KPBJ : Jeritan Perempuan Mengembalikan Identitas

Perempuan berkebaya adalah identitas masyarakat Jogja tempo dulu. Seiring perkembangan teknologi, fashion dan modernisasi masuk di Indonesia, perlahan kebudayaan Jogja merasakan dampak akulturasi budaya luar. “Kain kebaya dan batik justru orang luar yang tertarik. Sungguh ini disayangkan. Kenapa kita mencintai budaya asing? Kenapa tidak mencintai budaya sendiri. Kita punya kebaya dan batik yang cantik-cantik peninggalan nenek moyang yang patut kita banggakan,” kata Flora dengan geregetan gemas.
Foto : Elisa
Komunitas Perempuan Berkebaya Jogja (KPBJ) adalah komunitas yang memiliki tujuan untuk mengembalikan pakaian nasional Nusantara. Komunitas ini diresmikan bulan Oktober 2015, di gawangi oleh bu Esti, Flora, Elrina dan Tinuk. Kecintaan dan keprihatinan terhadap nasib kain kebaya dan Batik di Indonesia mendorong mereka ingin mengembalikan identitas Nusantara dari gempuran budaya luar yang masuk. Mereka memulainya dengan menyentuh sisi kewanitaan  kaum perempuan terlebih dahulu. Semua perempuan, mulai ibu-ibu, perempuan remaja dan anak-anak.
 “Tujuan kita menggugah semangat kita semua. Pertamakali kita menanamkan masyarakat untuk bangga berpakaian kebaya. Tujuan jangka panjang, ketika banyak orang berpakaian berkebaya bisa menciptakan pasar. Para pengrajin batik mendapatkan udara segar,” cerita Flora, salah satu pendiri KPBJ. Ia pun bercerita, salah satu alasan lain bersemangat memperkenalkan pakain berkebaya karena keprihatinan para pengrajin kain kebaya dan batik di Yogyakarta masih sangat tidak layak. Banyak orang menyemangati membatik, namun lupa menciptakan pasar bagi para pengrajin batik.
“Sekarang ini para pengrajin banyak dirumahkan, dan banyak pengrajin yang diculik. Perlu diketahui mbak, batik-batik di Tanah Abang Jakarta, semuanya itu buatan dari Cina. Bukan dari pengrajin kita,” tegasnya, prihatin mengingat nasib para pengrajin lokal. Ia pun mencoba mengambil sisi positif dari dampak pasar terbuka ini. “Tapi jangan salahkan pemerintah. Karena pasar terbuka sudah kesepakatan. Jadi kita ambil sisi baiknya.” Tambahnya.

Perempuan berusia lebih dari 40 tahun ini berpesan bahwa, salah satu cara yang bisa dilakukan saat ini adalah masyarakat Indonesia harus kuat. Jangan mudah diprofokasi, tetap mencintai dan menjaga budaya, tidak pandang bulu usia. Ia pun masih memaparkan pentingnya menjaga kebudayaan, terutama Kebaya dan Batik berapi-api. Bahwa sebenarnya budaya kita sedang diserang. Banyak dari kita lupa, bahwa nenek moyang pada dahulu menyelipkan banyak makna filosofis yang dalam disetiap yang dilakukan. Salah satunya, budaya masa dulu menggenakan konde. Makna filosofis konde mengajarkan kepada kita untuk lerem ati (bersabar). Sanggul, di sang-sang supoyo unggul (menjadi orang yang unggul). Jarik, Ojo Serik (jangan sirik). “Kan indah sekali makna filosofisnya,” tuturnya.

Begitupun dengan nama Perempuan Berkebaya Jogja lebih memilih menggunakan Perempuan daripada Wanita. Karena kata ‘wanita’ artinya wani ditata, sedangkan kata ‘perempuan’ artinya orang yang empunya kehidupan (awal kehidupan). “Itu pulalah yang mendorong kita ingin menjadi garda depan ketika perang budaya dari luar masuk. Karena Kita semua, para perempuan sebagai penerus. Mau jadi apa Jogja dan Indonesia ke depan, ada di pundak perempuan.” tutupnya 

Elisa, Adhisti
Dipublikasi di Tabloid BIAS | Eds 1| 2016

KPBJ : Jeritan Perempuan Mengembalikan Identitas KPBJ : Jeritan Perempuan Mengembalikan Identitas Reviewed by elisa on Thursday, August 18, 2016 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.