Thursday, February 6, 2025

Biasa Hidup Di Batas Minimal Memudahkan Kita Bersyukur


Di balik sekolah yang menurut orang lain tak favorit, ada satu rasa syukur lain dan ada pelajaran hidup yang saya pelajari. Memang saya bukan anak kongklomerat yang sedang menyamar menjadi anak miskin dan sekolah di tempat terpinggirkan. Saya juga masuk dalam klasifikasi masyarakat remah-remah, namun kali ini ijinkan saya berandai-andai menjadi anak konglomerat yang sedang belajar kehidupan dengan masyarakat biasa-biasa saja.

Foto : Elisa
Saya bersyukur ketika terjerumus dalam pola kehidupan yang kaum bawah. Kareana saya belajar arti kemanusiaan, belajar rasanya menjadi orang bawah. Entah, apa yang terjadi jika kenyataan saya orang biasa kemudian memaksakan diri bergabung di tengah ekonomi menengah atas. Bisa jadi, saya akan berpura-pura menjadi diri sendiri. Hidup gaya elit dompet sulit.

Ada satu hal yang saya pelajari saat saat sekolah di sekolah tercinta, ketika kita sejak awal sudah terbiasa hidup minimum. Maka saya lebih mudah bersyukur dengan nominal materi yang banyak. Dimana, materi itu mungkin bagi mereka kecil dan tidak ada artinya. Tapi bagi saya yang mendang-mending, itu nilai yang besar. Dan ini bukan masalah nilai uang, tetapi nilai rasa syukur kita dengan tulus.

Rasa syukur yang tulus inilah secara cepat kita mendadak menjadi bermental kaya. Mental kaya ini statusnya lebih tinggi daripada status kekayaan secara material. Karena orang yang memiliki kekayaan dan harta melimpah belum tentu memiliki mental kaya. sebaliknya, orang tiak memiliki harga benda dan uang secara fisik bukan berarti dia miskin. Bisa jadi, dia orang yang paling kaya.

Kita pernah melihat, orang-orang yang tidak punya lebih mudah memberi dibandingkan mereka yang memiliki harta berlimpah. Karena orang yang tidak punya memiliki kelapangan hati, dan rasa welas asih yang tinggi. Mereka menjalani hidup dengan hati, bukan menggunakan pikiran mereka. Sikap baik inilah yang membuat mereka memiliki ketentraman jiwa. Dengan keterbatasan, mereka diberi rasa syukur dan hidup merasa cukup.

Tuesday, February 4, 2025

Sekolah di Pinggiran Tidak Selalu Buruk


Tawa menggema mengisi ruang kelas. Gemuruh celoteh dari banyak kepala terasa ramai. Yah, ini adalah jam istirahat sekolah. Ada juga sebagian yang duduk di meja, duduk berhadapan sambil ngobrol, ngrumpi. Sementara, sebagian lagi sedang ke gubuk tua di samping sekolah. Gubuk yang terbuat dari anyaman bambu yang hampir reot. Gubuk itu adalah kantin satu-satunya yang ada disekolah kami. Ada pula yang berseliweran jalan santai masuk menuju kelas sambil menenteng es jeruk diplastik 1 kg yang ada sedotan. Ada sebagian lagi berlari saling kejar-kejaran entah karena apa.

Sementara aku, tipe pelajar yang duduk di meja sekedar ngobrol sambil menunggu jam masuk sekolah. Jika punya uang, sesekali ke kantin. Meskipun suasana riuh, sebenarnya sekolah kita bukanlah sekolah yang populer tetapi terpinggirkan.

Dari segi bangunan, tidak seperti bangunan sekolah yang dikisahkan di Laskar Pelanggi. Gedung sekolah kita lebih baik. Sudah berdinding bata, beratap genteng dan berlantai ubin. Hanya saja, memang murid yang sekolah di sekolah kami saat itu memang sedikit.

Mungkin karena berada di perbatasan daerah. Kala itu, masyarakat memiliki pemikiran maju. Para orang tua menginginkan anak-anak mereka sekolah di sekolah favorit, sekolah di kawasan perkotaan. Mereka rela menempuh jarak jauh, demi mengejar sekolah vaforit. Mereka juga rela tinggal dekat sekolah bergengsi agar masuk dalam zonasi atau apalah itu namannya.

Mereka sangat memperhitungkan masa depan anak-anak mereka. Itu hal wajar. Mereka sangat ingin anaknya menjadi alumni sekolah bergengsi. Ada juga yang bertujuan, agar anaknya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri yang sesuai jurusan yang mereka idamkan. Itu pun juga tidak salah dan sah-sah saja.

Sementara, saya lahir dari keluarga kaum sangat-sangat mendang-mending. Cuma sekedar yang penting bisa sekoklah sudah bersyukur. Dulu tidak seperti sekarang, yang biaya pendidikan masih mandiri. Sedikit biasiswa yang ditawarkan. Dan sekolah-sekolah swasta yang tidak bergensi seperti sekolah kita inilah yang terkena dampak. Hanya sedikit yang mau masuk ke sekolah swasta kami.

Satu kelas angkatan saya di tahun itu hanya 18 siswa. Meskipun demikian, saya justru merasa bersyukur. Berkat siswa yang sedikit justru memiliki kedekatan emosional antara guru dan murid. Setiap guru mengenal dan intens dengan murid-muridnya. Tentu ini hal istimewa bagi saya yang secara akademik selalu rangkin 1 dari bawah.

Jika mengandai-andai, seandainya saya sekolah ke sekolah favorit dengan kapasitas akademik saya, sudah dapat dipastikan saya jadi buangan, tidak di kenal, dan seperti angin berhembus, berlalu saja kemudian di lupakan. Tetapi di sekolah yang kata orang nyaris tutup, saya justru merasa hangat.

Di sekolah ini, saya merasa hangat dan ada memori indah. Meskipun sebenarnya jurusan sekolah ini adalah neraka bagiku. Jadi hanya ada dua jurusan yang ditawarkan, yaitu penjualan dan akuntansi. Jurusan yang saya ambil jurusan Akuntansi. Sementara, kecerdasan matematika saya dari SD bagus banget dari bawah. Selama tiga tahun, saya tersisak mempelajari akuntansi. Dan ini pelajaran, agar tidak memaksakan jurusan pada anak yang tidak sesuai minat bakat anak. Meskipun selama tiga tahun di SMK merasa tersiksa dengan teori akuntansi, masih banyak sisi kehangatan para pengajar, minimal ada kenangan manis di sini.

Terkadang, sesuatu yang buruk bagi orang lain, tidak selalu buruk bagi sebagian kecil orang yang lain. ketika sebagian besar memandang terpinggirkan, tetapi  bagi saya sekolah ini adalah sarana. Coba bayangkan, nilai akademik memprihatinkan, tetapi saya beberapakali mendapatkan kesempatan mengikuti ajang perlombaan tingkat kabupaten.

Jika saya sekolah di tempat bergengsi, sudah pasti tidak ada kesempatan seperti demikian. Dan sudah seharusnya, ini hal yang harus saya syukuri. Memang saat mengikuti ajang perlombaan, sudah jelas bukan saya yang menjadi juara pertama. Tetapi, dari perspektif keuntungan saya sendiri, saya mendapatkan pengalaman dan melatih mental.