Wednesday, February 23, 2022

Sukses Tampilkan 14 Karakter Wayang Kapi-kapi

 Wayang Jogja Night Carnival kembali menyapa warga Yogyakarta di HUT ke-263 malam. Event ini menjadi event tahunan terbesar di Kota Yogyakarta dan di tahun 2019 menjadi kali ke-4 event ini digelar. Wayang Jogja Night Carnival #4 dihelat 7 Oktober 2019 mengusung tema Ringgit Wanara Kagungan Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang juga dikenal sebagai Wayang Kapi-kapi. Wayang Kapi-kapi sendiri merupakan wayang milik Kraton Yogyakarta yang jarang go public. 

Foto : Linda

Terpilihnya Wayang Kapi-kapi menjadi tema Wayang Jogja Night Carnival #4 tidaklah tanpa alasan. Yetti Martanti, S.Sos,M.M. selaku Show Director WJNC mengatakan, event ini akan menjadi ajang mendekatkan masyarakat dengan 14 karakter Wayang Kapi-kapi yang jarang terekspos. Rute peserta karnaval wayang, Jalan Jenderal Sudirman, Tugu Pal Putih, Jalan Margo Utomo, dan Kotabaru.

“Agar masyarakat bisa mengenal Wayang Kapi-kapi dan memaknai filosofinya dalam kehidupan sehari-hari. Karena Wayang Kapi-kapi sendiri mengajarkan agar kita harus saling mengayomi meski memiliki pribadi berbeda-beda, sangat pas untuk konteks seperti sekarang,” ujarnya.

Wayang Kapi-kapi terdiri dari 14 karakter yang kuat, di antaranya : Wayang Kapi Kingkin, Wayang Jaya Harima atau Wayang Kapi Harima, Wayang Kapi Wraha, Wayang Kapi Warjita atau Kapi Wercita atau Cacingkanil, Wayang Kapi Jaya Anala atau Kapi Anggeni, Wayang Kapi Satabali, Wayang Kapi Liman Dhesthi, Wayang Kapi Premujabahu atau Kapi Permujabahu, Wayang Kapu Sembawa, Wayang Kapi Cocak Rawun, Wayang Kapi Endrajanu, Wayang Kapi Widagsi, Wayang Kapi Jaya Arina, Wayang Kapi Trewilun atau Kapi Terwilun. Ke-14 Wayang Kapi-kapi diperagakan oleh 14 kecamatan yaitu Kecamatan Wirobrajan, Mantrijeron, Gondomanan, Pakualaman, Umbulharjo, Gedongtengen, Ngampilan, Tegalrejo, Kotagede, Gondokusuman, Danurejan, Jetis, Mergangsan, dan Kraton.

“Terdapat 7 seniman profesional sebagai tim kreatif yang membantu peserta dalam mengawal proses produksi peserta, yaitu KPH Notonegoro, RM. Kristiadi,S.Sn., Ali Nursotya Nugraha, M.Sn., Anon Suneko,M.Sn., Emerentiana Tri Ikhtiarningsih,S.Pd., Agung Tri Yulianto,S.Sn dan Hermawan Sinung Nugroho, S.Sn,” imbuh Yetti. 

Yetti Martanti,S.Sos.,MM. berharap semoga masyarakat semakin mengenal Wayang Kapi-kapi dan melestarikan kesenian-kesenian daerah. (LINDA)

Wednesday, February 16, 2022

Pementasan Seni Tari Kontemporer : The Garden of the Sun; Sang Surya Sang Energi Kehidupan

 Pertunjukan tari kontemporer berjudul ‘The Garden of the Sun’ karya koreografer Bimo Wiwohatmo berkolaborasi dengan Takashi Watanabe (Jepang), berlangsung pada 10 September 2018 di Taman Budaya Yogyakarta, salah satu contoh pentas seni kontemporer yang menarik.  Didukung oleh sejumlah penari dari Bimo Dance Theater Yogyakarta dan Dance Company Dinyos, Kyoto, Jepang, gelaran kesenian ini dihelat dalam rangka 60 tahun memperingati sister-city Yogyakarta-Kyoto, dan juga sebagai pembuka acara tahunan Jogja International Street Performance.

Foto : Adhisti

Pentas The Garden of the Sun, mengangkat hal yang memiliki keterkaitan di antara kedua bangsa yaitu Keperkasaan Matahari, di Indonesia ada Dewa Surya dan di Jepang ada Dewi Amaterasu, Sang Matahari Terbit. Pertemuan pertama Bimo Dance Theatre dengan Dance Company Dinyos terjadi saat perhelatan Yogya-Kyoto Sister Province di tahun 2005. Ketika itu Bimo Dance Theatre menyaksikan pementasan Dance Company Dinyos dan mengunjungi studionya yang berlanjut dengan kolaborasi tari di Yogyakarta pada Oktober 2008 diteruskan kolaborasi bersama pada November 2008 di Kyoto sehingga meluncurkan repertoar “Jiwa”. Sepuluh tahun kemudian mereka berjanji bertemu untuk melakukan kolaborasi yang diejawantahkan dalam pertunjukan The Garden of the Sun ini. 

