Tuesday, April 28, 2020

Moralitas Pelajar kepada Guru


Pendidikan merupakan jembatan untuk mencerdaskan penerus bangsa, pendidikan memiliki peranan yang penting dalam kemajuan negeri ini. Akan tetapi, kondisi pendidikan saat ini sangat memprihatinkan, dimana moral dan sopan santun peserta didik yang sangat rendah. Hal ini tentunya didasari karena kurangnya etika dan moral dari para pelajar itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya peningkatan sikap moralitas kepada para pelajar, mulai dari sapaan yang diberikan kepada para guru.
Foto: Fanny K.
Moch Angga Ramadhan (16) yang bersekolah di SMK N 1 Yogyakarta mengaku selalu melakukan 5s yaitu sapa, salam ,senyum, sopan, santun. Ia bercerita bahwa jika bertemu guru di jalan atau dimana saja kita harus saling menyapa karena guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa tidak harus sama guru juga jika bertemu siapapun di jalan kita harus menghormatinya.
Menurut Angga menyapa guru bukanlah hal yang sifatnya memaksa, karena guru sebagai orang tua di sekolah dan jasa guru ke itu pun juga besar. “Guru membagikan illmunya bagi para penerus bangsa, setidaknya kita harus menghormatinya jadi kenapa harus rugi kalau kita menyapa guru,” tegasnya.
Baca Juga: Kegiatan Seabrek, Sekolah Jalan Terus 
“Kita ini kan berada di negara yang berkembang sebagai anak penerus bangsa saya berharap kita harus bisa untuk membawa Indonesia ke masa depan yang baik. Jadi pelajar harus mempunyai tingkat rasa percaya diri yang sangat tinggi, dan anak-anak pelajar yang ada di Indonesia harus berfikir bagaimana untuk hari esok supaya lebih baik dari hari sebelumnya,” ungkap Angga yang hobi bermain futsal.
Menurut Delvia Anniaa Setyardi (17) siswi SMA Santo Mikael Sleman, tetap harus menyapa guru walaupun di luar sekolah, karena lebih sopan jika tetap menyapa guru walaupun tidak bertemu di sekolah langsung. Delvi berharap semoga banyak siswa siswi yang selalu menghargai guru karena di Indonesia saat ini darurat krisis moralitas
Baca Juga : Multiperan Pelajar Sebagai Pondasi Bangsa
“Saat bertemu dengan guru pastinya selalu mengucapkan salam dan ngobrol sedikit. Mengucapkan salam, menurut saya sudah menjadi hal yang sudah terbiasa,” ucap Samudra Satya (16) dari SMK N 1 Yogyakarta. (Linda)
Dipublikasikan di Tabloid BIAS edisi 1 | 2019

