Thursday, January 31, 2019

Surga Panganan Khas Jawa : Pasar Ramadhan Kauman


“Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah,” begitu ucap Udin seorang pedagang aneka jajanan berbuka puasa.
           
Foto: Krise
Tiga puluh hari yang membawa berkah bagi Udin, seorang tukang becak yang mendadak beralih profesi menjadi pedagang khusus di bulan Ramadhan. Keseharian Udin yang biasanya ia habiskan bersama penumpang dengan berputar-putar keliling wilayah Keraton Yogyakarta kini tergantikan dengan berdiri di depan meja penuh aneka jajanan menunggu pembeli. Pasar Tiban Ramadhan Kauman, dengan gang sempit yang lebarnya tak sampai 2 meter di Kampung Kauman, Jl. Ahmad Dahlan menjadi lahan Udin berjualan bersama penjual dadakan lainnya.
            Kauman sendiri adalah salah satu daerah di lingkungan Kraton Yogyakarta di mana di situ berkumpul para alim ulama dan ahli agama. Organisasi Muhammadiyah yang dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan pun lahir di sini.
“Kauman sendiri berasal dari kata “qoimuddin” yang kemudian karena lidah Jawa berubah jadi “pakauman” yang berarti orang-orang berilmu agama,” ujar Arnanto seorang pengurus desa Kauman.
Suasana santri begitu terasa begitu kita melangkahkan kaki, menelusuri lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk. Bangunan-bangunan tua berarsitektur jadul masih dapat kita temukan di sini. Tak jarang suara lantunan ayat suci Al Quran terdengar samar-samar namun jelas menyeruak dari rumah-rumah penduduk. Apalagi bulan Ramadahan macam gini. Suasana religinya sangat terasa.
Namun, di balik suasana santri yang terasa, ada keriuhan lain ketika Ramadhan tiba. Di salah satu lorong Kauman, tepatnya di Jalan Nggerjen lorong Pasar Tiban, berderet para ibu-ibu berjualan beraneka macam ragam makanan. Konon kegiatan ini sudah berlangsung selama lebih dari 2 dekade. Sekitar tahun 1973, ibu-ibu warga sekitar mulai merintis usaha dengan menyediakan makanan untuk menu berbuka puasa.
Meskipun dengan latar belakang kampung Islam ini Pasar Ramadhan Kauman sekilas tidak berbeda jauh dengan pasar Ramadhan lainnya. Namun, jika ditelusuri sepanjang gang di Rw 10 hingga Rw 13 kauman ini menjajakan makanan khas Yogya yang sudah sangat jarang ditemui. Mulai dari makanan ringan seperti clorot, sarang gesing, kacang kumbon, bubur saren, semar mendem, serabi kocor, dan kipo hingga menu makanan berat yang beraneka ragam. Bahkan ada kreasi makanan unik pula yakni pecel cap jay, berupa kudapan adaptasi Cap Cay ala Jawa yang disiram bumbu pecel. Selain itu juga ada jajanan khas Ramadhan dan konon hanya ada di pasar ini yakni kicak. Panganan ini terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus, gula, parutan kelapa, nangka, pandan dan vanili. Bahan–bahan ini kemudian dicampur menjadi satu dan dikukus dengan kayu bakar. Semua jajanan tersebut dijual murah meriah mulai dari 1500 rupiah hingga 10.000 rupiah.
“Cari kicak, penasaran dengan rasanya. Terlebih hanya ada setahun sekali selama bulan Ramadhan. Kalo ke Pasar Kauman tanpa beli kicak itu berasa ada yang kurang,” ucap Bambang, salah seorang pengunjung asal Bantul. (Krise Lewi Talenta)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Wednesday, January 30, 2019

OMAH KUNO MIRING : Kekinian dan Mengedukasi


Menginjak era digital sosial media menjadi wadah bagi generasi millenial untuk memamerkan konten terbaik mereka. Anak-anak muda berlomba menunjukkan potret-potret berkualitas demi ajang eksistensi. Nah, tempat satu ini bisa menjadi salah satu pilihan bagi kalian yang ingin semakin ngehits dan kekinian. Bisa ditemukan di jalan Wonosari KM 8, Mayungan, Banguntapan, Bantul, Omah Kuno Miring menghadirkan spot-spotberfoto dengan latar interior rumah Jawa tempo dulu,menariknya semua perabotan yang ada terbalik.
Foto: Adhisty
Setelah membayar biaya tiket masuk seharga Rp 10.000,- untuk pelajar dan Rp 20.000,- untuk umum, kemudian pengunjung akan diajak mengenakan baju surjan dan jarik agar semakin menyaru dengan tema. Total ada tujuhspot yang disediakan untuk berfoto-foto, mulai dari ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, pawon atau dapur, pengilon alias kaca rias, ruang pertanian, dan ruang lumbung sakti melayang, semuanya dibalut dengan suasana rumah Jawa tradisional yang sangat kental. Di tempat ini harus pintar-pintar memainkan mimik dan ekspresi wajah serta pengembilan sudut kamera yang baik untuk hasil foto yang natural.
“Sekarang ‘kan zamannya suka berfoto-foto lalu diunggah ke media sosial, kami ingin ikut andil dalam perkembangan tersebut. Tapi kami ingin sesuatu yang beda, yang ada ciri khasnya Jogja, dan memiliki unsur edukasi. Lantas dibuatlah spot-spot foto miring atau terbalik dengan nuansa Jawa kuno,” ungkap Hardianto Wibowo, selaku pengelola Omah Kuno Miring.
Selain memberikan spot foto yang kece, tempat wisata yang buka dari Senin – Jumat pukul 09.00 - 16.00 WIB dan Sabtu - Minggu pukul 09.00 - 19.00 WIB juga mengajak pengunjung untuk menggali wawasandan memerkenalkan konsep budaya Jawa rumah nenek moyang mereka tempo dulu. Diresmikan 15 April 2017, Omah Kuno Miring berlokasi di dalam sebuah rumah limasan yang dibangun tahun 1952, semakin menyaratkan tema lawas yang diusung.
Foto: Adhisty
Ada beberapa program dan paket yang bisa kamu nikmati, bagi anak di bawah tiga tahun, yang berulang tahun, dan janda akan dipersilakan masuk gratis. Terdapat pula paket foto pre-wedding, dan Outbond Mataram yang belum lama diluncurkan. Omah Kuno Miring akan ramai ketika akhir pekan menjelang, dan jika sudah begitu setiap pengunjung diberi batas waktu berfoto sekitar sepuluh menit. Namun jangan khawatir, karena serayamenanti giliran, pengunjungdapatmenginstirahatkan badan di kursi dan lincak yang banyak tersedia, dan jika perut mulai meraung bisa pula memesan makanan dan minuman di restoran yang juga berada di dalam rumah limasan.
“Kami berharap dapat terus mengembangkan tempat ini, seperti menambah spot foto dan meluncurkan beberapa program baru. Kami ingin wisatawan merasa seperti di ruman sendiri, bisa bersantai, mungkin inisatu-satunya tempat wisata di mana tamu-tamu kalau ingin pulang itu berpamitan dulu, ‘pareng, pareng,’ seperti itu,” tukas Haryanto terkekeh kecil. (Adhisti)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 4, 2017

