Tuesday, February 28, 2017

Dilema Pelajar Jogja Kuliah Di Luar Negeri atau Di Negeri Sendiri

Menimba ilmu di luar negeri saat ini menjadi harapan dan cita-cita bagi sebagian remaja. Namun tak sedikit dari mereka yang masih khawatir tidak bisa mewujudkan harapan mereka dan terpaksa melepaskan impian mereka. Memiliki otak jenius dan kaya begitulah yang mereka fikirkan untuk bisa melanjutkan kuliah maupun sekolah ke luar negeri. Tak hanya itu saja untuk bisa menimba ilmu di negeri orang maka kita harus bisa menguasai bahasa negara yang kita tinggali. Selain itu mental dan dukungan dari pihak keluarga juga akan begitu berpengaruh. Alasan inilah yang dirasakan oleh Nisa, dari SMK Kesehatan Bantul.
Aini, SMKN 7 Yogyakarta berpendapat lain. menurutnya, ada berbagai cara bisa melanjutkan kuliah keluar negeri. Menurutnya, yang sekolah ke Luar Negeri tidak hanya anak jenius dan orang kaya. Pendapat ini senada dengan Muhammad Ardiansyah, dari SMKN 1 Sewon. Menurut pemuda yang duduk di kelas XII ini pun memaparkan bahwa masih banyak cara dan alternatif tetap bisa belajar ke luar negeri dengan beasiswa.
Tekad besar bisa kuliah di Luar Negeri juga dirasakan oleh Reza Nugraha, dari SMKN 2 Yogyakarta. Siswa yang juga masih duduk di kelas XII bertekad akan mencari beasiswa, ingin kuliah ke Australia, bidang mikrobiologi. Jika beasiswa gagal, Ia ingin membayar secara mandiri. Jika tidak ada kesempatan untuk mendapat beasiswa, di sana Ia berencana bekerja sampingan. [Baca Perilaku Pelajar dan Mahasiswa Jaman Sekarang]
 “Kalau aku pribadi, jika mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri, Aku ingin ke negeri Kincir Angin. Karena di negara tersebut dikenal disiplin dan berkualitas,” ungkap Ardiansyah. Berbeda dengan Aini, Ia justru ingin dan bangga kuliah di negeri Sendiri.
 “Kalau kita sudah niat dan mau bekerja keras, pasti bisa seperti mereka. Kalau aku pribadi sih untuk saat ini belum ada keingginan untuk menuntut ilmu ke luar negeri, karena ingin mengabdi di negeri sendiri. Lagi pula di Indonesia banyak kampus-kampus berkualitas, jadi buat apa harus kuliah diluar negeri,terang Aini.
Menempa ilmu ke Negeri orang tidaklah mudah. Itulah yang ditangkap leh Adelia, siswa kelas XII SMKN 1 Sewon Bantul. Menurutnya, selain menguasai bahasa asing, juga menyesuaikan diri dengan budaya sana. Adapun kendala yang Adelia perihal urusan finansial dan biaya hidup selama di sana. Karena tidak semua beasiswa memberikan uang biaya hidup selama di sana. Sebab itulah, Ia juga lebih memilih kuliah di Negeri sendiri. [Baca tentang Kuliah Perlu Kejelasan Tujuan]

“Kalo aku cukup kuliah di Indonesia, karena di sini banyak kampus, Profesor dan Dosen yang terdidik dan berkualitas,” tegasnya. Dan apapun pilihannya, semoga kita semua menuntut ilmu karena kesadaran dan keiklasan untuk belajar, bukan untuk gengsi, karena paksaan orangtua dan bukan karena mencari pujian. (Dhea, Elisa)  

