiga seniman lainnya dari Malaysia, Australia, Filipina.
Dalam event ini terbagi menjadi enam kategori. Ada 58 karya dua dimensi (lukisan dan foto), 30 karya tiga dimensi (patung dan instalasi), tujuh video, tiga site spesific object, dan empat performance. Beberapa nama seniman diantaranya; Eko Nugroho, Agus Suwage, FX Harsono, Garin Nugroho, Nasiurun, Titarubi, dan lain-lain.
“Selain hanya memajang karya seni, di sini pengunjung juga bisa mendapat pendidikan seni langsung dari kurator dan seniman yang bersangkutan. Kami berharap ArtJog dapat menjadi suatu destinasi wisata di Kota Jogja, dan juga masyarakat lebih mengetahai dan mengapresiasi seni rupa lebih dalam. Seni itu untuk semua orang dan semua kalangan,” ucap Hamada Adzani, selalu humas ArtJog2016, ketika ditanya tentang harapannya mengenai perayaan ini.
ArtJog kali ini mengangkat tema Universal Influence. Universal Influence berangkat dari sebuah pemahaman bahwa apa yang menjadi kebudayaan global atau universal melalui akumulasi peristiwa yang menyejarah, yang berarti apa yang membentu suatu nilai atau tren umum tidak lepas dari peran masa lalu.Tema isu global diangkat untuk membawa dampak lebih luas terhadap pengunjung ArtJog yang datang dari beragam kalangan.  (Adhisti - Elisa)

Diterbitkan, Tabloid Remaja BIAS, Edisi 4 | Th. XXI | 2016