BLUSUKAN JAKARTA PART 2 : RAMDHAN TAHUN 2012 LALU



Teringat masa ketika saya magang di salah satu “oil” di Jakarta Selatan. Kali itu saya bersama kedua sahabat saya tinggal di Komplek perumahan cukup elite di kawasan Kalibata. Rumah yang kita tumpangipun rumah salah satu yang cukup memiliki nama di Negeri ini. Masih ingat betul pada saat itu juga bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Hal yang menarik bagi saya ibadah di sana. Di Jakarta itu mau sholat sulit, mau puasa godaannya juga besar. Di sana itu, ramadhan atau tidak ramadhan suasannya sama kayak tidak ramadhan, mungkin beda. Tapi tidak sekental di Jogja.
Bukan Jakarta namannya, jika segala sesuatu mudah dijangkau. Sesuatu yang sebenarnya mudah dijangkau terasa sulit dijangkau. Seperti saat itu, malam tarawih pertama. Saya dan kedua sahabat saya kesulitan mencari mushola atau masjid yang dekat kompleks.
“Itu non, samping kompleks ada masjid. Mau tarawih non? Yuk bareng saja”, sahut mas Jo pengertian. Mas Jo adalah salah satu penjaga rumah yang kita tumpangi.
“Dekat apa jauh mas Jo?” tanyaku penasaran, karena suara adzan cukup santer terdengar dari rumah.
“Dekat, Cuma situ”, jawabnya sambil berkemas mengambil kopiah dan mengambil air wudhu.
Aku segera lari ke lantai dua mengambil mukena, disusul kedua sahabatku.
“Tunggu mas Jo!” kita bertiga lari mengutil di belakangnya.
Kami keluar dari kompleks, yeah… makam pahlawan kalibata terlihat diujung mata. Makam yang pernah disebut-sebut saat saya wawancara di Makam pahlawan kusumanegara mengatakan makam pahlawan kalibata memperoleh penghargaan dan memperoleh kucuran dana perawatan yang cukup banyak itu benar-benar pemandangan biasa yang sering aku lihat. Tidak hanya di awang-awang lagi, dan memang bersih dan bagus. Kami menyusuri jalan raya yang masih saja padat, semakin padat malah. Suara klakson mobil metromini berdempim, saling bersahutan dengan motor roda dua dan mobil pribadi, karena banyak yang menepi sekedar berbuka. Kami  belok kanan masuk ke gang, melewati markas Slenk ketika berlatih musik.
“Mas Jo, katanya deket. Kok jauh. masih jauh nggak?”
“Nggak non, deket lagi. Tuh disitu”, jawabnya
Kita berjalan, menguntit dibelakangnya. Lagi-lagi kaki sudah capek. Yah itulah pengalaman ketika di Jakarta. Masjid yang cukup besar. Ini pertamakalinya tarawih di Ibu Kota seorang diri tanpa sanak saudara, tanpa ada sanak saudara pula di sana. Semenelantar-lantarnya kita, tetap orang yang paling beruntung, setidaknya merasakan sebulan tinggal dirumah gedongan dan merasakan jadi orang kaya dan naik mobil pejabat meskipun diam-diam, ke kantor juga fasilitas cukup.
Tahukah kamu, masjid yang terasa jauh sebenarnya sangat dekat dengan rumah yang kita tinggali. Penyebab kenapa lokasi tersebut nampak jauh adalah, karena komplek perumahan di dinding tinggi. Sehingga harus muter komplek terlebih dahulu. waktu yang dirasakan disana pun juga tarasa sangat singkat. Banyak waktu habis di jalan.