Diceritakan pada pementasan tersebut bahwa mereka meminta kehadiran sang surya untuk muncul, karena tanpanya kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Pesan yang ingin disampaikan ialah keseimbangan alam, bahwa matahari merupakan suatu esensi dalam kehidupan bagi semua makhluk yang tinggal di Bumi. Secara implisit mereka ingin mengatakan bahwa alam merupakan suatu amanat yang harus dijaga.

Takashi Watanabe berkomentar bahwa pihaknya sangat bangga dapat bekerjasama kembali dengan Bimo yang memiliki kepribadian dan kompleksitas kuat untuk mempesona semua penonton. “Sepuluh tahun telah berlalu, sejak kami pertama bertemu dan benar-benar terlibat dalam menciptakan dunia imajinasi, fiksi dan ilusi, sehingga tari Jiwa lahir. Pada tahun 2018 ini, persahabatan kami masih berlanjut,” tuturnya haru.

Usai pergelaran tersebut, Bimo Wiwoho menuturkan, segala proses latihan dan penggarapan naskah kedua tim praktis secara intens dikerjakan via internet. “Kami bertemu hanya tiga hari jelang pentas, yang menarik adalah persiapan gagasan penggarapan pementasan ini, kami melakukan dialog lewat media sosial, mulai dari naskah, konsep pertunjukan, kostumnya, hingga musik yang untuk mengiringi, itu semua kami diskusikan lewat internet, kami saling berkirim foto dan video melalui WhatsApp maupun Email,” jelas Bimo.

Daftar pemain kolaborasi tari The Garden of The Sun, dari Dance Company Dinyos Kyoto di bawah pimpinan Takashi Watanabe, masing-masing, Myu Enami, Bella kai, Sachie, Mei, dan Reina. Sedangkan pemain Bimo Dance Theatre Yogyakarta dibawah pimpinan Bimo Wiwohatmo, masing-masing, Anter, Pulung, Putra Jalu, Anang, Eka Ltfi dan Hendy. Untuk penata Set oleh Shino Michi, Kostum oleh Nita Ashar, Penata Lampu oleh Soga Masaru, Penata Musik oleh Izumi Nagano dan Bagus Masazupa, serta Manajer Panggung oleh Iqbal Tuwasikal. (Adhisti)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2019

Wednesday, February 9, 2022

Festival Budaya Indonesia : Merajut Kebinekaan dalam Bingkai NKRI

 Akhir-akhir ini masyarakat diuji dan dipertanyakan tingkat solidaritas dan rasa nasionalismenya. Lantas, sampai detik ini, nasionalisme benar sudah luntur? Atau justru dengan permasalahan yang santer tersiar di media sosial, justru mengingatkan untuk kembali meneguhkan jati diri NKRI? Tampaknya, permasalahan dan keprihatinan terhadap masalah latah share dan mencaci ini tangkap, dan akhirnya melahirkan tindakan. Baik tindakan secara preventif dan represif.

Foto : Irukawa Elisa


Salah satunya yang beberapa hari lalu diselenggarakan oleh Polda DIY menyelenggarakan festival Budaya Indonesia 2019. Ketua pelaksana, AKBP Sinungwati menyampaikan bahwa festival mengangkat tema Merajut Kebinekaan dalam Bingkai NKRI. Sesuai dengan nama dan tema, kegiatan ini menonjolkan kebudayaan diseluruh Indonesia, yang melibatkan 34 Propinsi. 

“Karena waktu terbatas, jadi Cuma perwakilan dari pulau-pulau,” Imbuhnya. 

Jadi, festival yang rencanannya diselenggarakan pada 2 Oktober 2019 ini akan menampilkan tari Nusantara, tari jawa, tari papua, Kalimantan dan tentu saja tarian khas Jogja juga ada. Akan tampil pula perwakilan mahasiswa di Jogja, yang berasal dari luar, mewakili daerahnya menggunakan baju adat dan akan menyampaikan ikrar bersama. 

Tentu kita tahu bahwa Yogyakarta sebagai kota pelajar. Banyak sekali pelajar yang datang dari berbagai daerah. Yogyakarta sebagai miniaturnya Indonesia, dari sabang- sampai merauke ada yang belajar di Jogja. Menyadari hal itu, maka AKBP Sinungwati menyelenggarakan kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang silaturahmi.

“Mulai dari elemen mahasiswa ataupun masyarakat, khususnya di Jogja. Diharapkan pula, ini juga sebagai ajang saling kenal, sekaligus sebagai ajan menunjukan potensi adat asal masing-masing,” tandasnya. 

Jadi Polda DIY bersama LLDikti wilayah V, Dinas Kebudayaan dan Ikatan Keluarga Pelajar Daerah Se-Indonesia memberikan ruang untuk menunjukan potensi adat asal. Sehingga keberagaman yang ada tidak memecah belah, tetapi menjadi berkah untuk kita semua. Dari segi inilah yang diharapkan oleh Polda DIY,  bahwa Jogja itu Istimewa. 