Tuesday, January 29, 2019

Raja Kaya : Sedikit Kata Banyak Berkarya


Seniman asal Yogyakarta Budi Ubrux kembali mengadakan pameran yang kini diadakan di tanah kelahirannya sendiri tepatnya di Taman Budaya Yogyakarta dengan mengusung tema Raja Kaya.
Foto: Krise
“Raja kaya merupakan kata yang cukup familiar di kalangan masyarakat Jawa. Kata ini kurang lebih bisa diartikan sebagai kekayaan. Ia mengatakan masyarakat Jawa dulu sudah merasa kaya ketika punya ayam, sapi, tegalan dan sawah. Di lahan yang dimiliki mereka bisa panen palawija, padi dan hewan peliharaan itu menjadi lambang status. Kalau sudah punyai itu semua berarti sempurna,” ucap kurator pameran, Suwarno Wisetromo.
Namun, sekarang semua sudah berubah seiring dengan pergeseran gaya hidup masyarakat yang cenderung lebih hedonis. Masyarakat kini tidak cukup hanya punya sapi dan sawah, tapi orang-orang butuh mobil bagus, rumah bertingkat, dan tabungan, yang diusahakan dalam jumlah yang melebihi kebutuhan. Pekerjaan sebagai petani tidak dipandang sebagai pekerjaan yang mampu untuk mewujudkan semua keinginan tersebut. Akhirnya beberapa petani beralih ke profesi yang lebih menjanjikan seperti pegawai dan pengusaha.
“Tema raja kaya adalah pernyataan Budi Ubrux dari sudut pandang kritis terkait dengan ironi-ironi yang terdapat dalam hamparan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia,” kara Suwarno.
Teras dari pameran terpajang wujub patung sapi yang menaiki mobil. Bagian dalam gedung terdapat kandang dengan sapi-sapi yang badanya berlukiskan koran dan hasil kebun. Selain itu di dinding terdapat lukisan-lukisan pemandangan yang lagi-lagi dibumbui gambar wujub manusia dan sapi dengan latar koran. Di samping pintu masuk juga terdapat mobil tempo dulu yang dilukis layaknya mobil yang terbungkus koran.
Pameran yang berlangsung sejak tanggal 18 Juni hingga 31 Juni 2017 sudah dipersiapkan Budi Ubrux selama 1,5 tahun dan dikerjakan sangat serius. Seniman yang tak tamat studi di ISI karena drop out ini juga mengatakan merasa kurang percaya diri berpameran di Jogja, padahal selama ini ia sudah sering pameran di kota lain dan juga di luar negeri.
Seniman yag dikenal pendiam ini mengaku Jogja merupakan tempat tinggal bagi banyak perupa-perupa handal sehingga kota ini menjadi pusat perhatian pengamat seni dan bisa dikatakan sebagai barometer seni rupa Indonesia. “Oleh karena itu saya harus mempersiapkan semuanya dengan sungguh-sungguh,” katanya. Budi Ubrux sendiri dikenal sebagai perupa yang karya-karyanya identik dengan binatang sapi dan koran yang membalut di setiap objek lukisannya. (Krise Lewi Talenta)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Monday, January 28, 2019

Festival Kesenian Yogyakarta Ke-29 Sebagai Ruang Ekpresi


Perhelatan Festival Kesinian Yogyakarta (FKY)telah menginjak tahun ke-29. Semakin dewasa, ajang bertaraf internasional ini dituntut untuk mampu mencitrakan dinamika seni dan budaya lebih komprehensif dan intensif. ‘Umar: Mak Byarr’ menjadi tajuk yang dipilih kali ini. Mengambil ruang di Planet Pyramid Jalan Parangtritis KM 5,5 Bangunharjo, Bantul, penyelenggaraan tahun ini diadakan pada 27 Juli - 13 Agustus 2017pukul 15:00 WIB – 22:00 WIB.
Foto: Adhisty
Umbar berasal dari kata bahasa Jawa yang memiliki dua makna. Pertama, umbar sebagai aktivitas beristirahat dan erat kaitannya dengan waktu luang. Kedua, sebagai wujud mengekspresikan sesuatu (mengumbar) suatu ide, gagasan, maupun kreativitas.“Umbar: Mak Byarr kami maknai sebagai pemanfaatan waktu luang untuk menemukan ide segar nan kreatif, khususnya bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta,” tutur Roby Setiawan melalui sambutan Ketua Umum FKY ke-29. FKY diharapkan dapat menjadi pertunjukkan yang semakin memantapkan Yogyakarta sebagai kota seni.
Dibuka dengan pawai yang berlangsung pada Kamis (27/7), pukul 15:00 WIB -17.30 WIB, yang diikuti oleh 27 kontinen dengan total sebanyak 1200 orang partisipan yang berasal dari semua kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, diantaranya Bregada Mloyo Kusumo, Plangkir Paku Alam, Natya Lastika, Sanggar Didi Nini Thowok, dan lain sebagainya.
Memasuki area Planet Pyramid pengunjung akan langsung disuguhi oleh alunan 28 angklung yang dapat bermain secara otomatis. Ada begitu banyak ruang pameryang disajikan, yang dibagi menjadi tiga wilayah; stan pasar seni, stan produk kreatif, dan stan makanan. Masing-masing memiliki puluhan hingga ratusan anjungan. Di sini pula Pasar Seni FKY, Bioskop FKY, Teater, Sastra, Pameran Perupa Muda, berbagai lomba, workshop seni, wayang kulit, dan agenda kesenian lainnya digelar.
Seperti tahun-tahun sebelumnya ada banyak agenda yang dilakukan FKY selain di panggung utama, seperti Jogjakarta Video Mapping Project di Panggung Krapyak, Teater FKY di Auditorium Jurusan Teater Isi Yogyakarta, dan Panggung Mak Byarr di Ndalem Pugeran Brontokusuman.
FKY selalu penuh sesak oleh animo masyarakat, dalam satu hari mencapai ribuan pengunjung yang datang. Melalu pidato Pawai Pembukaan FKY-29 Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X berharap FKY dapat menjadi panggung hiburan rakyat, penyegaran dari hiruk-pikuk politik, serta mampu menjadi wahana penggerak masyarakat menuju peningkatan dimensi-dimensi nilai, termasuk dimensi teoritis, ekonomi, estetis, sosial, politik, dan keagamaan yang  merupakan nilai ketuhanan yang berkebudayaan. (Adhisti)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017

