Teman Sebagai Semangat dan Pelarian?


“Saya itu sedih melihat perasaanku yang selalu sedih dan otak yang overthinking,” itulah bisiknya.
“Saya itu sampai tidak enak hati ketika teman-teman banyak yang menyapa, jika badanku semakin kurusan dan wajahnya kusem,” ceritanya lagi padaku.
“Saya itu juga marah pada diriku sendiri, kenapa saya begitu mencintainya dan sulit move on darinya. Padahal jelas, dengan sadar secara tidak langsung dia memang tidak pantas untukku, buktinya memang dia tidak peduli sama sekali. Bahkan terkesan nrimo dan tidak peduli, tidak mencoba mempertahankan dan memperjuangkan,” ceritanya semakin panjang lebar.
“Saya itu sampai berfikir, jangan-jangan diotaku terjadi kesalahan dalam berfikir waras? Saya tahu banyak orang yang menunggu jawaban dariku, sama halnya aku menunggu jawabannya dia dulu. Tapi kenapa bodoh sekali diriku memperjuangkan yang tidak pernah memperjuangkanku sama sekali. tidak pernah juga menahanku agar tetap disisinya, justru membiarkan begitu saja saya pergi,” ceritanya semakin menjadi-jadi.
“Yang bodoh itu sebenarnya aku. Bukankah begitu?” tanyanya kemudian padaku.
Hidup itu sangat sporadis dan berantakan. Kita tahu masalah yang menimpa pada diri kita, tetapi kita terlalu menuruti keinginan-keinginan yang semakin memperosokan kita. Karena cinta, efeksampingnya banyak hal. sebenarnya kita tahu langkah dan keputusan yang terbaik bagi diri kita dan orang lain, tapi seringkali kita menomorsatukan kepentingan pribadi.
“Ketika aku meminta saran, hampir semua saran mereka adalah menyuruhku benar-benar fokus dengan yang lain. Melupakannya dan mencoba menerima oranglain. Tidak ada satupun yang memihak hati kecilku, bahwa aku harus terus berjuang dan mempertahankannya, semua menyarankan pilih yang lain. Jika banyak saran yang menyuruh melepaskan, apa benar hatiku selama ini benar-benar salah mencintainya? Seandainya dia menyarankan dan mendukungku agar aku terus mencintai dan menyayanginya, ironisnya ia pun menyuruhku untuk berteman saja. Kenapa tidak ada suara yang memihak hati kecilku?” tambahnya kemudian

“Aku seperti orang yang terlihat begitu kasihan, sampai-sampai banyak orang yang mencoba mengenalkanku dengan orang baru. Sampai-sampai banyak dari mereka yang mengajaku keluar dan melihatkan betapa banyak orangbaik diluar sana. Akupun tidak memiliki pilihan lain selain benar-benar lepas. Karena setiap ingin mencoba kembali, acuhnya, dinginnya, tidak pedulinya, diamnya membuatku semakin tidak berharga dan tidak penting untuknya. Semangat dan kepercayaan diriku benar-benar mati,” ceritanya dengan kepala menunduk dengan suara pelan dan dalam, suara yang parau.
“Aku tidak sekasihan itu bukan!?? aku tidak ingin dikasihani! Aku juga tidak ingin dicintai karena rasa kasihan!. Aku tidak mau mengulang semua masa lalu. Tapi akhirnya kembali terulang!” nadannya kian jatuh kelembah, nyaris tak terdengar.
“Ketika kuingat sisi lain, Aku sangat bahagia karena memiliki banyak orang yang ternyata peduli. Aku selalu menangis ketika ada orang yang peduli padaku. Aku hanya butuh kepedulian, kasih yang tulus. Bahkan, saat banyak teman-teman yang mengajaku WA, SMS-san agar aku bisa melupakannya, mengalihkan pikiran darinya. Begitu banyak dukungan dari teman-teman. Ternyata banyak teman yang memberikan sapu tangan untuku,” paparnya penuh haru.
Itulah hikmah dari sebuah perjalanan hidup. Mungkin cara Tuhan menunjukan bahwa lebih banyak yang peduli dan menyayangi kita lewat masalah personal kita. Ketika satu cinta, kasih, sayang, peduli dan pertemanan hilang. Maka, akan muncul banyak cinta, kasih sayang, peduli dan pertemanan yang lebih banyak lagi. Tuhan itu memang benar-benar Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Teman Sebagai Semangat dan Pelarian? Teman Sebagai Semangat dan Pelarian? Reviewed by elisa on Tuesday, February 10, 2015 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.