Wednesday, February 22, 2017

SMAN 2 Wonosari : Sebagai Sekolah Adiwiyata Mandiri dan Sekolah Sehat

SMAN 2 Wonosari sebagai sekolah adiwiyata mandiri Nasional tahun 2009, dari Menteri pendidikan dan menteri lingkungan hidup. Sebagai sekolah sehat dan sekolah adiwiyata pihak sekolah mulai membiasakan keluarga besar SMAN 2 Wonosari peduli terhadap lingkungan. Budhie Mulya, selaku Kepala Sekolah membenarkan hal tersebut.
foto : Elisa
Saat ditemui di ruangan kepala sekolah, Pak Budhie menuturkan bahwa prestasi sebagai adiwiyata harus ingin terus dipertahankan. Hingga tahun ini, sekolah yang memiliki 3 program studi menjadi sekolah percontohan Nasional. Sebagai sekolah untuk studi banding dari seklah-sekolah luar Jogja, seperti Tangerang, Bandung dan Palembang.
Kesadaran akan lingkungan seluruh warga SMAN 2 Wonosari begitu besar. Tidak hanya guru, melainkan seluruh siswa sadar betul menjaga lingkungan tetap bersih. Di kantin sekolah, tidak ada penjual jajanan yang menggunakan sedotan plastik atau kantong plastik. “Jadi kalo minum harus minum di kantin pakai gelas, sedangkan makan pakai piring. Piring dan gelas bisa dicuci, dan bisa digunakan lagi, sehingga mampu menekan sampah plastik,” papar Pak Budhie.
Bukan berarti sekolah ini steril dari plastik. Dengan raut muka khawatir, Pak Budhie pun kembali menuturkan bahwa pihak sekolah tidak bisa menghindari plastik 100%. Pasalnya, jenis makanan dan minuman olahan dari pabriklah yang sulit dicegah. Sehinga, teruntuk makanan dan minuman olahan pabrikan di tolerir. Dengan catatan, sebisa mungkin meminimalisir sampah plastik dengan membuang sampah pada tempatnya, sesuai dengan klasifikasi sampah.
Sebagai sekolah yang ramah lingkungan, SMAN 2 Wonosari memiliki alat komposer. Alat khusus mengolah sampah daun untuk kompos, menanam tanaman. Memang, di halaman tengah sekolah banyak tanaman, menambah kesejukan.
Sekolah bersih, belajar pun berfikir jernih. Itulah yang ingin diupayakan dari SMAN 2 Wonosari. Ketika memasuki lobi, tidak ada satupun secuil sampah, semua tertata rapi dan bersih. Ketika di tanya, pak Budhi menjelaskan bahwa kebersihan yang ada di sekolah ini karena kesadaran semua siswa SMAN 1 Wonosari. Sejak awal, siswa baru ditanamkan kesadaran lingkungan dan kebersihan sekolah. Sekolah yang berusia 38 tahun ini tidak memanfaatkan klining service sama sekali.
“Sekolah sehat dan sekolah adiwiyata mandiri nasional, tidak berorientasi pada hasil. Tapi lebih pada perilaku daripada sekolah. Kalo sekolah mau bersih dan sehat, bisa saja saya menyuruh dibersihkan oleh klining service. Adiwiyata tidak seperti itu,” jelasnya. Ia pun menjelaskan pentingnya dan ingin menyampaikan bagaimana menumbuhkan kesadaran diri, yang menekankan pada proses. Bahwa kebersihan yang melibatkan seluruh warga sekolah.

Upaya membentuk kesadaran diri memakan waktu lama dan melibatkan semua guru dan karyawan sekolah. Mereka memberikan keteladan, bukan melulu dari berceramah untuk ini dan itu, dan menegur. Tetapi, semua guru dan karyawan mennjadi model. Saat di tanya, hal terberat sebagai sekolah Adiwayata dan sekolah sehat, menurut pak Budhie adalah, mempertahankan prestasi yang sudah diraih. Harapan untuk lulusan SMAN 2 Wonosari yang sudah bekerja, dimanapun bekerja, selalu menjunjung tinggi integritas dan jujur. Kejujuran harus dibententuk melalui kerjasama. Baik itu kerjasama selama di dunia sekolah, di rumah. “Harapan terakhir, warga sekolah masuk surga,” tutupnya sambil tersenyum senang. (Elisa, Intan)