Tuesday, April 21, 2020

Moral Siswa Kepada Guru Ditengah Kemajuan Modernisasi


Zaman terus berubah dan berganti. Banyak terobosan bermunculan. Teknologi pun terus melesat ke depan. Tapi apakah kemajuan zaman berbanding lurus dengan kemajuan moralitas? Mungkin perlu dipertanyakan ulang. Karena kenyataannya ada dua sisi yang selalu menyertai, yaitu sisi kemajuan moral dan kemunduran moral.
Foto: Panitia GenBI
Moralitas sendiri merupakan nilai-nilai yang berperan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat. Memiliki moralitas yang baik harus ditanamkan sejak dini. Salah satunya menanamkan sikap moral seorang siswa kepada guru. Banyak cara untuk mengaplikasikan sebuah moralitas kepada seorang guru, mulai dari tidak berjalan mendahului seorang guru, tidak membantah perkataan guru hingga mendengarkan saat guru mengajar.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, justru semakin canggih teknologi, semakin banyak berita dijejaring sosial yang memperliatkan sisi gelap perilaku pelajar. Misal, fenomena pelajar memukul guru. Tidak perlu membicarakan tentang siswa murid memukul guru, dalam keseharian juga banyak ditemui pelajar yang menentang guru atau tidak mendengarkan guru dikelas.
Baca Juga: Diskusi Kongres Duta Anak: Merdekakan Hak Anak 
Hal ini dibenarkan oleh pelajar dari SMK Budhi Dharma, Yoga Amanusa, ditemui teman yang berani dengan guru saat jam belajar. Tidak hanya itu, ketika jam pelajaran, tidak jarang temannya bolos terang-terangan.
“Kalo menurut saya, nakalnya mereka itu sebenarnya ada sebabnya, salah satunya mereka mencari sensasi dan mencari perhatian,” imbuhnya.
Yoga, Pelajar yang sekarang sedang duduk di kelas 12 penjual mengaku bahwa dirinya tipe orang yang menghormati guru, meskipun ketika berpapasan dengan guru di luar kelas masih merasa malu menyapa. Meskipun demikian, dia tetap menghormati guru, karena guru sebagai orangtua saya yang kedua. Yoga pun mengaku ketika di sekolah merasa asyik, karena gurunya pun juga asik-asik.
Baca Juga: Meski Mengikuti Ekstrakulikuler, Pelajar Harus Berperan
Berbeda lagi dengan pendapat siswa MAN 2 Yogyakarta, Ayu Fadjri Agustiani. Menurut siswi yang baru duduk di XII MIPA 3 relatif sedikit ditemui siswa yang memiliki moral tidak baik.
"Salah satu bukti bahwa siswa zaman sekarang terutama di lingkup saya telah bersikap baik adalah, saat bertemu selalu cium tangan atau mengucapkan salam pada guru tersebut" Tambahnya.
Seiring berkembangnya zaman, moralitas siswa mulai terkikis secara perlahan. Sebagian siswa mulai melupakan bagaimana adab ketika bertemu, berbicara kepada gurunya. Mereka malah bersikap kepada gurunya seperti bersikap ķepada teman sebayanya. Sebenarnya bagus seorang siswa menganggap gurunya sebagai teman curhat, bertukar pikiran dan pendapat. Tetapi alangkah baiknya, seorang siswa masih memperhatikan serta mempraktekan adab serta sikap yang baik kepada sang  guru. (Irukawa Elisa, Hanifa Noor)
Dipublikasikan di Tabloid BIAS edisi 1 | 2019

Thursday, April 16, 2020

Menjadi Orangtua Itu Butuh Tanggungjawab Total: Tidak Hanya Manak Terus Dititipkan!


Melihat fenomena yang kini saya lihat di lingkungan sekitar saya. Tentang kasus penitipan anak kepada orangtua mereka. Sebelumnya ini bukan ditujukan untuk siapapun. Tidak bermaksud pula untuk menyindir siapun. Jadi jika kamu sensi terhadap tulisan ini, berarti kamu merasa. Karena tulisan ini saya tulis karena saya mengambil pelajaran dari kasus ini