Pertamakalinya, khususnya Saya hidup benar-benar mandiri dan tidak menjadi anak mami. Aku menikmatinya, sisi lain juga tidak menikmati. Apapun yang sudah terjadi, aku selalu mensyukurinya. Meskipun selama menjalani sering mengeluh, tapi didalam hati terkecilku sangat-sangat bersyukur.
Pertamakalinya aku memasak tanpa campur tangan ibu. Yah, seorang saya memasak itu hal yang luar biasa dimata ibu dan kakakku. Tetapi aku bisa melakukannya, meskipun rasannya tidak cukup enak. Hal yang paling berkesan bagiku saat bulan puasa, aku mendada menjadi lebih dewasa. Begitu rajin masak setiap buka puasa, memasak untuk sahur. Hal yang aneh terjadi pada diri saya pun terjadi. Ketika dirumah ibu pasti membangunkanku sahur, saat merantau aku bersikap seperti ibuku, membangunkan dan memasakkan makanan. Saya tidak menyesalinya ataupun marah kepada kedua sahabat saya, justru aku menikmatinya. Pada saat itulah aku merasakan ada sesuatu yang berbeda yang terjadi pada diriku.
Atau ketika sepulang dari kantor. Saya tipe orang yang tidak betah bekerja dalam rutinitas yang itu-itu saja, duduk di depan dengan pekerjaan yang tidak aku sukai dicampur dengan AC yang minus 15 drajat celcius. Membuat kepalaku sakit. Hal yang aku tunggu adalah segera pulang dari kantor. Sebelum jam kantor selesai, sengaja keluar terlebih dahulu. Ijin belanja di Pasar mampang Prapatan. Atau sekedar menyebrang ke depan di Superindo jika ingin mencari sayur yang lebih segar.
Ketika belanja di pasar menariknya ketika membeli sayur, si penjual dengan ramah berkata “Monggo mbak tumbas nopo?”, saya spontan kaget “Loh ibu bisa bahasa jawa?. Kok tahu kita dari jawa buk?” tanyaku sambil milih. “Wo ya, kelihatan mbak. Monggo mbak ngersakke napa mbak?” tanyanya. Aku juga memilih ini itu, dan asyiknya ketika si penjual memberi diskon amat banyak kepada saya dan satu sahabat saya ini karena berasal dari tempat yang sama, yaitu Klaten (sahabatan saya dari klaten). Yah, lumayanlah anak rantauan yang terdampar di Jakarta. Kantong pas-passan.
Atau ketika belanda di Superindo depan kantor. Saat masuk di sini wah seger. Apalagi ketika melihat kru Trans yang menurut stereotip saya pribadi “keren”. Memakai baju seragam trans TV. “Wah aku bisa masuk ke situ tidak ya”, batinku. Seiring berjalannya waktu, keinginan itu memudar setelah mengetahui fakta. Gagal move on (hahahahaha).
Setelah belanja, ketika Bapak angkat pulang lebih malam kita pulang duluan naik angkot. Naik angkot di Jakarta dengan naik angkot di Jongja jelas jauh berbeda. Pagi, siang maupun sore angkot di Jakarta selalu berdesak-desakkan, nyaris tidak pernah mendapat tempat duduk (terutama di jalur mampang pramatan). Sebenarnya tidak terlalu jauh antara kantor dan rumah yang kita tinggali. Terkadang ketika tidak bisa bernafas dan macet total, kita memilih turun dan jalan kaki. Melewati komplek perumahan belakang komplek. Sambil jalan, menanti mahrib tiba. Kita berdua (saya dan Nurul) menikmati suasana ini.
Sesampai rumah, jika ada waktu memasak. Yah, aku memasak dengan bumbu yang aku tahu. Seadannya saja. Hal yang aku nantikan ketika berbuka puasa, mencicipi masakannya. “Bagaimana rasannya? Tidak enak ya? Kalo tidak enak di enak-enakin ya?” tanyaku khawatir kepada kedua temanku. Mendadak dari situ aku suka memasak, dan menikmatinya lelah. Atau ketika kita mulai berbagi tugas mencuci baju, karena kelelahan, kedua sahabatku tertidur pulas dan lupa meneruskan cucian. Dan aku memakluminya hal itu, karena mereka kelelahan. Pernah juga saya juga ikut tertidur dan lupa tidak menjemur pakaian hingga pagi.
Sejenak, mengingat lelah ketika itu, dan kini aku kenang, aku teringat dan merasakan kelelahan ibuku dirumah mengurus ini itu. Bahkan saya diperlakukan sebagaimana tuan putri, dan memang karena saya tuan putri bagi mereka. Begitu luarbiasannya ibuku selama ini sebelum aku mengetahui realitas hidup. harusnya saya berterimakasih kepada Ibu, tetapi entah kenapa cukup gengsi.
Awalnya, ingin tinggal di kota. Setelah pengalaman tersebut aku tetap nyaman dan bersyukur hidup di desa. Di desa tempat teraman dan ternyaman untukku kini dan nanti. Mulai dari kelancaran transportasi jelas lebih lancar, ketika ingin sholat dan puasa lebih ramah di Desa, karena ada batasnya. Poin terbesar dan terpenting adalah, mensyukuri apa yang ada, itu yang paling membahagiakan. Terlepas saat menjalaninya sering mengeluh, marah, jengkel, barkan saja, kelak ocehan tak berguna itu akan menjadi rasa kesyukuran.


BLUSUKAN JAKARTA PART 2 : RAMDHAN TAHUN 2012 LALU BLUSUKAN JAKARTA PART 2 : RAMDHAN TAHUN 2012 LALU Reviewed by elisa on Sunday, June 29, 2014 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.