Tuesday, February 21, 2017

Fenomena Saat Terjadi Gerhana Matahari

Fenomena Gerhana Matahari (GM) pada 09 Maret 2016 Merupakan fenomena langka yang hanya terjadi 33 tahun sekali. Seperti yang dirasakan oleh Gita Tarakanita, siswi dari SMK Kesehatan Sadewa merasa takjub, pertamakali melihat Gerhana Matahari seumur hidupnya. “Walaupun di Jogja tidak mengalami GM Total, tapi tetap keren,” imbuhnya takjub.
Foto : Zayid
Perihal Gerhana Matahari yang terjadi, Gita lebih percaya bahwa terjadinya proses gerhana matahari disebabkan oleh penjelasan Ilmiah. Ia kurang setuju dan tidak percaya perihal mitos dan hal gaib dan tidak ada bukti secara alamiah saat terjadinya gerhana matahari. Meskipun demikian, Gita tetap menghargai mereka yang perndapat non ilmiah “Bagaimanapun juga, kita harus menjaga dan melestarikan budaya dan peninggalan nenek moyang kita lewat mitos-mitos yang ada. Soal kepercayaan adalah hak mereka, jadi kita harus bisa menghargai juga,” paparnya.
Berbeda dengan Aska Firda Tausiyah, siswa MAN 1 Wonosari, saat terjadi Gerhana Matahari, ia memilih menikmatinya di Geo Forest turunan,Imogiri. Hal menarik bagi Aska yang berhasil ia amati ketika Gerhana Matahari di Imogiri. Ia mengamati masyarakat daerah Imogiri masih ada beberapa masyarakat yang memukul kentongan ataupun alat tradisional yang masih dipercaya supaya mengusir roh-roh jahat. Hal ini juga diiyakan oleh Muhhamad Yafi, Siswa dari SMK Muhamadiyah 2 Imogiri.
Menurut pemaparan Yafi, beberapa masyarakat Imogiri masih ada yang mempercayai dengan memukul kentongan supaya matahari tidak dimakan oleh makhluk halus atau roh jahan. Meskipun demikian, Yafi sebagai orang yang mempercayai adannya Tuhan YME dia lebih mempercayai penjelasan secara Ilmiah, dan tidak menimbulkan kesyirikan.   

Fenomena saat terjadi Gerhana Matahari sebagian warga Imogiri memukul kentongan. Berbeda yang terjadi di PASTY, beberapa mahasiswa dan dokter hewan mengamati tingkah dan sikap hewan yang ada di sana ketika terjadi matahari. Lain tempat, lain lagi. Di Tugu Yogyakarta, sebagian melakukan sholat Gerhana Matahari. Sedangkan di tempat tinggal penulis, juga dilakukan sholat Gerhana disetiap mushola dan masjid secara serentak.  (Elisa, Dhea)

Monday, February 20, 2017

Peran Pelajar Menyikapi Plastik Berbayar

Setiap hari kita dihadapkan oleh sampah plastik. Dihindari atau tidak dihindari, sampah plastik sudah menjadi bagian hidup kita. Mulai dari makanan, minuman sampai keperluan sehari-hari tidak luput dari plasti. Berbagai cara dan metode telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi sampah plastik salah satunya adalah dengan “ Plastik Berbayar” yakni mengaharuskan masyarakat membayar tas plastik seharga Rp 250,-. Reaksi masyarakat pun bermacam-macam. Mulai dari yang tetap tenang, menerima, ada pula yang marah-marah. Seperti yang diceritakan oleh Hanifa Hestias Humairoh, dari SMA N 6 Yogyakarta, ketika Ia ke pasar modern, melihat ibu-ibu marah-marah kepada petugas kasir akibat dikenakan tarif.
Uji coba plastik berbayar menurut Dyas Putri Saraswati, dari SMA yang sama, berpendapat bahwa banyak cara untuk mensosialisakan kepada masyarakat. Misalnya melalui media sosial dan iklan tayangan televisi. Meski tidak dapat dipungkiri, cara ini pun juga masih banyak masyarakat tidak tahu kebijakan ini.
Foto : Elisa
“Para pelajar harus turut berperan dalam menyikapi masalah ini. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pelajar, salah satunya saling mengingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mengubah diri sendiri, sehingga nantinya orang lain yang mengikuti langkah positif kita,” tegas Murdyan Hardiyanto, SMK N Melati Sleman. Lain lagi menurut Agus Ardiyanto Saputra, SMA N 1 Panggang. Menurut siswa yang duduk di kelas X hal yang terpenting adalah kesadaran dari setiap individu bersama.
Sebagai remaja penerus bangsa seharusnya kita harus jauh lebih cerdas dan berfikir kreatif untuk menggurangi sampah plastik dan menganti produk atau barang berbahan plastik dengan barang yang ramah lingkungan. Selain itu cara lain yang bisa kita lakukan adalah jika berbelanja ke supermarket sebaiknya membawa kantung sendiri dan menggurangi menggunakan produk terbuat dari plastik. Serta mengikuti berbagai kegiatan seputar peduli lingkugan, paparnya.