***

Foto: Dokpri
Kasus orangtua menitipkan anak mereka kepada orangtuanya. Memang tidak ada yang salah menitipkan anak kepada orangtua kita. Apalagi jika orangtua memang pada dasarnya lebih mencintai cucunya daripada anaknya. Hal yang menjadi sorotan saya adalah, orangtua sebagai pengasuh full time. Dimana anak justru kehilalngan moment kebersamaan bersama bapak ibunya.
Padahal anak-anak lebih mementingkan kebersamaan bersama kedua orangtuanya. Saya tahu Anda bekerja. Saya juga tahu Anda mencari uang juga untuk buah hati Anda. Saya tahu hal itu. Saya hanya mencoba merenung dan memikirkan jaman dulu dan jaman sekarang memang berbeda.
Emak-emak jaman sekrang memang lebih update, lebih tahu gaya penampilan di depan kamera. Sedangkan jaman orangtua saya dulu, bisa dibilang HP saja tidak kenal. Bisa telp saja harus ke kota berjalan puluhan km. itupun masih nyari-nyari sinyal terbaik. Gaya orangtua saya memang lebih jadul dan manual. Tetapi mereka hebat.
Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Jaman ibu saya,  hidup ditinggal suami bekerja merantau. Merantau jaman dulu sama jaman sekarang sudah beda dong ya. Sekarang suami merantau, butuh uang Cuma modal transfer, uang bisa di ambil. Lah jaman dulu?? Boro-boro bisa begitu. Dulu butuh berminggu-minggu dan mengambil uang pun harus kekota mamakan waktu 2-3 jam karena faktor mobilisasi angkutan umum.
BACA JUGA: Gila Lebih Baik Daripada Mengaku Waras Tapi Jiwanya Yang Gila
Selama tidak di transfer uang, ibu saya harus mencari makan sendiri, mencari uang sendiri dengan tiga anak. Tanpa bantuan mertua atau orangtua. Nyatannya ibu saya kuat, tetap bisa merawat anak-anaknya hingga besar. Dan saya sangat yakin, pada jaman ibuku dulu, orang tua jaman dulu juga seperti itu. mereka merawat anak mereka sendiri, sesulit apapun ekonomi, sesulit apapun tidak memiliki makanan yang harus di makan.
Pertanyaan saya adalah, kenapa orangtua jaman sekarang tidak bisa melakukan hal seperti itu? Kenapa? Ada yang salah? Kenapa bekerja sambil momong anak tidak bisa? Karena kantoran? Jika memang iya, kenapa sistem kerja jaman sekarang begitu membatasi tanggungjawab dan fitra seorang ibu.
So, jangan heran jika anak kita justru lebih lekat dengan orangtua kita. Saya tahu dunia pengetahuan saat ini lebih mudah diakses. Sayapun juga tidak perlu berceramah tentang dampak psikologis anak akan kasus ini. Saya kira pun orangtua sebenarnya juga sudah tahu ilmu psikologi. Tetapi kenapa masih begitu?
Bagi saya, menjadi orangtua itu sebuah tanggungjawab. Tanggungjawab membesarkan anak-anak mereka. tanggungjawab meragati dan memberi makan anak-anaknya. Namun dengan seperti ini, saya pun kembali berfikir, apakah dengan menitipkan ke orangtua kita sebagai bentuk tanggungjawab kita?
BACA JUGA : Pandanganku VS Pandangan Tuhan
Sebelumnya maaf, jika kalimat ini mungkin akan menyakiti pembaca. Saya melihat, orangtua sekarang lebih egois. Meraka hanya mau membuat anak dan melahirkan saja. Selebihnya, melimpahkan pengasuhan kepada orangtua kita. Sebagai orangtua tentu saja memiliki risiko besar.
