Tuesday, April 30, 2019

Jejak Tabi Exchange : Membangun Sinergi ke-3 Negara Lewat Seni Kontemporer


Yogyakarta sebagai kota kecil yang multikultural yang merepresentasikan keberagaman Indonesia. Keberagaman yang ada di Indonesia inilah yang mendorong warganya selalu memiliki ide kreatif untuk dipamerkan dan dipertontonkan. Wajar jika di Yogyakarta banyak sekali kegiatan yang tidak pernah habis. Mulai dari kegiatan tahunan sampai kegiatan yang sifatnya monumental. Salah satunya adalah acara Jejak Tabi Exchange. Masih berbau dengan seni, Jejak Tabi Exchange mengangkat tema Wondering Asian Contemporary Performance, yang merupakan wadah untuk seniman kontemporer Asia.
Foto: Joned Suryatmoko
Inisiator Jejak Tabi Exchange muncul dari 3 kurator dari Jepang, Melayu dan Indonesia, ketiga inisiator kurator tersebut adalah Akane Nakamura, Lim How Ngean dan Helly Minarti. Jejak Tabi Exchange diselenggarakan di dua negara, yaitu di Yogyakarta (Indonesia) dan di Kuala Lumpur. Acara pertamakali diawali di Yogyakarta, diselenggarakan sejak 13 Juli hingga 11 Agustus 2018. Acara kedua diselenggarakan di Kuala Lumpur yang jatuh pada 23 – 30 September 2018.
Amelberga Astri, selaku panitia Jejak Tabi melalui Email menceritakan bahwa kegiatan ini memiliki makna filosofi yang mengambarkan keberagaman maupun kemajemukan. Tampak dari karya pameran ini mengkontekstualisasikan permasalahan lingkungan sosio-kultural, estetis dan historis dalam sebuah karya-karya mereka yang terjadi di Asia.
Adapun kandungan makna filosofi jejak tabi Exchange. Misalnya kata “jejak” memiliki dua makna, yaitu versi bahasa Melayu dan Indonesia. Versi bahasa Melayu, jejak diartikan sebagai langkah, sedangkan versi Bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan footstep atau traces. Kata “Tabi” juga diambil dari2 bahasa, yaitu Jepang dan China. Tabi dalam bahasa China diucapkan 'lü' (). Itu sebabnya dikolaborasikan menjadi JEJAK- TABI EXCHANGE. Jadi, platform Jejak Tabi Exchange adalah bentuk sinergi tiga bahasa dari tiga negara, yaitu Melayu, Indonesia dan Jepang.
Pertunjukan kontemporer di Asia salah satu bentuk praktik artisitik seni untuk mengakar di dalam keberagaman. Mencoba menampilkan dan menciptakan ruang kritis yang diharapkan mampu memancing pengetahuan pengunjung untuk menciptakan kreativitas yang baru. Amelberga juga menjelaskan bahwa kegiatan ini sebagai media untuk membangun koneksi antara Yogyakarta dan Kuala Lumpur lewat serangkaian presentasi, penelitian dan karya. Berlaku sebaliknya, seniman muda dari luar juga dapat bergabung dan diskuni panel dengan seniman-seniman muda di Yogyakarta. (Elisa)

Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018

Monday, April 29, 2019

Festival Kesenian Yogyakarta 30 : MESEMELEH, Kesenian yang Menyatukan Perbedaan


Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke 30 kembali digelar di di Planet Pyramid Jl. Parangtritis Km. 5,5 Bangunharjo Bantul. Seperti biasanya, FKY diadakan selama 2 minggu penuh dari tanggal 29 Juli hingga 9 Agustus 2018 dari pukul 15.00 sampai 22.00 WIB.
Foto: Intan & Adhisti
Pada tahun ini FKY mengambil tema yang berjudul MESEMELEH. Tema ini mengandung dua makna yakni Mesem dan Sumeleh. Mesem yang berarti senyum dan semeleh yang bermakna ikhlas atau menerima. Kata mesem mempresentasikan arti FKY yang lebih matang dan dewasa untuk menyajikan festival yang menghibur dan edukatif.
Sementara dari kata semeleh mempresentasikan FKY sebegai seni yang memberikan ruang kepada semua pihak yang berpartisipasi di dalamnya dan juga mempresentasikan karakteristik orang Yogyakarta. Baik bagi panitia, kordinator program, vendor, pengunjung untuk memberikan kontribusi demi menciptakan Festival Kesenian Yogyakarta yang lebih baik. Tentunya, FKY juga menjadi ruang berapreasi dan mengapreasi bersama.
Hal tersebut diamini oleh Setio Haryanto yang tahun ini menjabat sebagai direktur bagian umum. "Dari tema MESEMELEH, FKY berusaha tetap mempertahankan festival yang menghibur, yang membuat orang terseyum pada semua pihak. Menerima perubahan zaman, namun tidak berarti luntur budayanya. Sebaliknya, FKY berusaha untuk mengikuti kondisi jaman dan beradaptasi dengannya," jelasnya.