Sunday, January 27, 2019

Yogyakarta Gamelan Festival : Gamelan Signal to Outer Space


Gamelan is a spirit, not an object.
Instrumen is just the medium.
Itulah petikan kalimat yang mendasari terciptanya Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), sebagai ajang apresiasi pertumbuhan instrumen gamelan yang semakin berkembang, baik bentuk maupun fungsinya. Bonang, Saron, Kendhang dibaurkan dengan gitar elektrik, bass, dan drum menjadi harmonisasi indah yang sedap didengar telinga. Pertunjukan yang meleburkan dua kebudayaan musik ini kembali dilaksanakan untuk yang ke-22 kalinya. Bertempat di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)UGM Yogyakarta pada Jumat(21/07) hingga Minggu (23/07), YGF merangkul berbagai pecinta dan pemain gamelan di seluruh dunia.
Foto: Adisti
Di area depan Gedunng PKKH UGM, ada sebuah stan dan panggung dengan spanduk bertuliskan Gathering Coner, yang merupakan ruang intim yang diinisiasi khusus untuk melengkapi gempita YGF. Tak hanya itu, ada pula Exhibition ‘MuniMuni’ di sudut kanan setelah memasuki gedung, yang memajang dan memperkenalkan gamelan-gamelan. Acara dimulai pukul 19.00 WIB, diawali permainan musikalisasi puisi di panggung ini, sebelum akhirnya menuju pertunjukan utama pukul 20.00 WIB hingga berakhir pukul 23.00 WIB.
Ada total 12 penampil yang menyemarakkan Yogyakarta Gamelan Festival tahun ini. Tak terkecuali peserta dari Perancis dan Australia, selain dari beberapa daerah di Indonesia, termasuk Yogyakarta sebagai tuan rumah. Mereka diantaranya adalah; David Kotlowy dan Sekar Laras (Australia), Balungan (Perancis), PBD UNY, Gamelan Heru Cakra SMP N 1 Bantul, Matareka, Lumbung Artema, dan lain sebagainya.
Antusiasme dan animo masyarakat terlihat ketika semakin malam, penonton justru semakin membludak. Banyak dari komunitas, mahasiswa, remaja, orang tua, anak-anak, bahkan wisatawan asing turut mengambil andil dalam meriahnya YGF tahun ini.
“Ini merupakan kali pertama saya menonton YGF setelah sekian tahun menetap di Yogyakarta. Ekspektasi awal, dikira hanya akan hanya musik gamelan biasa, tetapi diluar dari dugaan ternyata banyak perpaduan apik yang dimainkan disini,” kata Fika, mahasiswa UGM semester akhir asal Jakarta.
Yogyakarta Gamelan Festival ke 22 kali ini mengajak penonton untuk ‘keluar angkasa’ dengan perfromance “Gamelan Signal to Outer Space”, machine by ISS (Indonesia Space Science Society). Menurut Program Director YGF, Ari Wulu melalui tema ini diharapkan agar gamelan dapat meluar angkasa. Karena mendunia itu sudah biasa. Sedangkan luar angkasa disini dimaknai tidak ada batasnya, menunjukkan bahwa imajinasi juga jangan dibatasi. (Adhisti – Krise)


Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 2, 2017

Saturday, January 26, 2019

Perkuat Iman Melalui Novel: Bidadari Bermata Bening



Penulis            : Habiburahman El Shirazy
Tahun              : 2017
Penerbit           : Republika

Pesantren kanzul ulum yang berada di daerah magelang menjadi setting utama novel ini. Walau begitu, nanti di bab-bab selanjutnya setting akan berubah di daerah Purwodadi dan nanti juga ada setting di Bogor bahkan ada yang luar negeri.Disini kegiatan santri perempuan akan begitu terasa. Namun disini, sudut pandang bukan dari santri pada umumnya tetapi lebih dari itu yaitu santri yang merangkap menjadi khadimah (pembantu) pesantren. Konsep pesantren modern hanya saja di pesantren ini masih mengandalkan pelajaran kitab kuning. Istilah-istilah dalam kitab kuning sesekali muncul juga dalam novel ini.
Tokoh utama dalam novel ini bernama Ayna. Perempuan kuat yang selalu memegang teguh nilai-nilai Islam dalam dirinya. Banyak sekali penderitaan yang akan dilalui oleh perempuan ini. Pembaca juga disini akan banyak simpati dan merasakan apa yang tokoh utama rasakan. Saat sedih hati ikut sedih, saat gembira hati ikut gembira. Penggambaran perasaan yang dilukiskan benar-benar terasa.
Banyak sekali nilai-nilai yang terselip dalam novel ini, utamanya nilai-nilai Islam. Khas dengan novel-novel Habiburrahman, yang selalu akan mengajarkan nilai-nilai Islam yang jarang diajarkan di sekolah Islam. Selain itu, ternyata ada juga kritik sosial yang diselipkan di novel ini, misalnya sikap orang yang memiliki kelebihan harta terhadap orang yang memiliki kekurangan, penipuan terhadap orang-orang yang baru datang dari kampung, dan juga masalah umur dalam pernikahan. Tak hanya itu, disini juga ada kritik politik, tentang bagaimana orang politik bersikap angkuh dan menghalalkan segala cara.
Dibagian akhir novel ini banyak hal-hal yang tak terduga. Penulis terasa sengaja memberi detail kecil diawal supaya pembaca dibuat lupa dengan detail itu kemudian detail kecil itu diingatkan lagi dengan hal yang mengejutkan. Jadi jarang sekali detail kecil yang hanya tempelan, semuanya saling terhubung. Seperti yang sudah disebutkan di awal novel ini, novel ini selain bagus di penggambaran setting dan perasaan tokoh selain itu nilai-nilainya itu yang membuat hati ini jadi lebih tenang, jadi lebih kuat dalam menghadapi masalah, jadi lebih mengerti Islam secara mendalam. (Krise Lewi)

Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017

Friday, January 25, 2019

Desa Wisata Ngringinan : Tapak Tilas Sejarah Peninggalan Belanda


Bantul memendam sejuta pesona dan daya tarik, tak terkecuali desa-desa wisata yang berlomba menunjukan keunikan masing-masing. Desa Wisata Ngringinan, Palbapang, menawarkan keelokan Bantul dari sisi yang berbeda. Pengunjung akan diajak menapak tilas Bantul di masa penjajahan Belanda.
Foto: Istimewa
Ada Museum Bantul Masa Belanda yang  menyimpan banyak benda, foto, dan film dokumenter tentang beberapa peninggalan Belanda di akhir tahun 1800-an dan di awal tahun 1900-an di Bantul dan sekitarnya. Ada juga koleksi foto peresmian Candi Ganjuran, peresmian Gereja Ganjuran yang merupakan jejak Katolik Belanda pada tahun 1924, hingga koleksi benda peninggalan zaman kolonial seperti mata uang, surat, hingga pakaian. Tak lupa terdapat cagar budaya sumur peninggalan Belanda yang membuat perjalanan sejarah di sini semakin autentik.
Di dusun ini ada cagar budaya, yaitu sumur tua, peninggalan kolonial Belanda, yang terletak di RT 01. Dulu zaman Belanda untuk mengairi tanaman tebu. Kemudian airnya digunakan sebagai pengairan. Itu juga ada kolam di dekatnya itu juga berdekatan,” jelas Sarjiman, kepala Dusun Ngriginan, Palbapang, Bantul, Yogyakarta.
Seperti desa wisata pada umumnya, Dusun Ngringinan pun mewarkan hiruk-pikuk aktivitas di desa, seperti melihat pengolahan berbagai panganan khas dan kerajinan, berinterksi dalam bermacam-macam kegiatan pertanian, ikut menyemarakkan festival rakyat; ada bersih desa, majemukan, dan nyadran, hingga memanen tanaman jagung dan kedelai, dan lain sebagainya.
Salah satu yang menjadi magnet desa ini adalah wisata kulinernya, pengunjung bisa melihat proses pembuatan makanan oleh-oleh khas Bantul, madumongso di museum ini. Ada pula geplak, olahan dari pisang, dari mlinjo yang diolah sedemikian rupa dan berkhasiat mengurangi asam urat.Tamu-tamupun bisa ikut merasakan sensasi mengolah makanan tersebut sendiri.
Sebelum desa ini diresmikan sebagai desa wisata, kami sudah kerap dikunjungi sekolah-sekolah yang melakukan study tour, dari Jakarta dan beberapa kota lain, untuk belajar dinamika hidup di desa, mereka belajar tentang memasak di Dusun Ngringinan, jadi desa wisata itu sebenarnya berawal dari sini,” ungkap Sarjiman. “Harus diakui kami masih dalam proses untuk menyempurnakan desa ini menjadi desa wisata. Kami terus berbenah. Kedepannya, Dusun Ngringinan diharapkan dapat bekerja sama dengan pedukuhan-pedukuhan lain di sekitar yang juga memiliki cagar budaya. Kami ingin menggali lebih dalam potensi sejarah dan budaya yang ada untuk dijadikan wisata sekaligus pembelajaran bagi masyarakat.” (Adhisti - Elisa)
Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Thursday, January 24, 2019

KAMPUNG BUKU JOGJA #3 : Mempertemukan Pengagum Buku Lawasan


Kampung Buku Jogja pada tahun ketiganya ini kembali dihelat di Taman Kearifan Lembah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Melihat animo yang begitu melimpah dari pengunjung, kegiatan yang pada tahun-tahun sebelumnya dilakukan selama tiga hari kini diperpanjang selama lima hari pada tanggal 4 – 8 Oktober 2017.
Foto: Elisa
Para penjaja buku terdiri dari 20 individu dan 55 penerbit indie maupun 14 reguler. Para anggota tersebut bebas menggelar koleksi buku-buku mereka. Dari segi layout stand juga dibebaskan menghadap ke mana saja. Tahun ini, Kampung buku tampil outdoor, berlatar taman yang rindang, Kampung Buku Jogja sekali lagi memberikan sebuah ruang dan waktu bertemunya buku dan dirimu. Tidak seperti pameran buku pada umumnya yang standnya disekat-sekat.
Melihat banyaknya pekerja dan pelaku buku yang berseliweran, namun tak memiliki cukup ruang pameran yang dapat memenuhi keinginan mereka. Arif Adbdulrakhim, Adhe, Irwan Bajang, dan Eka Wijaya, selaku para koordinator acara, mencetuskan untuk membuat sebuah wadah ekshibisi buku tematik yang dapat mempertemukan buku dan para pengagumnya.
“Kami berpikir untuk membuat acara perbukuan yang sangat Jogja, itulah kenapa kami membuat Kampong Buku Jogja. Tempat di mana para penikmat dan para pelaku buku untuk berkumpul,” ungkap Eka Wijaya atau Eka Pocer (Pojok Cerpen).
Dibuka pada pukul 10.00 WIB hingga 21.00 WIB, Kampung Buku Jogja menghadirkan sekelumit pengisi acara dari kalangan penggiat buku dan literasi seperti Seno Gumira Ajidarma, Romo Sindhunata, Max Lane, Landung Simatupang, dan lain sebagainya. Hiburan musik pun tak lepas menyemarakkan acara ini.
Pagelaran tahunan ini akan tetap dimeriahkan buku-buku lawas, antik dan langka dengan berbagai macam genre yang jadi keunikan Kampung Buku Jogja setiap tahunnya. Semua buku-buku terlebih dahulu disaring untuk menentukan buku apa saja yang paling layak dan berkarakter untuk publik.Puluhan lapak lawas akan turut memamerkan koleksi-koleksi mereka dan jadi ajang bagi pembuku buku-buku langka yang tentu sudah sangat susah didapatkan.
“Acara ini diharapkan dapat menjadi tempat melepas rindu para penyuka buku atas buku-buku berkualitas yang selama ini tidak cukup tersedia di jaringan toko buku. Semoga kedepannya lebih baik, lebih besar dan melibatkan banyak pihak. Dan benar-benar dapat terselenggara di kampung,” ucap Eka mengakhiri. (Adhisti, Elisa)

Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Wednesday, January 23, 2019

Pitutur Kopi : Menyeduh Kopi dan Ruang Apresiasi


Melintasi Jalan Bausasran,ada sebuahpapan reklame yang menarik minat; Pitutur Coffee Shop, pastilah terlintas dalam benak tempat menyeduh kopi yang ditemani oleh buku-buku dan literasi. Menengok ke dalam, tergambar sebuah pekarangan rumah dengan kursi-kursi dan meja yang berjejer rapi, dihiasi dengan deretan tanaman hias dan belasan pot gantung sirih Belanda menjulur cantik di kanopi.
Foto: Adhisty
Terletak di Jl. Bausasran nomor 60 Pakualaman, Purwokinanti, Yogyakarta, Pitutur Kopi menyajikan kopi single origin dengan berbagai macam pilihan seperti Blue Bianca, Gunung Halu, Malabar, dan Curio. Kedai kopi yang berdiri sejak September 2016 ini beroperasi dari pukul 12.00 WIB - 22.00 WIB, kecuali di hari Minggu yang dimulai pukul 14.00 WIB.
Memasuki kedai, adalah sebuah keharusan untuk bertelanjang kaki. Wadah alas kaki disertai plakat kayu himbauannya tampak bergeming di depan pintu.Kursi-kursi kayu dan sofa empuk berwarna hijau menanti di dalam ruangan.Memberikan atmosfer yanghomey adalah kekhasan yang ingin ditonjolkan kadai ini.
Tidak hanya menawarkan kopi berkualitas, Pitutur Kopi menghadirkan ruang ajang apresiasi untuk buku, seni rupa, musik, serta film. Deretan buku-buku sastra, budaya, psikologi, grafis, musik, dan design memenuhi dua rak kayu yang menempel di sisi dinding timur dan barat.Sisi lain dinding dipamerkan aneka seni rupa yang diganti secara berkala setiap sebulan sekali dalam kegiatan Seruang Rupa (Serupa).
Bentuk apreasiasi musik dilakukan melalui aktivitas yang bernama Coffee Cantata, yang merupakan kegiatan bulanan dengan menampilkan pertunjukkan musik dari pemain cello, gitar, violin, dan lain sebagainya di kedai ini. Di waktu-waktu tertentu pula dilakukan pemutaran film tematik dengan mendatangkan pembicara ahli.
Ponco Kusumo, pemiliki kedai kopi ini menuturkan bahwa Pitutur tercipta karena kegemaran ngopi dan membacanya. “Saya sebenarnya ingin membuat rental buku, tapi karena koleksi belum banyak, buku-buku ini hanya terbatas untuk dibaca di tempat,” ungkapnya sambil tertawa ringan. “Setiap bulannya, kami berusaha menambahkan sekitar lima buku baru untuk sudut ruang baca ini. Saya ingin kafe ini bisa menjadi tempat di mana orang-orang dapat bersantai, membaca, dan ngopi seperti di rumah sendiri,” tandasnya. (Adhisti)
Dipublikasikan Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Tuesday, January 22, 2019

Taman Bunga Amarilis Patuk : Suguhkan Pesona Kesejukan Mata


Taman bunga Amarilis merupakan suatu tempat wisata dadakan milik pribadi yang mampu menarik perhatian warga Yogyakarta ataupun luar Kota.  Kebun bunga ini terletak di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul. Kebun bunga Amarilis mulai populer dimedia sosial sejak 2015 lalu. Para pengunjung yang berdatangan mulai terhipnotis dengan warna oranye yang bermekaran sangat indah. Tak heran jika taman ini selalu ramai akan pengunjung yang ingin mengabadikan foto bersama bunga yang hanya mekar setahun sekali ketika musim hujan tiba.
       
Foto: Dhea
    
Taman bunga Amarilis tersebut memiliki luas sekitar 2 hektar lebih, bermula dari sebuah keisengan pemilik kebun ( Pak Sukadi) untuk membudidayakan bunga tersebut yang awalnya tumbuh liar di sekitar desanya kini menjadi salah satu tempat wisata yang seakan-akan dinantikan oleh masyarakat. Ia juga berinisiatif untuk menjual bibit bunga itu, berhubung bibit-bibit tanaman itu laris terjual maka ia kembali megembangkan ide kreatifnya untuk mengenalkan kepada publik dengan cara membuka wisata  visit home.
Untuk menikmati wisata kebun bunga Amarilis tersebut tidak terlalu mahal, yaitu dikenakan biaya sebesar Rp.5000,00 setiap pengunjung. Hal yang perlu diperhatikan saat mengunjungi kebun bunga ini ialah pengunjung diharapkan untuk tidak memetik bunga dan tidak menginjak bunga tersebut agar keindahannya tetap terjaga.
            “ Kalau untuk bunganya itu sudah mulai mekar sekitar awal oktober, akan tetapi akan mekar sempurna setelah satu minggu setelah itu. Kami juga melakukan berbagai cara agar pengunjung bersikap tertib dan tidak membuat kerusakan seperti tahun sebelumnya. Dengan cara menempel tulisan larangan untuk tidak memetik dan menginjak bunga itu. Pengunjungnya yang berdatangan dari berbagai kalangan akan tetapi yang mendominasi kaum muda. Biaya yang kami peroleh akan kami manfaatkan untuk memperbaiki tempat wisata ini, misalkan untuk membeli pupuk tanaman ataupaun untuk memperbaiki jalan supaya ketika licin tidak ada yang jatuh. Sehingga para pengunjung masih bisa menikmati liburan mereka walaupun sedang hujan,” Ungkap Sukadi (46) selaku pemilik kebun.
            “Kebun bunga amarilis ini sangat cocok untuk mengisi liburan dihari minggu seperti ini. Dengan tiket yang terjangkau kita sudah bisa menikmati keindahan seperti berada di Belanda. Alasan berkunjung kesini hanya untuk melepas penat dan sekedar ingin berfoto, karena bunga amarilis hanya mekar sekali dalam setahun maka wajib diabadikan,” Jelas Fitri (20) salah satu pengunjung saat ditemui beberapa waktu yang lalu. (Dhea Annisa)


Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 4, 2017

Monday, January 21, 2019

Persahabatan Ben dan Jody (Masih) Berlanjut di Filosofi Kopi 2


Masih setia pada usaha warung kopi yang dibangun bersama. Ben dan Jody meneruskan perjalanannya menjual kopinya ke seluruh daerah Indonesia. Berbekal kombi kuning ciri khas Filosofi Kopi, mereka berdua menjajakan kopi bersamAa mengelilingi Indonesia.
Foto: Istimewa
Sayangnya keseruan mereka harus segera berakhir karena beberapa stafnya mengajukan resign dengan alasan pribadi. Akhirnya mau tidak mau, Ben dan Jodi harus kembali survive menjajakan kopinya tanpa ketiga partner mereka.
Akhirnya Ben dan Jodi memutuskan untuk kembali membuka kedai di Jakarta.  Sayangnya untuk mendapatkan partner bartender yang sesuai, Ben memiliki kualifikasi yang tinggi. Perdebatan antara Ben dan Jodi pun lagi-lagi tidak bisa dihindari. Hingga  muncul tokoh Nadine dan Tarra yang semakin membuat alur cerita Film Filosofi Kopi 2 semakin menarik.
Lika-liku perjalanan Brie (Nadine Alexander), barista handal yang meyakinkan Ben dalam teknik meracik kopi dan kehadiran Tarra (Luna Maya) seorang investor yang ternyata merupakan anak dari pengusaha kelapa sawit menambah konflik di dalam Film Filosofi Kopi 2 menjadi lebih menarik.
Awalnya penulis kira, alur cerita pada filosofi kopi 2 tetap memprioritaskan kisah persahabatan antara Ben dan Jodi. Ternyata salah. Muatan cerita Filosofi Kopi  justru menghadirkan kisah cinta segi empat yang lebih komplek dan emosional. Film yang masih disutradarai Angga Dwimas Sasongko ini pun akan menampilkan unsur drama yang lebih kental dibanding film pertamanya
Meski begitu, Filosofi Kopi 2 akan mengajak kita untuk mengeksplore keindahan 5 kota di Indonesia, yakni  Jakarta, Bali, Yogyakarta, Makassar, dan Toraja. Ditambah Filosofi Kopi 2 juga turut menampilkan sinematograf yang apik. Tentunya ini akan membawa penonton lebih terhibur dengan adegan yang disajikan. 
Kekuatan film juga terasa pada chemistry Ben dan Jody, tidak diragukan lagi Chicco Jerikho dan Rio Dewanto tak mengalami kesulitan beradu akting karena sudah bermain di film pertama ditambah  keseharian mereka mengurus kedai Filosofi Kopi bersama. Luna Maya dan Nadine Alexandra pun cukup berhasil menjadi  pelengkap di film ini.
Secara keseluruhan, film ini layak ditonton bagi kalian yang menyukai kisah drama klasik dengan dialog penuh makna. Terasa lebih universal, rasanya film ini bisa disaksikan dari berbagai kalangan. (Intan)
Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017

Sunday, January 20, 2019

Perpaduan Filosofi Musik dan Matematika


Penulis             : Fahd Pahdepie
Tahun              : 2017
Penerbit           : Falcon Publishing

Sebuah kisah karya Fahd Pahdepie yang menceritakan tentang Angan Senja yang selalu berharap kepada Senyum Pagi, begitu juga sebaliknya.Angan Senja dan Senyum Pagi merupakan nama orang yang menajdi tokoh utama novel ini. Mereka pertama kali bertemu pada tahun 1997 saat keduanya masih berseragam putih abu-abu. Saat itu Senyum Pagi sudah duduk di kelas 3 IPS, sedangkan Angan Senja baru duduk di kelas 1 IPA. Perjumpaan mereka terbilang unik, mereka bertemu ketika sama-sama sedang membolos, dan akhirnya menjadikan celah ruang tempat pertemuan tersebut sebagai ‘gua persembunyian’ mereka berdua.