Mensoal tentang sampah plastik dan plastik berbayar, Yuyun Setyowati, SMK Kasihan Bantul beropini bahwa, mungkin masyarakat perlu edukasi tentang sampah plastik, mulai dari pengelolaan, pemenafaatan sampah plastik sampah cara meramahkan plastik. Menurut siswa yang duduk di kelas X juga bercerita bahwa Ia sering melihat warga membuang plastik di trotoar dan sungai-sungai. “Menurutku sih warga juga sudah paham akan bahaya plastik. Akan tetapi, yang mengherankan kenapa mereka masih sering menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari,”  tambahnya heran. (Elisa & Dhea)

Sunday, February 19, 2017

Pentingnya Menguasai Public Speaking Untuk Pelajar

Berbicara dan menyampaikan pendapat di depan umum memang tidaklah mudah. Mental dan kepercayaan diri begitu diperlukan. Tidak semua orang mampu berbicara ditempat umum. Namun, ada juga orang yang terbiasa dan tidak merasa canggung. Nanda, salah satu pelajar dari SMKN 1 Saptosari, berpendapat bahwa berbicara di depan umum atau Public Speaking ketrampilan berkomunikasi yang penting. Ketrampilan berbicara memberikan banyak manfaat.
Foto : Elisa
Dari sembilan responden, dua pelajar diantarannya mengungkapkan ketidaktahuan mereka tentang public speaking. Agung Septianto, pelajar dari SMKN 1 Wonosari, Public Speaking adalah kemampuan untuk berpendapat maupun menjawab pertanyaan dari masyarakat umum. Menurut Rahyuna Hendriyanti, SMKN 1 Sewon, Public Speaking merupakan kemampuan, ketrampilan untuk mengemukakan pendapat ke masyarakat umum, dengan bahasa yang sopan, kata yang tepat dan gesture yang sesuai.
Agung Septianto menyadari betul, tidak semua pelajar memiliki ketrampilan dan kemampuan berbicara di depan umum. Meskipun Agung memiliki kemampuan Public Speaking, sebenarnya Ia juga khawatir melihat teman-teman yang lain. “Terlebih saat ini pendidikan di Indonesia memberlakukan kurikulum 2013, yang mewajibkan para siswa lebih aktif daripada gurunya,” ungkapnya. Ia juga menjelaskan bahwa model pembelajaran lebih ke bentuk diskusi, para siswa satu sama lain dituntut mempu mengungkapkan pendapat mereka.
Public Speaking bukan berarti tidak bisa dipelajari. Menurut Nanda, Public Speaking bisa dilatih dan dibiasakan. Latihan bisa dilakukan dengan banyak cara, salah satunya mengikuti seminar, mengikuti ajang perlombaan debat, mengikuti rapat di sekolah dan diluar sekolah. Hal inilah yang dialami oleh Nanda. Meskipun demikian, bukan berarti Ia lancar berbicara di depan umum, Ia masih sering grogi.
“Jadi aku belajar dan membiasakan diri untuk percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri. namun, jangan menjadi over confident,” tegas siswa jurusan tata boga saat ditanya point yang Ia catat.
Berbicara di tempat umum tidak selalu dianggap penting, ada pula sebagian orang yang menganggap Public Speaking hal yang tidak penting. Asmirandah Jihan Pratiwi, SMAN 1 Panggang, Wonosari tidak sependapat. Menurutnya, berbicara di depan umum ketrampilan yang sangat dibutuhkan. Pasalnya, selain untuk salah satu sarana berkomunikasi dalam bergaul, pandai menyampaikan pendapat juga menudahkan untuk diterima oleh masyarakat/forum/komunitas. Siswa jurusan MIPA ini beranggapan bahwa pandai menyampaikan pendapat yang baik dan terlatih mampu membuat kita menonjol dan unggul.