Kegiatan festival ini juga bukan kali pertama yang diselenggarakan. Ada juga program Polda DIY, yaitu mengadakan polisi cilik untuk SD, dan di Bulan Oktober juga akan diadakan lomba untuk tingkat SMA/K/MA/STM. Tidak lain, semua kegiatan yang diselenggarakan sebagai wujud dan peduli pihak kepolisian untuk meningkatkan dan membangkitkan pembentukan karakter generasi muda.

“Polisi juga melakukan pendekatan budaya juga. Karena kita kan bukan hanya nangkep-nangkep orang,” tegasnya. 

Jadi, pihak Polda DIY juga bertanggungjawab penuh untuk menciptakan sitausi aman lewat pendekatan budaya semacam festival kali ini. Harapannya, rasa nasionalisme masyarakat Jogja semakin besar lewat acara ini. Intinya, pihaknya ingin menyentil keanekaragaman Indonesia jangan sampai hilang. Tetap memiliki rasa memiliki Yogyakarta dan menjaga Jogja untuk kepentingan Nasional. 

Yogyakarta sebagai kota kecil yang masyarakatnya bersifat heterogen. Dari Sabang sampai Merauke ada. 

“Budaya dunia juga ada. Oh begitulah anugrah yang diberikan Indonesia, dan ini harus menjadi menjadi kebanggaan bersama. Generasi muda harus memiliki rasa memiliki, jangan sampai terus tergerus arus oleh arus budaya asing,” pungkasnya, dan diharapkan festival ini dapat sebagai sarana untuk mengenal budaya yang Indonesia miliki.  (Irukawa Elisa)


Dipublikasikan di Tabloid Bias edisi 2, 2019

Wednesday, February 2, 2022

FKT ke-11 sebagai Ajang Pelestari Kebudayaan : “Niti Laku Kabudayang Minangka Prasasti”

 Tahun 2019 ini penyelenggaraan FKT memasuki usia yang ke 11 serta menjadi tonggak sejarah baru bahwa FKT mampu bertahan selama lebih dari satu dasawarsa. Pada penyelenggaran yang ke 11 panitia mengusung konsep baru yakni dengan mengembalikan FKT pada pemaknaan festival yang sesungguhnya. Cara penyampaian pewartaan dimanifestasikan dalam rumusan tema-tema yang diangkat setiap tahunnya berdasarkan representasi dari isu-isu sosial, lingkungan, kemanusiaan, kesejahteraan umum, dan sebagainya dilaksanakan di Lapangan Pengasih, Kulonprogo, Minggu (8/9/2019).

Foto : Tabloid BIAS

Orang Muda Katolik (OMK) Rayon Kulon Progo secara konsisten memilih jalur seni tradisional sebagai manifestasi pewartaan (misioner) kepada umat gereja dan masyarakat pada umumnya. Pemilihan jalur seni dan tradisi menjadi sebuah misi pewartaan berdasarkan pada alasan bahwa kesenian yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, kesenian yang tidak mengenal batasan, kesenian sebagai hiburan, dan kesenian sebagai media pendidikan. 

Ketua Panitia Fransisca Puspalinda menjelaskan bahwa di tahun ini FKT mengusung tema “Niti Laku Kabudayan Minangka Prasasti”, dengan alasan utama FKT bisa dipahami sebagai sejarah. Tema ini memiliki 3 pemaknaan secara khusus, yakni yang pertama FKT sebagai peristiwa yang ditandai dengan adanya pelaksanaan event FKT yang berjalan selama 10 kali. Yang kedua, pemaknaan khusus yakni FKT dianggap sebagai tempat dimana event FKT ini selalu berlangsung di tempat yang berbeda sehingga meninggalkan kesan tersendiri bagi tempat yang menjadi tuan rumah FKT saat itu. Yang ketiga, FKT dianggap sebagai wadah yang menumbuhkan gerakan kesenian dari masing-masing kontingen. “Dengan tema “Niti Laku Kabudayang Minangka Prasasti” diharapkan semua orang dapat tetap melestarikan kebudayaannya hingga kapanpun,” harap Fransisca Puspalinda. 

Wakil Bupati Kulonprogo, Sutedjo yang hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi panitia penyelanggara dan berharap agar acara ini bisa bersinergi dengan visi pemerintah yaitu membangun wilayah berbasis budaya. Generasi muda diharapkan bisa menjadi pelopor dalam seluruh bidang, termasuk kebudayaan. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya FKT ada banyak penampilan dari beberapa kontingen paroki, stasi, akademisi, dan komunitas yang dapat dirinci sebagai berikut : Paroki St. Liseux Boro, Paroki St. Maria Tak Bernoda Nanggulan, Paroki Bunda Penasihat Baik Wates, Stasi Maria Mater Dei Bonoharjo, TK Indriyasana Sedayu, Shinta Art,  SLOKA Sudimoro, Sanggar Tajak Betangkong, dan Etnik Banget.  Setiap kontingen akan menampilkan berbagai macam kesenian tradisional yang menjadi ciri khas kedaerahannya masing-masing. (Linda


Dipublikasikan di Tabloid BIAS Edisi 2, 2019.