Pertanyaannya saja adalah, kenapa orangtua jaman sekarang lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan mengutamakan mengasuh anak-anak? Iya, saya tuh tahu karena anak butuh uang makannya mengutamakan pekerjaan. Tapi, apakah itu alasan tulus? Tidak pernahkah kita melihat dari sisi orangtua kita?
Orangtua sudah merawat kita dari kecil dengan susah payah. Rela tidak makan agar anak-anaknya tidak makan. Orangtua kita sudah menyekolahkan kita dan rela gali lobang tutup lobang demi pendidikan kita cepat kelar? Agar mereka bisa bernafas lega dan menikmati kerja keras mereka agar lebih santai? Lah, malah kita memberikan pekerjaan di waktu mereka santai dengan mengasuh anak kita. Sampai situkah? Dan benarkah bekerja alasan tertulus dan demi kebaikan banyak orang. Mungkin keputusan baik untuk masa depan anak, tetapi kita lupa tidak memikirkan kebaikan orangtuamu! (maaf saja sedikit sensi soal kasus tema ini).
Kenapa tidak berifkiran bahwa merawat dan membesarkan anak full sebuah kebahagiaan tersendiri. Meski susah, meski sibuk. Ada kebahagiaan di sana. Mungkin ada nggak enaknya tidak punya uang dan semacamnya. Tapi saya yakin jika niatnya baik, tuhan akan berikan rejeki dengan cara lain. Karena pada dasarnynya anak membawa rejekinya sendiri. Kenapa masih takut dan memaksakan diri membuat orangtuamu kelelahan.
BACA JUGA : Merasionalkan Irasional Terhadap Persepsi Subjektif 
Oke, orangtua kita senang merawat cucu mereka yang masih munggil. Tapi seberapa lama? Tenaga orangtua kita sudah tidak sekuat kita. Gini saja deh, seharian bekerja sambil merawat anak kam sudah ngeluh capek kan? Padahal ukuran usia kita lebih kuat dibandingkan orangtua kita. Bagaimana dengan orangtua kita? Belum lagi kalo ternyata anak kita rewel dan njengkelin.
Hemat saya, alangkah lebih baiknya jika kita membahagiakan anak kita dengna mengasuh full. Memberikan waktu kepada nenek mereka dengan tidak membebani untuk mengasuh. Melain memberikan waktu untuk bersama dan bermain. Ingat, bukan mengasuhkan yang sifatnya hanya ringan saja.
Intinya itu doang. Bagi orangtua yang memiliki keputusan dan berkomitmen mengasuh sendiri full, saya acungi jempol. Karena di era sekarang ini, sedikit yang berani mengambil keputusan dan risiko seperti itu.
Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud menyinggung pihak manapun. Tulisan ini hanya sebagai renungan untuk diri saya sendiri. Tulisan ini juga sebagai kritik agar pembaca yang belum menikah atau yang akan memiliki anak, bisa mempertimbangkan akan hal ini. Oke, jika masalahnya orangtua kita yang menyuruh kita bekerja dan membiarkan anak kita di rawat mereka. Tapi seberapa lama? Kompensasi apa yang bisa kita berikan atas keringa orangtua kita? Pastikan kamu juga menjamin kesejahteraan orangtua yang sudah merawat anak-anak yang dengan ikhlas menjaga selama kita bekerja. Karena kenyatannya banyak yang tidak memperhatikan kesejahteraannya. (Elisa)
Semoga bermanfaat.