“Bagiku, melihat teman-teman yang minder berbicara di muka umum itu sangat disayangkan. Karena public speaking diperlukan di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini,” tutupnya. Meskipun Ia dulu membiasakan mahir berbicara di tempat umum membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. (Elisa & Dhea)

Saturday, February 18, 2017

SMK N 1 Pengasih : Berwawasan Agama Tanpa Mengecualikan Wawasan Lokal

SMK N 1 Pengasih merupakan salah satu sekolah kejuruan yang kental dengan prestasi keagamaannya. Terlihat ketika pertamakali masuk di lobi disaat jam istirahat, sebagian besar siswanya menggunakan jilbab . “Meski SMK N 1 Pengasih sekolah negeri, mayoritas  siswa berjilbab, apalagi dari 957 siswa yang laki – laki hanya 20 orang ,” tegas Zumri Suatmi, selaku Waka Humas.
Foto : Elisa
Menghasilkan lulusan yang kompeten, bertakwa, berbudaya dan berwawasan lingkungan yang ingin di tonjolkan. Sekolah Menengah Kejuruan ini berada di Jl. Pengasih, No. 11, Pengasih, Wates. Diresmikan pertamakali 1 Januari 1968. Awalnya sekolah swasta, setelah surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 162/UKK3/1968 sekolah ini berstatus negeri. Seiring minat dan perkembangan, dulunya hanya dua jurusan, tata buku dan tata usaha. Kini bertambah ada jurusan Akuntansi, Pemasaran, Multimedia, Administrasi Perkantoran, Tata Busana dan Perhotelan.
Kegiatan keagamaan yang rutin dan yang menjadi pembeda dari SMA/SMK lain,  SMK N 1 Pengasih ada mentoring rutin dan pengajian rutin di pagi hari, setiap hari Selasa dan Jum’at. Meskipun kental dengan keagamaan, tidak mengecualikan kegiatan lain, seperti kegiatan ekstrakulikuler basket, voli, Tarung Drajat, Pramuka, PMR, Seni Baca Alqur’an, seni tari, seni teater dan banyak bentuk ekstrakulikuler lainnya.
Selain kegiatan ekstrakulikuler, upaya sekolah memberikan skill, wawasan kepada para siswa diadakan kursus, misalnya Bahasa Inggris, Beauty Class, Akuntansi, dan bidang kejuruan yang lain selepas pelajaran wajib. Kursus inilah yang menjadi bekal awal anak didik untuk belajar seperti halnya di dunia kerja. Sertifikat yang sekolah keluarkan bisa dijadikan tiket untuk menambah nilai plus bagi siswa.
“Harapannya mencetak tenaga kerja menengah berpengalaman. Memberikan bekal kepada anak didik agar diterima di dunia kerja yang sesuai jurusan dan sesuai yang mereka inginkan, meskipun banyak juga siswa kami yang masih ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi,” ungkap Suatmi. Adapun harapan lain SMK Negeri 1 Pengasih, menciptakan lulusan yang kompeten, sukses membina dan membentuk insan yang bertakwa, peduli dengan kearifan lokal dan berwawasan lingkungan hidup. (Elisa, Intan)

