Gila Lebih Baik Daripada Mengaku-Aku Waras Tapi Jiwanya Gila



Foto : ELisa

Habis membaca sebuah tulisan Cak Nun, mengingatkanku saat dulu saya masih bekerja di rental komputer di seputar Jalan Wonosari km 14. Saat itu saya ambil sif pagi sampai malam karena di tengah-tengah saya harus cabut dari tempat kerja karena ada jam kuliah. Tepatnya pagi hari, sekitar pukul 11.00 WIB, kebetulan saat itu saya cewek sendiri, biasannya ada 2 atau tiga laki-laki. Datanglah lelaki berambut gimbal, berpita debu dan berkuku panjang. Celananya sobek dan masyaallah begitu tampannya ia, sampai-sampai tak tega menatapnya.
Lelaki itu menghampiri tokoo sambil membawa gergaji yang sudah usang, sesekali teriak-teriak seperti para demonstran yang tengah mencaci dan menjelek-jelekkan capreas maupun cawapres. Persis sekali seorang demonstran. Saya kira orang yang suka melakukan demonstrasi juga tidak jauh beda dengan si rambut gimbal ini. Bedannya hanya pada cara berpakaiannya.
Toko-toko lain menyebutnya gila, tetapi saya hanya menyebutkan orang yang kurang beruntung saja. Ia menghampiriku, tentu saja rasa takut itu ada. Secara aku adalah perempuan seorang diri. Saya beranikan diri, dengan suara yang lembut "Piye?". Ia pun mengeluarkan kalimat yang membuatku cukup kaget "Aku tuku wedang e kae", sambil menunjuk ke sebuah kulkas, sambil mengeluarkan uang cepek. Saya berikan dan saya bukakan dan aku berikan minuman itu, dan menerima uang cepek itu, (tentu saja kekurangannya saya ganti, karena ini bukan toko saya).
Entah kenapa, yang aku fikirkan seperti ini. Hampir semua orang mengatakan dia GILA, tapi aku tidak memperlakukannya dia orang gila. Justru aku kasihan dan tidak tega melihat orang-orang kurang beruntung. Orang yang mengaku normal tetapi kelakuannya seringkali melebihi kelakuan orang yang gila. Pertemuanku dengan orang gila ini mengingatkanku pada seorang pelanggan yang memaki-maki dan marah-marah karena terjadi kesalahan pelayanan oleh salah satu rekan kerja saya. Wajahnya cantik, kuliahnya juga disalahsatu Perguruan Tinggi cukup bergengsi di Jogja. Meminta dan maksa agar uangnya dikembalikan. Di sisi lain memang itu hak seorang pelanggan dan kewajiban pula yang harus dilakukan oleh seorang karyawan. Namun disisi lain, Orang gila dan orang normal terkadang lebih baik orang gila.
Sebuah cerita lain lagi, lagi-lagi belajar dari sosok orang yang dicap sebagai orang GILA dalam arti sebenarnya. Suatu malam, kali ini Saya satu sif dengan teman laki-laki. Karena hujan, toko menjadi sepi dari pelanggan fotocopi dan sepi ketikan. Tak sengaja mata jatuh di toko Bakso dan mie ayam samping timur tempat kerja saya. Lagi-lagi ada pemuda berambut gimbal berpita debu dengan kuku yang sangat panjang. Seluruh tubuhnya berhembodikan oleh debu yang berkerak hitam. Ia duduk di depan toko mie ayam tersebut sambil menatap Jalan Wonosari. Aromannya harum sekali, tidak ada parfum yang menyamainya, dan tidak pernah laku bau parfum ini, baunya seperti campuran antara keringat campur kotoran kencing dan BAB jadi satu. Matannya kosong. Karena penasaran, sepanjang dua jam kurang saya amati gerak-geriknya.

Sejurus kemudian, ia meraih sebuah plastik yang sudah dibuang. Plastik itu ada sedotan dan masih ada sedikit air. Oh.. Ya Allah~~ segera diminum lahap. Setelah habis, ia kembali menatap dan melamun ke jalan raya. Aku masih menikmati pengamatanku. Entah dorongan apa, mataku menetes tanpa sebab melihat si gimbal sedari tadi. Pembelajaran yang luar biasa besar dan bisa jadi orang-orang sehat jasmani dan rohani jauh lebih buruk dari orang yang dibuang dan tidak dianggap ini.
Hatiku berbunga-bunga, seperti ingin dilamar lelaki yang saya cintai ketika mendengar ucapan terimakasih dari seseorang yang banyak dinilai orang gila oleh orang yang mengaku tidak gila. Tak kuasa dan tak tega, memutuskan memberikan sebungkus makanan jatah saya pada malam itu. Rintik-rintik hujan membuat bulu kudukku semakin merinding. Dengan kuku yang panjang dan hitam penuh kuman menghampiri tanganku, meraih nasi bungkus. Dan mengucapkan “Makasih”.
Bahkan aku sendiri merasa malu pada diriku sendiri yang jarang mengatakan terimakasih kepada orang yang sudah berbuat baik. Padahal saya sendiri mengakui bahwa diriku tidak gila. Sedangkan si orang-orang yang dicap gila dengan tulus tanpa pamrih yang akalnya tidak beres, masih bisa mengucapkan terimakasih saat diberikan sebungkus nasi. Karena terlanjur jatuh cinta pada oranggila itu, aku berlari dan kembali ke tempat kerjaku mengambil sebotol air putih, ya air putih sudah tidak penuh, karena sebagian sudah masuk kedalam perutku. Mau tahu apa yang dilakukan si pemuda berambut gimbal dan berkuku panjang itu? Ia kembali mengucapkan terimakasih. Ya sesederhana itu rasa bahagia dan rasa syukur. Jadi, jangan pandang sebelah mata dan menganggap remah orang gila di jalanan, bisa jadi kita lebih gila dari mereka. Tapi tetap waspada. Hal yang pasti, perlakukan siapapun itu sebagaimana mestinya sekalipun sikap, perilaku, cara berpenampilan dan cara berbicara tidak sebagaimana mestinya.
Gila Lebih Baik Daripada Mengaku-Aku Waras Tapi Jiwanya Gila Gila Lebih Baik Daripada Mengaku-Aku Waras Tapi Jiwanya Gila Reviewed by elisa on Tuesday, June 17, 2014 Rating: 5

2 comments:

  1. mbak elisa keren. Km melihat dg sudut pandang lain. Jenius!! Ceritane iki aku lagi terharu trus sedih moco ceritamu. Aku belum pernah seberani itu beraksi. Saluuut

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih.. terimakasih mbak Khoirunnisa. Dulu pas aku di posisi itu juga terharu dan sedih melihat si orgilnya itu. Ngenes ndelokke diriku sendiri malahnen yang sempurna sebagai orang normal dan waras.

      Delete

Sahabat

Powered by Blogger.