Menawarkan Konsep Berbeda
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tahun ini FKY juga menawarkan konsep berbeda. Setio menjelaskan di FKY 30 mereka ingin membuat arena bermain bagi semua elemen masyarakat yang terlibat.  Baik bagi panitia, kordinator program, vendor, pengunjung. Banyak hal interaktif dan edukatif dan ruang berapreasi dan mengapreasi bersama.
Perbedaan dari tahun sebelumnya adalah adanya pameran perupa muda. Sebelumnya panitia mengakses lapangan futsal jadi ruang pameran. Tapi di tahun ini, panitia membuat bangunan instalasi yang dalam pamerannya dengan konten atraktif dan interaktif. Mulai dari pameran pertunjukan, seni rupa, tradisi, hingga seni kontenporer.  "Selama FKY, bangunan akan direspon oleh seniman streap art yang terus berganti. Kemudian ada support sineman dari kota dan kabupaten. Jumlah seniman seni rupa ada sekitar 60-an," jelasnya.
Tidak hanya jumlah seniman yang terbilang banyak, stand yang disediakan FKY pun juga cukup banyak. Tahun ini ada 100 stand yang dibuka secara gratis. Sehingga tidak semua produk bisa masuk di FKY. Dari ratusan yang mendaftar, hanya diambil 95 stand yang terdiri dari stand kesenian dan UKM. Syaratnya harus produkk reatif yang sesuai dengan konteks FKY. 5 Stand sisanya untuk perwakilan kabupaten yang sudah direkomendasikan. Sementara untuk stand kuliner dikelola terpisah Planet Pyramid.
Festival tahunan ini diprakasai oleh Dinas Kebudayaan DIY yang menghadirkan 20 program festival kesenian. Terbagi dari 19 Program internal dan 1 eksternal yang menghibur dan edukatif. Diawali dari festival pawai tanggal 29 Juli lalu dan mulainya pasar seni hingga tanggal 9 Agustus.
Sedangkan program eksternal berupa kerjasama dengan Festival Kearifan Lokal di Desa Salamrejo, Kulon Progo. Festival tersebut menghadirkan para penghayat aliran kepercayaan NTB dan Medan yang terdiri dari acara diskusi, workshop, pertunjukan, dan sarasehan. Tapi yang dibahas yakni tentang isu-isu kelompok masyarakat termarginalkan di dalam hubungan sosial masyarakat.
Setio berharap, FKY 30 dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta dengan baik. Apalagi FKY adalah salah satu pilar dalam menjaga nilai-nilai budaya. Dengan kesenian ia berharap bisa mempersatukan perbedaan sehingga bisa berapresiasi dan mengapresiasi bersama. Ia berpesan supaya masyarakat bisa datang dengan niat yang baik pula. "Silakan bersuka ria di dalam ruang bermain kami. Jangan lupa ajak keluarga dan handataulan," tutupnya. (Novia Intan, Adhisti)



Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018

Sunday, April 28, 2019

Fakta Asian Games 2018 yang Membanggakan


ASIAN Games 2018 mendapat dukungan besar dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, orangtua bahkan sampai anak-anak. Tepat tanggal 2018 Indonesia menjadi tuan rumah dalam ajang kejuaraan tingkat Asia. Banyak hal menarik yang dapat dirangkum dari acara spektakuler sepanjang sejarah. Berikut hal menarik dan kita jadikan catatan sejarah di masa depan.
Indonesia Memperoleh Pencapaian Terbaik Sepanjang Masa Asian Games
ASIAN Games pertamakali diselenggarakan pada tahun  1951 pertamakali ajang kejuaraan Internasional ini diselenggarakan di Delhi. Sejak tahun 1951 sampai 1958 Indonesia belum pernah mencetak satupun medali. Tepat pada tahun 1962 pertamakalinya Indonesia menjadi Tuan Rumah dalam ajang besar olahraga ini. Pertama kalinya pula Indonesia mulai memperoleh medali emas 21, perak 26 dan perunggu 30. Jika dilihat, berikut perolehan medali Indonesia sejak tahun 1962 hingga tahun 2018.







Pencapaian prestasi terbaik Indonesia dalam mengikuti ASIAN Games adalah tahun 2018. Data per 31 Agutus 2018, pukul 21.00 WIB Indonesia memperoleh 30 Emas, 23 Perak, 40 perunggu. Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia memperoleh peringkat 10 besar. Hasil yang diraih Indonesia bertengger di peringkat 4 besar klasemen. Berikut adalah daftar perolehan emas yang membanggakan.

Asian Games Menyebarkan Aura Positif ke Seluruh Penjuru

Semangat ASIAN Games ternyata sangat luar biasa. Banyak pelajaran yang diraih, seperti kisah atlet Aries Rahayu Susanti dari cabang olahraga panjat tebing ASIAN Games 2018 yang memperoleh emas. Perolehan dan kecepatan selama memanjat ternyata memerlukan proses puluhan tahun. Usai bertanding, di layar TV secara langsung, Aries Rahayu Susanti sedikit menceritakan bahwa dirinya berlatih sejak masih kecil. Dengan kata lain, perjuangan dan prestasi yang diperolehnya saat ini sebuah proses panjang yang luar biasa.
Energi positif yang ditebarkan dari atlet Asian Games adalah pemenang emas pencak Silat yang berhasil merangkul Jokowi dan Prabowo. Mengingat mendekati Kampanye kedua belah pihak bersatu berpelukan dengan sang atlet. Seperti yang dilansir oleh Liputan6.com merilis bahwa ASIAN Games sebagai ajang pemersatu.
Fakta Menarik ASIAN Games 2018
 Fakta menarik Asian Games 2018 selain pembukaan yang meriah dan sukses membuat para penonton takjub, ternyata ada beberapa fakta menarik lainnya yang tidak diketahui banyak orang. Ajang olahraga satu ini diperkirakan dapat menstimulus investasi perekonomian Indonesia. Diperkirakan akan terjadi pertumbuhan investasi sebesar 5-10%. Menariknya, terjadi perputaran uang sekitar 45 triliun dan terkait biaya pembangunan infrastruktur sekitar 34 triliun.
Fakta lain adalah ada setidaknya 5 ribu delegasi Internasional, penonton yang datang ada sekitar 60ribu penonton. Jumlah atlet yang berlaga ada 10 ribu. Jumlah pertandingan ada 462 pertandingan dan ada 39 cabang olahraga yang diikuti oleh 45 negara peserta.