Friday, February 17, 2017

Menikmati Lautan Bintang di Atas Bukit Bintang

Bertamasya tak harus menggeluarkan banyak uang. Untuk menikmati panorama alam yang disajikan oleh kota istimewa ini tak harus berkeliling dan membutuhkan waktu yang cukup banyak di perjalanan. Dengan waktu yang singkat saja kita bisa menikmati keindahan kota Yogyakarta dan sekitarnya dari puncak perbukitan.
Sore yang begitu cerah ini ku sempatkan untuk berkunjung ke Gunung Kidul. Tempat ini memang dikenal sebagai sentra wisata, dengan panorama yang asri, udaranya masih segar. Suasana pegunungan yang selalu menyajikan panorama alam yang indah serta deretan pantai yang mempunyai daya tarik tesendiri, membuat semua orang terpesona akan keindahan alam dari Gunungkidul.
Pathuk, Gunung kidul salah satu tempat yang begitu cocok untuk menikmati dan melihat daerah sekeliling dari puncak. Selain Gunung Api Purba dan tempat wisata alam lainnya, di sini juga terdapat sebuah tempat yang tidak asing lagi terdengar ditelinga kita. Bukit Bintang dimana banyak para pengunjung yang memilih melewati malam mereka berada di puncak ini.
“Jadi Bukit Bintang itu sebenarnya masuk di kawasan Bantul. Yang masuk kawasan Gunungkidul mulai dari taman ini.” Jelas Maryadi, salah satu penjaga parkir.
            Bukit Bintang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terutama ketika malam hari, tempat ini menjadi tempat tercantik untuk menghabiskan malam. Ketika kita duduk di tempat ini disuguhkan kerlap-kerlip lampu dan cahaya yang terang benderang kota Yogyakarta. Kita bisa melihat suasana lalu lintas yang begitu ramai dan macet dari atas puncak sembari menikmati makanan yang kita siappkan bersama teman mauppun keluarga. Diarea ini juga terdapat penjual kaki lima maupun warung makan yang mneyajikan berbagai makanan dengan harga yang murah meriah.
Menurut Rohadi, selaku keamanan marka jalan menuturkan bahwa bukit bintang sering digunakan wisatawan untuk beristirahat perjalanan jauh. Selain warga lokal, banyak juga wisatawan dari Jakarta, Bandung, dan Jawa Timur. Ternyata, tidak hanya orang asing, pelajar Jogja pun juga tidak mau ketinggalan dengan bukit bintang satu ini.
Abiya Nugroho (17) siswa dari SMKN 1 Wonosari juga mengungkapkan kekaguman keindahan pemandangan bukit bintang di malam hari. “Walaupun banyak kendaraan yang berlalu lalang dan terkadang terdengar begitu berisik, tetapi saya tetap nyaman berada disini bersama teman-teman, sembari menikmati jagung bakar. Kalau dibukit ini biasannya semakin malam akan semakin ramai pengunjung. Dari jam 5 sore saja sudah mulai ramai, ceritanya. Jika Nugroho menghabiskan waktu memakan jagung bakar di bukit bintang, berbeda dengan Erisa Aulia. Siswa dari SMK Tanjungsari ini biasa mengerjakan tugas di tempat ini. Karena ditempat ini memudahkan ia memahami materi yang dipelajarinya. Berbeda dengan Irfan Raditya (19) sengaja ketempat ini untuk melupakan semua masalahnya.

Selain keindahan lautan lampu di kawasan Yogyakarta, Nurul Nur Amanda (16) lebih sering datang ke sini ketika senja tiba. “Ya, sekedar menikmati sanset,” pungkasnya, siswa dari SMKN 1 Wonosari. (Elisa, Dhea)