Tuesday, April 14, 2020

Pelajar dan Sampah Plastik Masih Sulit Lepas Karena Kebiasaan


Suka tidak suka, sampai detik ini manusia sepertinya belum bisa lepas dari plastik. Sampai sekarang, material plastik masih banyak digunakan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang ringan dan kuat. Selain itu, produksinya pun tergolong murah daripada material lain.
Mengolah sampah plastik (FOto: Irukawa Elisa)
Namun dibalik manfaat yang dimiliki plastik, sayangnya plastik jika sudah menjadi sampah akan sulit teruai. Ya, plastik berbahaya jika digunakan berlebihan dan dalam jumlah yang besar. Salah satunya karena bisa mencemari lingkungan. Fakta tersebut tentu menjadi hal yang patut diperhatian generasi sekarang, termasuk para siswa di SMA dan SMK se-DIY.
Dampak dari plastik bagi lingkungan sekitar disadari oleh Dhanis siswa dari SMA Negeri 1 Yogyakarta. Dirinya mengaku belum bisa lepas dari plastik. Contohnya saat ia membawa buku atau baju olahraga ke sekolah, Dhanis masih menggunakan plastik. Meski begitu Dhanis juga sadar, bahwa penggunaan plastik di dunia ini sudah terlalu over dan perlahan harus dikurangin.
Baca Juga: Bebas Berekspresi Dengan Karya Fotografi 
Hal senada juga diungkap Khalifa, siswi kelas XI MAN 3 Yogyakarta, yang masih belum bisa lepas juga dari plastik. Terutama di kantin sekolah yang masih ditemui banyak plastik. "Harusnya setiap pelajar punya kesadaran diri untuk mengurangi plastik, namun kenyataannya plastik masih menjadi salah satu bahan yang paling efektif dan mudah digunakan untuk membawa sesuatu," jelas Khalifa.
Dhanis menambahkan menurutnya yang paling urgent dan tidak penting adalah penggunaan sedotan plastik. Ia merasa bahwa sedotan plastik dapat diminimalisir oleh para pelajar. Dirinya pun sudah mulai tidak menggunakan sedotan plastik, meskipun dari sekolahnya belum ada himbauan secara tegas.
Baca Juga: Diskusi Kongres Duta Anak: Merdekakan Hak Anak 
Khalifa pun menyampaikan bahwa mengurangi sampah plastik bisa dengan membawa tempat makan sediri. Meski begitu ia mengaku belum sepenuhnya dapat melakukan hal tersebut. "Cara menanggulangi plastik dengan cara sosialisasi sehingga hal-hal kecil bisa mulai dari membawa tas belanja sendiri, bawa tempat belanja tapi masih sesekali aja," sesalnya.
Lain halnya dengan Parama Bisatya, siswa kelas 12 SMA Kolese De Brito, yang sudah menyadari bahaya sampah plastik. Ia menuturkan jika dari pihak sekolah sudah mulai meminimalisir. "Sekolahku kebetulan pay attention dengan hal ini, sehingga sekolahku membatasi juga penggunaan plastik. Kayak misal bungkus makanan dari kertas atau karton gitu," jelasnya.
Menurut Satya, teman-teman di sekolahnya telah memiliki kesadaran penggunaan plastik yang tidak baik. Namun Satya sebenarnya yang patut lebih diperhatikan adalah bagaimana cara membuang sampah. Sampah nggak sebanyak dulu 2-3 tahun yang lalu. Budaya bersihin sampah ini masih jarang dilakukan dan masih kurang disadari oleh para pelajar. "Misalnya kalau anak-anak lagi nongkrong, nah jarang langsung mau bersihin, mikirnya ya itu urusan mbak mbak penjaganya," jelas Satya. 
Baca Juga: Meski Mengikuti Ekstrakurikuler, Pelajar Harus Berperan 
Uniknya Satya juga sudah mulai mengurangi sampah plastik dengan lebih memilih menggunakan gelas kaca daripada gelas plastik ketika ia menghabiskan waktu di coffe shop. "Kalau di sana lebih menyediakan gelas, aku minta untuk pakai gelas. Yang take home aku jarang memakai kecuali memang kepepet. Sama kalau sudah selesai nongkrong ya aku juga beresin," ujarnya.
Cara Efektik Mengurangi Sampah
Tentang bagaimana cara efektif mengajak untuk mengurangi sampah, setiap siswa juga punya jawaban masing-masing. Dhanis, misalnya. Berada di lingkungan organisasi, membuatnya merasa bahwa cara akurat mengurangi plastik adalah dengan ajak yang gayeng. "Misalnya seperti acara festival pelajar, bisa disisipi lah ajakan dan penyuluhan bahaya plastik dan bagaimana cara efektif untuk mengurangi serta mendaur ulang," katanya.
Hal senada juga diamini oleh Khalifa, ia merasa sekolah juga perlu ambil peran untuk menghimbau siswa-siswinya. "Di sekolah ada himbauan. Cara efektif lebih digetolin lagi penyuluhan bahaya sampah. Dan komunikasi secara personal," jelasnya.
Baca Juga : Ekskul Versus Sekolah 
Himbauan untuk tidak menggunakan plastik apalagi membuang sampah sembarangan juga sudah dilakukan di sekolah Safira dan Adya di SMA Negeri 1 Banguntapan. Sekolah yang telah mendapatkan predikat adiwiyata ini memang terhitung cukup ketat dalam meminimalisir penggunaan plastik. "di sekolahku sudah ada himbauan pengurangan sampah. Apalagi sekolahku adiwiyata. Sanksi kalau hukuman sih nggak ada, cuma ada teguran dari guru,"
Satya pun punya cara pandang yang berbeda. Menurutnya cara paling efektif adalah menemukan cara pembungkusan yang dapat mengatasi penggunaan plastik itu. "Cuma masalahnya industri plastik banyak yang pakai, jadi ketika ada inovasi dateng, mungkin akan dikalahkan juga dengan industri yang sudah ada ini. Ya, ada usur kepentinganlah," jelasnya.
Satya pun menyoroti bagaimana kondisi sampah sekarang apalagi baru-baru ini Jogja sempat terkena darurat sampah. "Harapannya penggunaan platik itu sebutuhnya aja. Ketika suatu hal terlalu berlebihan juga kan tidak baik."
Baca Juga: Tips manajemen Waktu 
Bagi Safira mengurangi sampah memang perlu dari kesadaran diri sendiri. Jika dari diri sendiri belum paham apa bahaya sampah plastik pasti akan sulit untuk mulai mengurangi plastik. Ya, meski plastik masih menjadi bahan yang paling nyaman digunakan sebagai pembungkus ataupun tempat makan, tak ada salahnya untuk mulai menguranginya dari sekarang. "Nyaman pake plastik, tapi kalau nggak pake plastik biasanya pake gelas kaca," tutupnya. (Novia Intan)
Dipublikasikan di Tabloid BIAS edisi 2 | 2019