Itulah fakta Asian Games 2018 Indonesia. Semoga dengan prestasi yang sudah mereka capai semakin menginspirasi banyak orang, dan melahirkan atlet baru dan muda-muda di kelas Internasional. Ada banyak cara mengharumkan Indonesia, salah satunya dengan berprestasi di bidang olahraga. (Elisa)

Saturday, April 27, 2019

WISATA ALAM DAN EDUKASI KELUARGA: AGROWISATA BHUMI MERAPI


Yogyakarta memiliki banyak wisata alternatif yang menarik untuk dikunjungi salah satunya Agrowisata Bhumi Merapi. Bhumi Merapi merupakan salah satu obyek wisata alam dan edukasi yang berlokasi di Jalan Kaliurang Km 20, Pakem, Sleman. Di sini pengunjung tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga bisa bermain dan berinteraksi dengan berbagai binatang yang ada di sana. Selain itu ada juga kebun sayur dan tanaman hidroponik yang subur dan terawat, membuat Bhumi Merapi sangat tepat untuk dijadikan tujuan wisata alam dan edukasi bersama keluarga.
AGROWISATA BHUMI MERAPI (Foto: Krise)
Ketika memasuki Agrowisata Bhumi Merapi pengunjung langsung disambut dengan area budidaya kelinci. Ada 3 jenis kelinci yang dibudidayakan di tempat ini, yaitu kelinci lokal, kelinci impor dan kelinci VIP. Kelinci VIP ini termasuk jenis kelinci langka dan harganya mencapai jutaan rupiah. Bahkan pengunjung juga bisa membeli kelinci yang ada di sini. Selain itu pengunjung juga bisa berinteraksi langsung dengan kelinci, seperti memberi makanan dengan membeli wortel atau sayuran seharga Rp 2.500, atau sekedar bermain-main dengan kelinci karena ada juga kelinci yang dibiarkan bebas.
Setelah melewati kandang kelinci, ada area kandang burung dan reptil. Di sini terdapat beberapa jenis burung, ular dan kura-kura. Tepat di depan area reptil terdapat 2 area kebun hidroponik. Bahkan jika pengunjung ingin belajar berkebun hidroponik dan mendapatkan peralatannya juga bisa dibeli di sini. Di samping kebun terdapat wahana kolam ikan. Tempat ini menjadi favorite anak-anak, karena mereka bisa masuk ke dalam kolam dan menangkap ikan-ikan kecil dengan menggunakan jaring atau tangan kosong. Selain itu di sana juga disediakan kantong-kantong plastik untuk tempat ikan bagi pengunjung yang ingin membawa pulang.
Selain hewan dan kebun tempat yang dibangun pada tahun 2015 lalu ini juga terdapat spot foto selfie unik bagi pengunjung diantaranya Rumah Hobbit dan Taman Bunga. Tidak hanya itu pengunjung juga dapat berkeliling menggunakan kuda poni.
Agrowisata Bhumi Merapi (Foto: Krise)
“Pertama masuk sudah terlihat kalau ini tempat wisata edukasi keluarga, tetapi juga cocok untuk semua umur. Karena yang ada di sini cukup lengkap, mulai dari edukasi hewan, tumbuhan, hingga tempat foto kekinian bagi anak muda,” ujar Helga, pengunjung asal Kota Yogyakarta.
Dibangun sebagai tempat wisata alam dan edukasi, selain dapat berinteraksi dengan binatang-binatang yang ada di sana, menikmati keindahan kebun hidroponik yang hijau, pengunjung juga bisa belajar berbagai teknik pengolahan hasil pertanian dan peternakan, seperti susu kambing menjadi yogurt dan ice cream, pengolahan limbah kambing menjadi pupuk organik dan biogas dan pemanfaatannya untuk budidaya tanaman lainnya.
“Harapan kedepannya, karena memang kita lebih mengedepankan mengenai edukasi. Kami ingin menambah wahana edukasi seprti Aquatic dan Amfibi untuk lebih memberikan edukasi kepada semua khususnya anak-anak,” kata Deni selaku pengelola Agrowisata Bhumi Merapi.
Agrowisata Bhumi Merapi buka setiap hari pukul 8.30 sampai 17.00. Harga tiket masuknya sebesar20ribu/orang sudah dapat menikmati wisata edukasi di sini (Krise Lewi Talenta)

Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018


Friday, April 26, 2019

Rumah Baca Komunitas (RBK): Mengobarkan Semangat Literasi di Tanah Air


Membaca adalah hak seluruh bangsa. Namun sayangnya akses membaca bagi masyarakat di Indonesia belum merata. Berbagai alasan menyebabkan susahnya pendistibusian buku-buku ke daerah terpencil.
Foto: Instagram.com/rumahbacakomunitas
Salah satu komunitas penggiat literasi yang coba meningkatkan akses membaca kepada masyarakat adalah Rumah Baca Komunitas (RBK). Ketika diwawancara di kediamannya yang juga merangkap sebagai perpustakaan kecil, Fauzan Anwar, salah satu penggiat RBK, mengatakan bahwa Komunitas yang berdiri sejak tanggal 21 Mei 2012 itu memiliki tujuan menyediakan ruang untuk membaca dan menulis, awalnya hanya untuk teman-teman satu komunitas, yaitu Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LAPSI).
RBK lahir dari keprihatinan mereka terhadap masih terbatasnya akses buku dan membaca di masyarakat. Mereka menilai untuk bisa mendapatkan akses membaca atau buku yang berkualitas butuh menjadi pelajar atau mahasiswa terlebih dulu. “Motivas awal kami ialah mendirikan suatu taman baca24 jam, yang bisa diakses kapan saja, dan bisa dipinjam siapa saja tanpa adanya berbagai birokrasi yang rumit,” tutur Fauzan. Ia menambahkan, “Kami dulu (ketika masih menjadi LAPSI) memiliki program bernama Perpustakaan Komunitas, dari program tersebut dibuatlah suatu komunitas baru, yaitu RBK ini, akhirnya LAPSI dan rumah baca berpisah, dan berjalan sendiri-sendiri. Supaya kegiatan tidak terbatas.”Beberapa  tokoh yang memiliki andil dibentuknya RBK ialah David Efendi, salah satu dosen di perguruan tinggi di Yogyakarta, bersama rekan-rekannya yang lain, seperti Ahmad Sarkawi, Irfa Fahd Rizal, Fida Afif, Labib Ulinuha dan masih banyak lagi.
Ada beberapa program yang pernah dilakukan RBK demi memajukan semangat literasi di Indonesia. Salah satunya adalah gerakan hibah mengumpulkan bahan literasi, dengan tujuan agar RBK menjadi wadah distribusi atau tempat penampungan buku yang berperan untuk menyalurkan bukunya di berbagai wilayah di luar Pulau Jawa, di mana akses buku masih terbatas. Tak hanya itu, RBK juga berupaya mengotimalkan buku yang dihibahkan agar bermanfaat bagi masyarakat. Di situlah akses perpustakaan 24 jam yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja.
Program literasi lainnya yakni Bimbingan Belajar Anak dan Remaja yang dilakukan dengan belajar bersama pada sore hari. Selain kegiatan belajar dan membaca, ada juga aktivitas melukis. Lalu RBK juga mengadakan berbagai kegiatan bedah buku, diskusi mengenai berbagai topik dan isu-isu sosial di mayarakat,
Adapun pada 2015, RBK membuat gagasan baru hasil dari kesadaran bersama dengan penggiat literasi yang justru pihak komunitas belum pernah bertatap muka langsung dengan mereka. Disebabkan karena hubungan antara RBK dan beberapa penggiat literasi lewat tulisan, mereka sudah terhubung dan bisa melahirkan ide-ide.Beberapa gagasan itu antara lain, perpustakaan jalanan di Alun-alun Kidul (Alkid) pada akhir pekan, yang disebut RBK on the Street (Rots).
Selain itu, aktivitas rutin di RBK lainnya yakni mengadakan nonton bareng film-film yang edukatif setiap sepekan sekali. Para penggiat literasi yang tergabung di RBK bebas mengusulkan dan menjalankan berbagai program untuk meningkatkan literasi di masyarakat.
“Semangat membaca harus selalu digaungkan di masyarakat, dan kita pun harus membantu untuk mengobarkan semangat tersebut,” tandas Fauzan. (Adhisti)



Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018

Thursday, April 25, 2019

Komunitas Kandang Kebo : Blusukan guna Melestarikan Cagar Budaya


Sebuah rumah di pinggir jalan kawasan Ngalian, Widodomartani, Ngemplak, Sleman bertuliskan kalimat berbunyi “Komunitas Kandang Kebo” memaksa orang yang melihatnya mengerutkan dahi. Komunitas apa ini? Seperti yang kita ketahui, kebo atau kerbau sering dianggap sebagai binatang bodoh. Di sisi lain, kerbau juga binatang yang disiplin. Ketika menggembala kerbau jika sudah waktunya pulang maka kerbau itu akan pulang sendiri. Tidak seperti sapi yang harus digiring untuk pulang. Zaman Majapahit dulu, kebo atau kerbau ini digunakan sebagai nama kebanggaan yang disematkan di depan nama orang. Kebo Iwa, Kebo Marcuet, Kebo Anabrang, Kebo Kenanga semua berada dalam catatan sejarah.
Foto: Indah
Banyak situs kebudayaan yang tidak terawat dan belum terdaftarkan dalam Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Hal itu menjadi salah satu tujuan didirikannya komunitas ini. “Mulanya berasal dari grup Facebook yang memiliki kesamaan hobi yaitu pecinta cagar budaya. Dulu grup kami bernama The Lost History of Kandang Kebo kemudian kami menyebutnya Komunitas Kandang Kebo,” Dr. Maria Tri Widayati, SS, M.Pd selaku koordinator  pelaksana mengungkap cikal bakal terbentuknya Komunitas Kandang Kebo.
Maria, Dosen Politeknik Akademi Pariwisata Indonesia ini menuturkan lebih jauh jika Komunitas Kandang Kebo mulai digagas tahun 2014 dan mulai aktif pada tahun 2015. Memiliki anggota dari berbagai kalangan. Komunitas ini bersifat nonformal. Siapapun bisa bergabung dan ikut berpartisipasi dalam kegiatannya. Bukan hanya kalangan tua saja, namun remaja maupun mahasiswa menjadi partisipan.
Seorang arkeolog dari UGM ini menuturkan jika tujuan kegiatan Komunitas Kandang Kebo ialah blusukan mencari benda peninggalan sejarah yang tidak terurus kemudian melaporkannya pada BPCB. “Blusukan bersama dilakukan minimal sekali dalam sebulan di wilayah DIY. Secara pribadi teman-teman blusukan sendiri di sela-sela kegiatannya kemudian hasilnya didiskusikan bersama. Pokoknya senang, tidak peduli biaya. Karena kami mencintai dan peduli pada peninggalan leluhur,” tambah Maria didampingi suami ketika ditemui di kediaman yang mana juga menjadi basecamp Komunitas Kandang Kebo.
Foto: Indah
Ibu dari dua putra ini menyampaikan bahwa kadang masyarakat bingung kalau menemukan situs peninggalan, bingung mencari solusi sehingga tidak ada tindak lanjut. “Kami memiliki program untuk memberikan edukasi pada masyarakat berkaitan dengan cagar budaya. Memberi pengertian agar tidak merusak dan mengambil serta mengkomunikasikan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya pada situs yang ditemukan,”
Salah seorang partisipan yang baru pertama kali meramaikan kegiatan ini mengatakan bahwa dirinya bisa menambah wawasan dan pengalaman. “Selain untuk menambah pengetahuan, kegiatan ini juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Kita diharuskan menjaga peninggalan leluhur sebagaimana mestinya,” tandas Ivone ibu rumah tangga yang ikut berpartisipasi.
Saat BIAS berkunjung, Komunitas Kandang Kebo sedang mengadakan acara sarasehan. Sarasehan kali ini membahas sikap yang harus masyarakat ambil setelah menemukan situs peninggalan. Dalam sarasehan itu menghadirkan Marsis Sutopo, Msi (mantan Kepala Balai Konservas Borobudur), Antar Nugroho (Bagian Pemugaran BPCB DIY), dan Wahyu Kristanto, SS (dari BPCB Jawa Tengah). Acara ini juga dihadiri oleh beberapa komunitas lain tetapi memiliki tujuan yang sama. Mereka berasal dari DIY dan luar wilayah DIY seperti, Pekalongan, Magelang, Kediri, Tulungagung, dan Semarang. Bersama-sama akan melakukan blusukan lagi esok hari. (Indah Anggraini)



Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018

Wednesday, April 24, 2019

PSBK: Gelar Seni Gugus Bagong Sampaikan Nilai Seni Untuk Masyarakat Umum


Siapa yang tidak mengenal tokoh Bagong Kussudiardja, seniman kondang dan pelakunya pasti mengenal sosok beliau. Bagong Kussudiardja (BK) seorang seniman sekaligus seorang budayawan Indonesia. Ia sosok inspiratif yang mampu menginspirasi ribuan cantrik-mentrik­. Tidak tanggung-tanggung, cantrik-mentrik hingga Asia Tenggara.
Foto: @psbk_jogja
Bagong Kussudiardjo seorang seniman yang aktif sejak tahun 1978 sampai 2002. Sekalipun kini beliau sudah wafat, pengaruhnya masih hidup. Hal ini tampak terlihat dari aktivitas yang diselenggarakan oleh Cantrik-mentrik. Salah satunya kegiatan untuk memperingati 90 tahun usia Bagong Kussudiardjo.
Seperti yang disampaikan lewat press release acara peringatan ini di selenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Ada beberapa rangkaian acara yang sifatnya tertutup dan terbuka. Khusus acara yang terbuka untuk masyarakat adalah Gelar Seni Gugus Bagong. Kegiatan ini diperuntukan untuk masyarakat umum dan terbuka secara gratis. Adapun rangkaian acara sebagai pembukaan acara, diantarannya adannya pertunjukan tari, pameran seni rupa dan akan ada pameran arsip untuk umum. Dipenutupan acara, diselenggarakan gelar seni dan forum temu akbar alumni Catrik-mentrik. Menariknya, ini diikuti tidak hanya untuk cantrik-mentrik lokal, tetapi selurush Nusantara dan ASEAN PSBK.
Seperti yang disampaikan salah satu tim kurasi Gelar Seni Gugus Bagong, Djaduk Ferianto yang menyampaikan kiprah BK mampu melahirkan seniman pencipta, pemerhati seni dan pendidik yang sekarang sampai tersebar hingga beberapa wilayah, salah satunya di wilayah Nusantara dan Asia Tenggara.
Foto: @psbk_jogja
“Sampai saat ini banyak dari mereka masih aktif sebagai seniman pencipta, pendidik dan pemerhati seni,” tegasnya.
Dalam acara gelar seni Gugus Bagong menampilkan beberapa karya seni dari para cantrik mentrik. Amelberga Astri P, sebagai Media Relasi menyampaikan dalam press Release akan menampilkan Sanggar Tari Kenari (Yuli Asmaning Rita) dari Pasuruan, Jawa Timur, Paranditya Wintarni (PLT Bagong Kussudiardja) dari Yogyakarta, DIY, Sri Warisan Som Said Performing Arts (Som Said Binte Mohamed Said) dari Singapura, dan lainnya akan melengkapi berbagai acara pada hari pertama.
Selanjutnya pada hari Jumat, 19 Oktober 2018 gelar seni yang akan ditampilkan diantaranya karya Sanggar Seni Pringgadhing (Ati Handoyo) dari Cirebon, Jawa Barat, Bengkel Seni Sekar Taruna Kie Raha (Ali Hanafi) dari Ternate, Maluku Utara, Batara Gowa (Basri Baharuddin Sila) dari Makassar, Sulawesi Selatan, dan masih ada empat penampil dari sanggar seni dari Indonesia dan Asia Tenggara lainnya. Sebagai pungkasan, Sanggar Tari Kembang Sore (Untung Muljono) dari Sleman, DIY, Sanggar Seni Pesona Wangka (Ernawati) dari Bangka, Babel, Kontemporaryong Gamelan Pilipino (Pedro R. Abraham, Jr) dari Quezon City, Filipina, dan cantrik-mentrik lainnya akan menutup acara Gelar Seni Gugus Bagong pada hari Sabtu, 20 Oktober 2018.  (Elisa)

Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018

Tuesday, April 23, 2019

Tenggara Art Group Exhibition “Se-Yog-ya-nya”


Menjelajahi keindahan pemikiran seniman Kota Yogyakarta melalui pameran seni yang bertempat di Jogja Gallery. Pameran yang diadakan sejak tanggal 2-12 Agustus 2018 ini adalah hasil dari pemikiran-pemikiran yang dikerjakan oleh seniman-seniman yang tergabung dalam Organisasi Tenggara. Mengangkat tema “se-Yog-ya-nya” merupakan kali kelima yang dilakukan oleh Tenggara. Sebelum pameran ini, Tenggara juga telah melakukan tour kebeberapa tempat di Indonesia bahkan di luar negeri. Pameran pertama dilakukan pada tahun 2007dan diadakan di Taman Budaya Yogyakarta, sama dengan pameran kedua diadakan di Taman Budaya Yogyakarta. Yang ketiga di surabaya, namun untuk pameran keempat Tenggara mereka memberanikan diri untuk melangkah kenegeri sebelah. Kuala Lumpur, Malaysia merupakan tempat mereka melakukan pameran seni.
           
Foto: Linda, Mayastuti
Pameran yang digagas oleh Yaksa Agus ini tidak diadakan setiap tahunnya, karena kesibukan dari masing-masing seniman. Bahkan untuk pameran tahun ini, mereka sudah mempersiapkan waktu selama satu tahun lamanya. Tema yang diangkat untuk pameran kali ini pun terbilang cukup uni
k “se-Yog-ya-nya yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah  sebaiknya, seharusnya. “Ada 2 kemungkinan pemahaman dari tema “se-Yog-ya-nya” tapi tetap menjadi satu tujuan. Tujuan dari tema untuk mengangkat semangat orang Yogyakarta dan  memunculkan cita rasa Yogyakarta itu yang seperti apa,” tutur Pak Dadi Setyadi salah satu seniman Tenggara.
Tema yang diberikan memiliki maksud tersendiri. Seniman-seniman yang tergabung dalam Tenggara merupakan seniman-seniman yang rata-rata menempuh pendidikan, atau bahkan menggembleng pendidikan keseniaannya di Kota Gudeg ini, sehingga mereka ingin memberikan sesuatu untuk kota yang telah member mereka banyak inspirasi, meski dengan penyampaian yang berbeda-berbeda, namun masih dengan maksud dan tujuan yang sama. Ada 9 seniman yang karya-karyanya ikut dalam pameran ini adalah Agus Baqul, Ayu Arista Murti, Dadi Setyadi, Heri Pur, Luddy Astaghis, Sumbul Pranov, Suryadi Suyamtina, Utin Rini, dan Yaksa.
            Pameran ini dibuka untuk umum dan para seniman serta pengelola pameran ini sepakat untuk meniadakan biaya dengan kata lain pameran ini gratis untuk dikunjungi. Dibuka dari pukul 09.00 hingga 21.00 sehingga banyak pelancong-pelancong luar Yogyakarta yang hadir dalam pameran ini, bahkan ada beberapa seniman yang rela meluangkan waktunya untuk melihat koleksi-koleksi dari Sembilan seniman ini. Isi dari pameran juga beragam, tidak hanya lukisan saja yang dipamerkan, ada beberapa karya tiga dimensi yang dipamerkan. Tentu saja masih dengan gaya dari masing-masing seniman, namun dengan tujuan yang sama. (Linda, Mahyastuti)

Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018

Monday, April 22, 2019

Papi….


Tik..Tok..Tik..Tok..
Detik menunjukkan waktu
bapak, papi (Foto: Elisa)
Pukul Sembilan lebih tujuh belas, 
wajahnya memelas senyum simpul menghela
Jemarinya masih asyik pada pijakan, 
merangkai spasi tanpa jeda berarti
Usrak-usrek, tengok kanan kiri, rebahan.. 
kadang dia ingin sekali
Namun lagi-lagi, ah jangan..
apa jadinya esok hari?
Dalam mimpi, ia harus berlari.. 
berlari tuk kejar papi
Papi berkacamata, raut wajah wibawa
Ia takut, papi marah.. 
marah lalu mengelaktak kembali
Baginya, papi bak pelangi…
Meski jarang ditemui namun tetap selalu dicari (Novia Intan)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018