Thursday, February 16, 2017

Lelaki yang Mengukir Aksara di Pundak Bangsa


 Sulitnya mengenyam pendidikan hampir dirasakan semua anak-anak Inlander (pribumi). Hanya orang-orang Inlander yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi dengan pemerintahan Belanda saja yang bisa merasakan bagaimana rasanya belajar di bangku sekolah. Hal Ini dirasakan oleh Masyhudul Haq, atau yang sekarang  lebih dikenal dengan nama Haji Agus Salim.
Tahun 1880-an menjadi pegawai Governmen Hindia-Belanda, sehingga ia merasa menjadi peribadi yang terpandang dikalangan kaum inlander. Itulah yang dirasakan Haji Agus Salim. Berkat ayahnya bekerja di bawah naungan Hindia-Belanda mampu belajar bersama anak-anak Belanda di bangku formal. Tidak hanya sekedar mengulas dunia pendidikan ketika masa pemerintahan Belanda, buku karangan Haidar Musyafa berjudul Cahaya dari Koto Gadang ini ingin memberikan pesan pada generasi bangsa ini bahwa, mencari ilmu adalah hal yang sangat penting.
Buku terbitan Spirit & Grow ini juga menceritakan tentang persahabatan Haji Agus Salim dengan Zainal. Zainal adalah teman sepermainan Haji Agus Salim ketika masih kecil, Zainal merupakan sosok orang sederhana, cerdas dan pandai. Sayang, Zainal tidak memiliki kesempatan belajar seperti Haji Agus Salim yang bisa mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap berkawan baik dan saling menguatkan.
Judul               : Cahaya dari Koto Gadang
Penulis             : Haidar Musyafa
Penerbit           : Sprit & Grow
Cetakan           :  April 2015
Halaman          : xiv + 466 hlm
ISBN               : 978-602-72438-0-4
Buku yang memiliki ketebalan xiv + 466 halaman ini mengajarkan pada kita pentingnya menjalani proses. Di mana perjalanan Haji Agus Salim dari kecil hingga dewasa, bersemangat belajar mengantarkannya menjadi seorang diplomat pertama Republik Indonesia, setelah sebelumnya menjadi konsulat di Jeddah, Arab Saudi. Saat menjalani tugasnya sebagai Konsulat di Jeddah itulah Haji Agus Salim berkesempatan belajar agama Islam lebih mendetail dengan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabay. Di Arab Saudi pula, tujuan Haji Agus Salim di uji, dengan menikahi seorang perempuan Arab bernama Ummudzat Saferiyah, meskipun sebenarnya Ia mencintai kekasihnya, Zainatun Nahar yang ada di Koto Gadang.
Kisah romantisme sengaja ditampilkan dalam buku ini. Karena itu bagian dari serangkain kisah hidup Haji Agus Salim yang sebenarnya. Sosok pemikiran dan pengaruhnya masih terasa hingga kini. Lalu bagaimana perjuangan Haji Agus Salim dalam menuntut Ilmu, dan bagaimana Haji Agus Salim menyikapi romansa kehidupan dan perjuangannya sebakda dari Jeddah, Arab Saudi?

Meski disajikan dalam bentuk novel, tapi buku ini secara jelas menggambarkan kisah perjalanan dan perjuangan Haji Agus Salim. Secara tidak langsung, buku ini juga mengambarkan bahwa, orang Belanda masa itu juga memberikan kesempatan belajar kepada  anak Inlander yang bekerja untuk Belanda, untuk kepentingan dan kemajuan Belanda. Dari beberapa pribumi yang berpendidikan inilah yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan membuat Belanda kalah, Indonesia menang dari kesengsaran 350 tahun lamanya. Dalam waktu dekat, buku ini wacanannya akan adopsi menjadi film. Kekurangan buku ini lebih pada penyajiannya yang—menurut saya—terkesan datar sehingga pembaca mudah jenuh, disamping juga karena buku ini tergolong novel sejarah yang masih terasa berat di sebagian besar kalangan generasi muda. (Elisa)


