Museum Monumen Yogya Kembali : Titik Balik Kemerdekaan Indonesia



JAS MERAH, JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH”, teriak pak Gunadi, selaku historical Struggle Guide Museum Monjali. Kalimat itu diucapkan oleh Soekarno pertamakali saat di Bandara Maguo.
Siapa yang tidak mengenal Museum Monjali yang berada di Jl. Ring Road Utara Yogyakarta satu ini. Memiliki bangunan berbentuk kerucut dan bangunan yang unik. Bangunan ini ternyata bentuk dari usaha melestarikan budaya nenek moyang pada masa prasejarah atau kaum animisme (sebelum ada hindu, budha dan islam). Gunungan pada waktu itu dipercaya sebagai tempat suci buatan Tuhan dan sangat disakralkan.
Museum Monjali berdiri sejak 6 Juli 1989. Hampir 30 menit wartawan BIAS melihat dan kembali mengenang kilas balik sejarah Indonesia, sedikit bercerita. Pertamakali masuk diorama satu, disuguhkan oleh diorama tentang penyerbuan tentara Belanda terhadap Lapangan Maguo pada tahun 19 Desember 1948. Masuk ke diorama kedua suasana gelap semakin terasa, disebelah kiri terlihat diorama yang mengisahkan tentang panglima Jendral Soederman melaporkan Presiden untuk memimpin perang Gerilya pada 19 Desember 1948 berlokasi di Kepresidenan Yogyakarta.
Diorama ketiga juga mengisahkan tentang pengasingan presiden dan wakil presiden pada tahun 22 Desember 1948. Kemudian pada hari Minggu, 19 Desember 1948 di Bandara Maguo tentara Belanda berhasil menguasai Yogyakarta. Masuk ke  diorama keempat menampilkan perlawanan rakyat bersama tentara terhadap tentara Balanda dipadepokan Bantul.
Kembali lebih ke dalam, suasana semakin membuat haru, ketika berada di diorama kelima, mengisahkan konsolidasi dan pembentukan sektor pertanian di Ngoto pada 26 Desember 1948. Wartawan BIAS menikmati diorama keenam, yang menceritakan pembagian daerah-daerah Yogyakarta, dan dilakukannya pelaksanaan serangan 1 Maret 1948 di jalan pengurakan Jendral Trikora alun-alun utara. Di sini suasana terasa menegangkan, diiringi dengan suara peluru dan bising pertempuran.

Dari peperangan serangan satu maret inilah mulai terjadi beberapa perjanjian seperti Roem Royen. Setelah anti klimak pertempuran 1 Maret, akhirnya pada tanggal 29 Juni 1948 Belanda ditarik dari Yogyakarta. Kemudian sampai detik-detik kemerdekaan Indonesia, terlihat diorama terakhir rasa haru dari para pahlawan atas kemerdekaan Indonesia.
Selepas menikmati kesembilan diorama, akhirnya kita naik ke Gharbha Graha, di sana ada tempat untuk mendoakan para Pahlawan yang telah gugur. Sebelum akhirnya reporter BIAS turun kelantai dua berbincang-bincang dengan Pak Gunadi. “Jangan Sekali-kali melupakan sejarah!”, serunya saat ditanya harapan ke depan untuk generasi penerus bangsa penuh semangat, seraya mengangkat tangan kanan kanannya penuh energi. Saran yang kedua adalah hargailah jasa pahlawan, coba berapa juta pahlawan rela mati demi anak cucunya. Kita sebagai cucunya mengabaikan pengorbanan dan perjuangan mereka.
Selama 25 tahun pak Gunardi menjadi historical strunggle guide di Monjali juga memberikan oleh-oleh kepada reporter BIAS, “Ada pesan yang sangat menarik, Lebih baik mati berkarang tanah, daripada hidup dijajah. Kita itu harus bersyukur, dulu masa penjajahan mereka bercelanakan ‘goni’ berbajukan ‘bagor’. Pahlawan kita dulu berpedoman rawe-rawe rantas malang-malang putung, mereka atau mati! Itulah kekuatan para pejuang pada waktu itu”, paparnya diakhir perbincangan dengan Repoerter BIAS. (Elisa & Finta, Tabloid BIAS 3/2014)
Museum Monumen Yogya Kembali : Titik Balik Kemerdekaan Indonesia Museum Monumen Yogya Kembali : Titik Balik Kemerdekaan Indonesia Reviewed by elisa on Monday, December 15, 2014 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.