Dua hati yang begitu saling mengisi dalam kehidupan sehari-hari. Namun nyatanya, garis waktu berkata lain. Cerita masa indah mereka selama SMA yang penuh dengan canda tawa dan menuai bahagia, suka duka  yang mereka lalui bersama, segala kenangan indah yang terukir di masa SMA tak berujung pada  akhir yang bahagia. Bahkan saat perpisahan pun mereka tak saling mengerti  tentang perasaan mereka satu sama lain.Mereka hanya mengharapkan kepada garis  waktu, dan garis waktu pun berkata lain, mereka tetap menjadi sebuah Angan Senja dan Senyum Pagi. Angan-angan senja yang kian meredup cahayanya yang selalu tentang  indahnya senyum pagi.
Waktu kembali mempertemukan mereka, namun dengan keadaan yang begitu sulit. Senyum Pagi telah menemukan sosok Hari, dan lagi-lagi, Angan Senja hanya selalu berangan-angan. Saat itu, Angan sudah menjadi seorang yang sukses dengan pekerjaannya dan berada di usia yang matang untuk menikah. Sedangkan, Pagi telah memiliki seorang anak yang bernama Embun Fajar. Keduanya kembali bertemu karena keterlibatan Embun di konsernya Pak Jaret yang bertema Mathematical concert : A Journey to Infinity. Tentu saja, ternyata benih-benih perasaan itu masih tetap ada, tetapi keduanya telah memiliki jalan hidup masing-masing. Saat ini, Pagi sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Hari yang berprofesi sebagai pengacara, sedangkan Angan sedang gamang dengan surat wasiat yang ditinggalkan oleh ibunya. Angan masih berharap dengan Pagi, tetapi disisi lain Angan memiliki surat wasiat yang tidak bisa Ia acuhkan begitu saja. Setidaknya Angan ingin menjelaskan semuanya kepada Pagi.
Novel ini mengisahkan kisah cinta yang belum sempat terucap di masa lalu, kemudian menuntut untuk dapat diselesaikan di masa kini agar tidak terus menerus menjadi mimpi buruk dan penyesalan di masa mendatang. Sekilas mungkin terdengar biasa saja dan sudah sering mendapatkan tema cerita seperti ini. Namun,Fahd Pahdepie mengemas kisah ini menjadi sesuatu yang memiliki banyak kejutan-kejutan disepanjang perjalanan cerita yang sayang untuk dilewatkan. Selain itu, novel ini cukup menarik karena menggabungkan filosofi antara matematika dengan musik, dua hal yang sangat bertolak belakang. Namun, Fahd Pahdepie mampu menggabungkan dua unsur tersebut. Seolah-olah, kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat indah jika digabungkan dalam satu pelaksanaan. Walau nyatanya, matematika merupakan sesuatu yang sulit untuk disenangi oleh anak SMA, tetapi dengan gaya bahasanya yang khas, ia seolah-olah menggambarkan kisah cinta yang puitis yang terjadi diantara Angan Senja dan Senyum Pagi. (Krise Lewi Talenta)


Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 1, 2017

Saturday, January 19, 2019

Spot Foto Dadakan di Utara Pantai Samas : Taman Bunga Matahari


Yogyakarta, kota dengan penuh kejutan yang tak ada habisnya. Masih ingatkah dengan kisah singkat bunga amarilis di Pathuk Gunungkidul dan Bunga Enceng Gondok di Palbapang dua tahun lalu? Ternyata kini muncul taman wisata dadakan yang menjadi spot foto menarik yakni berupa kebun bunga mataharidi dekat pantai Samas Bantul. Tepatnya di sisi utara Pantai Samas, di Dusun Tegalsari, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul, di kebun milik Keluarga Rujianto terdapat kebun cabai yang dikelilingi tanaman bunga matahari.
Foto: Krise
“Awalnya, bunga matahari ini Cuma buat pelindung biar tanaman cabainya tidak ambruk karna angin laut,” ujar Etik Purwanti, pemilik kebun.
Di lahan seluas sekitar 1000 meter persegi bunga matahari tumbuh subur. Terlebih lagi dibulan ini bunga matahari sedang mekar dan merekah sempurna. Sehingga tak heran jika kemudian banyak orang yang mengunjungi tempat ini sekedar untuk berfoto selfie di tengah hamparan bunga matahari.
Etik mengaku ketika bunga matahari belum mekar tidak ada seorangpun yang datang ke kebunnya selain pekerja yang merawat kebun. Namun, ketika bunga sudah bermekaran, kebun yang memang bersebelahan dengan JLS (jalur lintas selatan) ini mulai didatangi orang yang melintas dan sengaja mampir untuk mengisi foto di media sosial mereka.  Tak berselang lama, kebunnya ini sudah jadi terkenal akibat foto-foto yang beredar ini.
“Sempat viral di instagram si kebun bunga matahari ini. Selain penasaran, unik juga, jadi ingin segera berkunjung untuk mengabadikannya, takutnya keburu rusak seperti kebun bunga amarilis di Gunung Kidul dulu,” kata Bambang, pengunjung yang mengaku seorang youtuber ini.
Menurut Etik sendiri sudah sekitar seribu pengunjung yang berkunjung ke kebunnya tersebut.Pengunjung mulai dari anak muda hingga dewasa berkunjung ke kebun. Untuk menikmati keindahan kebun bunga matahari ini dikenakan tiket masuk sebesar 5000 rupiah dan 10000 rupiah bila ingin membawa pulang setangkai bunga matahari.Murah bukan? (Krise Lewi Talenta)

Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 4, 2017

Friday, January 18, 2019

Anak Jalanan


Pernakah terlintas dipikiran kita
Lebih hebat manakah kita dengan anak jalanan
Foto: Elisa

Apakah kita yang lebih hebat ?
Sederhana kok
Hanya mengajarkan mereka baca tulis hitung
Dapat  memberikan seyuman kepada mereka
Disela kerasnya dunia mereka
Yang ada di benak mereka mungkin benar
Tolong kami, bukan caci maki hina dan ejek kami
Janganlah pandang sebelah mata
Walaupun banyak perbedaan
Yang terpenting bersatu dalam keadaan dan kondisi
Jadi, hargai mereka
Kita bersaudara
Derita mereka derita kita juga
(Aura Nilam S)

Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 2, 2017

Thursday, January 17, 2019

KAMPUNG DOLANAN PANDES : Lestarikan Mainan Tradisional, Menentang Arus Zaman


Masih ingatkah kalian dengan angkrek, othok-othok, wayang kertas, payung, kitiran, atau klontongan? Pernahkah kalian memainkannya? Permainan tradisional anak, salah satu kearifan lokal bangsa dan media pembelajaran ini semakin ditelan gerak zaman. Keresahan akan memudarnya mainan tradisional membuat warga Desa Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berupaya memperkenalkan dan melestarikan kembali dolanan di hati anak-anak Indonesia.
Foto; Elisa
Inisiasi Kampung Dolanan lahir dari sejumlah warga di Dusun Pandes setelah tragedi Gempa pada tahun 2006. Tujuan utamanya adalah membantu mengobati kesedihan anak-anak akibat gempa, warga pun menghidupkan kembali Desa Pandes yang di masa lalu pernah menjadi sentral pembuatan dan produksi mainan tradisional di DIY. Dikukuhkan sebagai Kampung Dolanan, Dusun Pandes mengobati kerinduan dan memori akan mainan zaman dulu dengan mengemasnya dalam kegiatan wisata yang mengasyikkan.
Memasuki kawasan Kampung Dolanan, patung-patung jerami yang mengenakan pakaian tradisional telah siap menyapa, tak ketinggalan patung yang terbuat dari anyaman bambu menyambut. Menapaki area lebih jauh, pengunjung akan diajak untuk melihat bahkan ikut membuat dolanan anak sembari bernostalgia. Para simbah-simbah masih sangat lihai dalam merakit mainan tradisional. Kampung Dolanan juga memiliki kawasan outbond dan track yang menyenangkan, kolam lele, sawah, dan tempat bermain gamelan lengkap dengan guru seni.
“Walau zaman modern, tapi mainan-mainan tradisional seperti othok-othok masih banyak dicari, biasanya dipesan dalam jumlah banyak untuk acara-acara tertentu,” ujar Wahyudi, salah satu penggagas komunitas Pojok Budaya di Kampung Dolanan, komunitas yang membantu operasional produksi mainan tradisional dan kepengurusan Kampung Dolanan. “Tiap permainan memiliki multiple intelligent (kecerdasan majemuk) yang terdiri atas kecerdasan irama, kinestetis dan rasa, atau dalam bahasa Jawa disebut wiromo, wirogo, dan wiroso. Untuk itu Kampung Dolanan ada,”tambahnya.
Semangat para lansia atau simbah-simbah di Kampung Dolanan patut diapresiasi, karena hampir tiap hari mereka menghasilkan puluhan dolanan anak untuk dijual. Meski begitu, produksi dolanan di Desa Pandes tidak semata-mata menjadi mata pencaharian atau penghasilan tambahan bagi para sesepuh. Meski secara fisik mainan adalah sebuah benda mati, tiap dolanan yang diciptakan merepresentasikan ribuan makna yang ingin disampaikan, terutama nilai-nilai luhur. (Adhisti)


Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017

Wednesday, January 16, 2019

Gubuk Coklat Merapi : Sensasi Menikmati Coklat Langsung Dari Kebunnya


Selalu ada yang baru dari Merapi. Selain eksplorasi tempat wisata, kulier daerah bagian utara kota Yogyakarta ini juga patut diperhitungkan.  Selain jadah tempe ataupun sate kelinci, tak ada salahnya untuk mencicip minuman dan makana coklat yang khas ala Gubuk Coklat Merapi.
Foto: Intan
Mengambil tema coklat, Gubuk Coklat Merapi cukup menarik perhatian wisatawan yang akan berkunjung ke Museum Merapi dan sekitarnya. Tepatnya di Dusun Tanen RT 01 RW 25, Hargobinangun, Sleman, Gubuk Coklat Merapi menawarkan suasana dan menu makanan yang cukup menggoyang lidah. Seperti namanya, Gubuk Coklat Merapi menawarkan minuman coklat utamanya. Tempatnya memang agak jauh dari keramaian, namun ini yang membuat Gubuk Coklat Merapi tampak unik dan menarik. Kira-kira sekitar 100 meter dari Museum Merapi. Tapi tenang saja, akan banyak petunjuk jalan yang mengarahkan kamu sampai tempat ini.
Tidak seperti tempat makan atau cafe coklat biasanya, Gubuk Coklat Merapi menawarkan suasana berbeda dengan pemandangan pekarangan coklat asli. Jadi, kamu bisa langsung melihat buah coklat yang masih bergelantungan di pohon. Ditambah lokasinya yang dirancang sealami mungkin, dimana pengunjung bisa duduk di bawah pohon coklat. Namun juga disediakan gubuk-gubuk kecil yang langsung berhadapan dengan pohon coklat. 
Apalagi didukung dengan udara segar khas pegunungan. Nah bagi kamu yang ingin menikmati hangatnya coklat dan segarnya udara pegunungan, wajib banget untuk mampir ke sini. Ditambah dengan menu makanan yang cukup rekomended untuk dicoba. Selain rasanya yang oke, kamu juga bisa mengamati bijih-bijih coklat yang sudah dikeringkan. Pengelola Gubuk Coklat Merapi pun tidak segan untuk menceritakan bagaimana cara pengolahan coklat. Disana akan terasa sekali atmosfir keramah tamahan warga sekitar yang semakin membuat betah untuk berlama-lama di Gubuk Coklat Merapi.
Soal harga tak perlu cemas. Cukup membawa uang Rp 20.000 kamu sudah bisa menikmati segelas coklat hangat dan aneka cemilan di sana. Nikmatnya coklat hangat hanya dibandrol dengan harga Rp 9000. Selain itu, kamu juga bisa menikmati jajanan tradisional s eperti geblek ataupun ketan yang hanya dijual dengan harga Rp 3000-an saja.
Jadi buat kamu yang ada rencana piknik ke Museum Merapi atau Grand Castle yang lagi hitz itu, mampir deh ke Gubuk Coklat Merapi. Sambil bersantai barangkali kamu bisa menemukan inspirasi. (Novia Intan)
 Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 3, 2017

Tuesday, January 15, 2019

Jilbab Ku Mahkota Ku


Aku tak sekokoh seperti iman Aisyah..
Aku tak setegar dan sesabar Maryam..
Aku tak sekaya hati Khatidjah...
Aku tak secantik putri Fatimah..
            Akan tetapi aku terus belajar dan ikhtiar..
            Belajar untuk memperbaiki pribadi dan tingkah laku ku..
            Aku hanyalah perempuan hina dan menjijikan..
            Kuingin dapat seperti mereka, tapi aku tak pantas untuk hal itu..
Aku hanyalah seperti bebatuan kecil yang tak berguana.
Sedangkan mereka adalah bongkahan-bongkahan mutiara yang berharga..
Aku hanya berusaha untuk menutupi rambut dan aurat ku..
Karena jilbabku adalah mahkotaku..
            Aku berusaha untuk menekuni dan mengikuti jejak mereka..
            Bagiku jilbab adalah pelindung dan penyelamatku..
            Penyelamat dari terkaman syahwat para lelaki..
            Kuulurkan jilbabku hingga menutupi benda berhargaku..
( Dhea Annisa)

Dipublikasi Tabloid BIAS, Edisi 2, 2017