Sunday, April 21, 2019

Misteri Dunia dan Cinta Dunia Maya Karya Jostein Gaarder


“Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati”
Kutipan ini dikutip dari novel karya Jostein Gaarder dengan judul Dunia Maya. Novel Jostein Gaarder ini menyoroti gagasan-gagasan yang besar mengenai penciptaan alam semesta, evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari keberadaan manusia.
Novel ini adalah sebuah surat yang teramat panjang yang dibuat oleh Frank Andersen, seorang ahli dalam bidang biologi evolusioner, untuk mantan istrinya yang bernama Vera. Isi suratnya, Frank menceritakan tentang perjalanannya di pulau Taveuni setelah melakukan sebuah penelitian yang berhubungan dengan akademiknya.
Ketika perjalanan di pulau tersebut, Frank bertemu dengan beberapa orang yang unik. Pertama, John yang seorang novelis asal Inggris yang sedang mencari bahan untuk novelnya selanjutnya. Lalu ada seorang gadis menarik bernama Laura, yang mempunyai ambisi untuk menyelamatkan bumi dengan caranya yang unik. Ia seorang heterochromia, yang mempunyai warna mata berbeda di antara kedua matanya. Seorang milyuner kaya, pengusaha minyak, yang juga ternyata menyimpan cerita tersendiri tentang hidupnya.
Pulau Taveuni adalah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Dan ketertarikan itu pula yang menjadi magnet bagi Ana dan Jose yang merupakan pembuat film dokumenter, serta Frank yang seorang penulis. Di pulau inilah garis bujur nol derajat berada. Dua tahun lagi adalah waktu dimulainya periode milenium baru tahun 2000. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama, sehingga mereka membidik tempat ini, yang merupakan tempat pertama yang akan mengalami pergantian tahun.
Suatu malam, sebelum mereka berpisah ke tempat lain, mereka mengadakan "konferensi" dadakan di meja saat makan malam. Sebenarnya ini lebih kepada sebuah percakapan tentang banyak hal: kehidupan, evolusi, bahkan sampai pembahasan tentang Maya.
Ini adalah sebuah novel yang cerdas dan brilian. Seperti biasanya, Jostein Gaarder mengusung tema filsafat dalam karya-karyanya. Di  Dunia Maya, konsep filsafat itu dipadukan dengan pengetahuan seputar dunia biologi terutama dalam bidang biologi evolusioner. Gaarder menyuguhkan perenungan-perenungan ini dalam sebuah cerita berbalut kisah romansa dari beberapa tokohnya. Ada pasangan Frank dan Vera yang berpisah karena sebuah tragedi yang menimpa anak mereka. John yang belum bisa melupakan Sonja istrinya yang telah tiada. Ana dan Jose, pasangan misterius yang menyimpan rahasia-rahasia kehidupan dalam interaksi mereka.
Novel ini disajikan dalam bentuk surat yang panjang, terdiri dari beberapa bagian; yakni satu episode pertemuan Frank dengan para tokoh lainnya di Pulau Taveuni, solilokui John dengan tokek yang membahas tentang banyak hal seputar evolusi, kesadaran manusia, dan tentang kehidupan, cerita-cerita pasca pertemuan di Pulau Taveuni.
“Manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh alam semesta yang memiliki kesadaran akan alam semesta. Maka, melindungi lingkungan hidup di planet ini bukanlah hanya sebuah tanggung jawab global, tetapi merupakan tanggung jawab kosmos.”
Ulasan filsafat dan makna kehidupan dibahas dengan lebih mendalam dan mengena. Banyak tamparan keras bagi manusia yang otaknya lebih banyak lipatan ketimbang makhluk hidup lainnya. Dan itu seharusnya membuahkan kesadaran agar manusia menjadi lebih peka terhadap sesamanya. (Krise Lewi Talenta)
Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018


Saturday, April 20, 2019

Artjog 2018 Enlightenment, Seni Pencerahan dan Harapan


Sebuah kubah besar mirip berlian menjadi karya pertama yang menjemput mata kita ketika menapaki pelataran gedung Jogja Nasional Museum, Sea Remembers adalah instalasi seni rajutan sebesar 9x12m garapan Mulyana. Dikerjakan selama setengah tahun, karya ini dipilih sebagai icon bursa seni berskala internasioanal, ART JOG 2018. Pagelaran seni tahunan yang ke-11 ini dibuka pada Jumat, 4 Mei dan berlangsung hingga 4 Juni. Selama satu bulan penuh akan dipamerkan seratusan karya dari 54 seniman dalam negeri dan mancanegara.