Tuesday, April 7, 2020

Millenial dan Plastik : Generasi Peduli Lingkungan untuk Bumi yang Lebih Sehat

Foto: Irukawa Elisa

Masalah lingkungan yang terkait sampah plastik menjadi salah satu isu global yang sulit dipecahkan dan kini semakin mengkhawatirkan. Karakteristik plastik yang praktis dan tahan lama membuat salah satu jenis polimer ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern selama beberapa dekade. Dari kantong kresek, alat rumah tangga, hingga suku cadang mobil, plastik telah menyediakan bahan terjangkau namun kuat untuk berbagai peralatan yang digunakan manusia.
Namun di balik kemudahan yang didapat, ada harga yang harus dibayar mahal oleh Bumi ini; perubahan iklam, rusaknya ekosistem di sungai dan laut, serta pencemaran alam. Penggiat lingkungan, warga sipil, serta pemerintah dari berbagai belahan dunia sedang berusaha memecahkan krisis ini dengan mengurangi dan mencari alternatif pengelolaan sampah yang tepat.
Baca Juga: Sampah Antariksa Menjadi Isu Internasional di Negara Maju
“Tidak diragukan lagi bahwa plastik itu mengancam Bumi karena sifatnya yang susah diuraikan, bisa bertahun-tahun lamanya,” ujar Arifah Fajri Kusuma (16), SMK 7 Yogyakarta. “Kepala sekolah SMK-ku dulu pernah membuat program untuk membawa alat minum sendiri-sendiri, yang nanti bisa dicuci dan disedikan air isi ulang di sekolah,” tambahnya.
Meskipun begitu, perempuan yang sedang duduk di bangku kelas XI ini tidak menampik bahwa melepaskan penggunaan plastik, terlebih plastik sekali pakai, seutuhnya dari kehidupan manusia masih begitu sulit. Arifah, sapaan akrabnya, mengaku bahwa perangai plastik yang sangat praktis, multifungsi, serta memiliki ketahanan yang baik inilah yang membuat kita masih bertahan dengan plastik meskipun paham betul efek buruknya.
Baca Juga: Budaya MOS, Masihkah Efektif? 
“Tapi, banyak hal bisa dilakukan untuk mengurangi sampah plastik, kok, seperti menggunakan benda ramah lingkungan sebagai pengganti plastik sekali pakai. Dan berdasarkan artikel yang pernah saya baca juga, kita bisa mulai memproduksi plastik sekali pakai dari bahan-bahan yang mudah terurai, seperti rumput laut, secara massal,” tuturnya.
Tidak berbeda dengan Arifa, Afifah Rini Dambraja (16), siswi SMA 1 Kasihan ini juga mengungkapkan keprihatinannya tentang jumlah sampah plastik yang semakin menjadi. “Saat ini plastik dan manusia itu susah sekali dipisahkan, ke mana-mana kita masih membawa dan menggunakan plastik,” ungkapnya. Walau begitu Afifah mengapresiasi sikap milenial dewas ini terhadap plastik. 
“Saat ini remaja telah sadar akan bahaya plastik dan berbondong-bondong mencari solusinya. Tidak usah jauh-jauh, deh, hal yang mudah saja dulu, seperti kalau membeli barang sedikit nggak usah pakai plastik, atau ya, bawa tas sendiri ke mana-mana. Kurangi jajan karena kebanyakan produk-produk makanan ringan atau minuman selalu menggunakan plastik sekali pakai,” ungkapnya memberi saran. (Adhisti)


Dipublikasikan di Tabloid BIAS edisi 2 | 2019