Art jog 2018 (Foto: Elisa)
Sea Remembers menyuguhkan serangkaian rajutan berbentuk koral dan terumbu karang warna-warni yang melekat pada kerangka paus, serta rajutan sekumpulan ikan berbentuk seperti ledakan yang dihasilkan oleh bom atom. Dengan sentuhan warna-warna yang brilian, Mulyana menghadirkan sebuah permenungan atas hal-hal yang kita takuti sebagai bentuk ketidaktahuan dan sekaligus mengajak kita menyelam lebih dalam, agar dapat memandang segala persoalan tidak hanya dari atas permukaan saja.
Nuansa alam bawah laut tersebut terpilih sebagai sebuah pendekatan yang segar terhadap tema yang diusung,yaitu Enlightenment: Towards Various Future (Pencerahan: Menuju Berbagai Masa Depan). Pencerahan, dapat dimaknai dengan luas; namun yang pasti, pencerahan adalah segala daya upaya untuk mengusir kegelapan, untuk membawa siapapun yang terbelenggu dari gelap ke dalam terang, dan seni, adalah sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk menghadirkan pencerahan dan harapan.
Selama satu dekade terakhir Artjog menjadi ajang pertemuan gagasan dan ide baru dalam berkesenian. Berawal pada 2008 dengan nama Jogja Art Fair, acara ini semula memajang karya seni rupa; lukisan dan patung. Lambat laun karya yang dipamerkan berkembang dalam bentuk instalasi-instalasi yang lebih beragam.
Artjog 2018 (Foto: Adhisti)
Tak hanya memajang karya seni, Artjog pun menyuguhkan berbagi kegiatan spesial, salah satunya adalah CERITA ANAK (Child’s Story), sebuah pertunjukan teater immersive kerjasama Papermoon Puppet Theater (Indonesia) dan Polyglot Theatre (Australia). Tak mau ketinggalan pula daily performance, yang mana ada 83 penampil dengan berbagai bentuk kesenian seperti seni musik, seni pertunjukan, teater, dan seni tari berunjuk gigi setiap hari sepanjang perhelatan ARTJOG berlangsung.
Selepas berkeliling, pengunjung disapa kembali oleh Merchandise Project yang hadir pada perhelatan ARTJOG tahun ini. Menampung sebanyak 79 institusi, komunitas, dan seniman membuat dan memasarkan produk-produk kreatif mereka agar dapat menemui publik yang lebih luas. 
“Ada pun Curaturial Tour tahun ini hadir dengan lebih banyak sesi dan pilihan waktu,” ungkap Amelberga Astri, P, selaku seksi Media dan Komunikasi Artjog 2018. “Agar sepadan dengan harga, kami ingin apa yang sudah kami persiapkan dapat dinimati serta bisa tersampaikan dengan baik.” Tutupnya. (Adhisti, Elisa)
Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2018

Friday, April 19, 2019

Cara Asik Kenalkan Dunia Buku dan Bahasa Inggris pada Anak


Berdiri di pinggir Jalan Gedong Kuning No.102, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, Rumah BaCa (Ba adalah nama mascot buku laki-laki berwarna biru dan Ca adalah mascot buku perempuan berwarna merah muda) merupakan perpustakaan dan pusat kegiatan keluarga, yang menyajikan layanan pengembangan kreativitas terpadu bagi anak dan remaja di Kota Yogyakarta.
Rumah baca Inggris (Foto: Adhisti)
Interior yang khas ruang keluarga ala Eropa dengan berbagai dekorasi lucu dan wallpaper yang cantik akan menyambut ketika memasuki rumah baca ini. Tempat yang lahir dari inisiasi pasangan suami istri Ganjar Widhiyoga, Ph.D dan Ari Pusparini ini ingin mengenalkan dua hal penting kepada anak-anak, yaitu membaca dan bahasa Inggris. Jadi, tidak heran kalau seluruh koleksi buku di Ruma BaCa menggunakan bahasa Inggris, dengan mayoritas adalah genre anak-anak.
Ganjar, yang juga merupakan seorang alumnus Durham University, United King domini mengatakan minat baca anak tumbuh bukan karena dipaksa melainkan sudah dibiasakan sejak dini, selain itu peran orangtua di rumah untuk mengenalkan buku dan membacakannya kepada anak juga sangat penting.
“Kami pernah tinggal di United Kingdom selama beberapa tahun, di sana bisa ditemukan banyak perpustakaan untu kanak-anak. Kami terinspirasi membuat yang serupa di sini. Perpustakaan yang ada di Jogja saat ini sudah sangat baik, tapi buku berbahasa Inggris masih jarang, kami ingin menyediakan buku-buku tersebut yang terjangkau buat anak-anak. Jadi, semua buku di sini berbahasa Inggris,” jelas Ganjar.
Dibantu oleh istrinya yang juga memiliki pengalaman sebagai Trainer di Angelou Centre, United Kingdom, Rumah BaCa diresmikan pada 17 Agustus 2017. Selain buku anak-anak, disediakan pula berbagai permainan yang mengasah motorik anak seperti permainan kartu, jenga, balok, dan lain-lain. Tak ketinggalan, kostum-kostum lucu yang terpampang rapi dan bisa bebas dikenakan.
Rumah BaCa juga menawarkan aktivitas klub bahasa Inggris untuk anak-anak, yang terdiri dari beberapa level dan jenis. Anak-anak akan memulai di level Beginner; fun and play, little chef, dan art and craft. Setelah itu bisa melanjutkan di level Advanced; young writing, board games club, dan story telling. Semua dikemas dengan cara menyenangkan dan seru khas anak-anak. Tidak lupa, di Rumah BaCa anak-anak pun berkesempatan untuk berinteraksi langsung dengan wisatawan asing dengan mengunjungi tempat-tempat rekreasi saat liburan sekolah.
“Pendekatan ala anak-anak sangat diperlukan. Kalaupun di sini mereka ada yang belum bisa bahasa Inggris setidaknya mereka tertarik dulu dengan gambar-gambarnya, bermain dengan pop art-nya. Kita belajar bahasa Inggris dari SD tapi masih belum bisa, kenapa? Karena di awal sudah dikasih grammar, jadi kami buat pendekatan yang berbeda. Buat anak-anak senang dulu dengan bahasa Inggris, tidak ada mental block, baru setelah mereka siap kami beri grammar sedikit-sedikit. Terbukti bisa,” ungkap Ganjar. (Adhisti)



Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2018