Wednesday, February 15, 2017

Berbagi Nasi Jogja Ajak Pelajar Peduli Terhadap Sesama

Banyak komunitas bermunculan di Yogyakarta. Mulai dari komunitas tentang hobi yang sama, ataupun komunitas yang sifatnya hanya bersenang-senang. Adapun komunitas dalam bentuk bakti sosial, salah satunya komunitas Berbagi Nasi Jogja. Berbagi Nasi Jogja merupakan komunitas yang membagikan nasi kepada para tukang becak, tukang panggul, gelandangan, pekerja malam yang biasanya tidur beralaskan bumi dan beratapkan langit.
.
Foto : Dhea
Kalau untuk kegiatannya sendiri dilakukan setiap Jum’at malam sekitar jam 10 malam, kadang selesai sampai 01.00 WIB Dini hari. Sebelum kami membagikan nasi dan makanan yang telah dipersiapkan kami berkumpul di depan Hi-Lab Center , Kridosono,” kata salah satu siswi MAN 1 Wonokromo, salah satu anggota Berbagi Nasi Jogja, yang tidak ingin disebutkan namannya.
Selama menjadi anggota Berbagi Nasi Jogja, Ia merasa mendapatkan banyak manfaat dan pengalaman. Meskipun ada sisi tidak enaknya, yaitu karena dilakukan di malam hari. Awal mengikuti komunitas ini, Ia sempat tidak direstui oleh kedua orangtua dikarenakan mengurangi jam istirahat malam dan angin malam yang berbahaya untuk pelajar. Kendala ini tidak dijadikan masalah oleh siswi MAN 1 Wonokromo. Baginya kegiatan ini positif dan sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa intervensi dari oranglain. Berbeda dengan Rudi, siswa dari MAN 1 Wonokromo. Menurutnya, berbagi tidak harus mengikuti sebuah komunitas., bisa dilakukan sendiri, semampunya.
Menurut Ardi, siswa dari SMKN 1 Imogiri, Komunitas Berbagi Nasi Jogja adalah komunitas yang menginspiratif. Baginya, saling berbagi kepada sesama itu tidak harus menunggu hidup serba kecukupan, tetapi berdasarkan dari ketulusan hati dan keikhlasan, tidak mengharap pujian dari orang lain. Pendapat ini pun diiyakan oleh pelajar dari siswi SMKN 6 Yogyakarta, Dewi Alfiani.

Aksi sosial memang menarik bagi mereka yang memiliki jiwa di sana. Salah satunya juga di rasakan siswa dari SMF, jurusan Farmasi, Muhammad Syahrul yang  mengikuti kegiatan bakti sosial. Kendala terbesar baginya adalah mengajak teman-temannya. “Karena hal ini berkaitan dengan kesadaran hati nurani,” tambahnya. Meskipun demikian, Syahrul memiliki trik lain mengajak mereka, yaitu dengan menceritakan setiap kegiatan dan pengalaman menarik kepada mereka. Harapannya mereka tertarik untuk bergabung. (Dhea, Elisa)

Wednesday, February 8, 2017

Membiasakan Ramah Lingkungan Sejak Muda

Banyak cara melakukan aksi nyata ramah lingkungan, dan mengurangi sampah kota. salah satunya seperti yang dilakukan oleh Taman Kanak-kanak Taman Indria Pawiyatan pada Senin, 15 Agustus 2016. Mereka memanfaatkan botol bekas untuk dilukis. Berbeda denga siswa dari SMKN 2 Godean, Meidiana Rossa Redenta, bentuk kepedulian mengurangi sampah kota dengan mendaur ulang kembali sampah yang digunakan.
Foto : Elisa
“Aku akan menjadi generasi muda yang ramah lingkungan, karena jika tidak diperbaiki dan dikelola, maka bumi kita akan rusak akibat sampah,” tambah siswa kelas X, Tata Boga. Berbicara sampah kota, sampah kota merupakan sisa aktivitas manusia yang terdiri dari bahan organik dan anorganik, yang dianggap tidak berguna lagi.
Siswa dari SMAN 2 Sleman, Patria Budi Suharyo, kelas XI IPS mengartikan sampah kota merupakan sisa hasil rumah tangga, industri dan segala bentuk sisa-sisa dari fasilitas umum. Baik itu berbentuk cair maupun padat. Menurutnya, terjadinya sampah kota diakibatkan pembuagan sampah sembarangan, dan kurangnya fasilitas pengelolaan sampah. “Hasilnya, terjadi penumpukan sampah, pencemaran lingkungan dan terjadi permasalahan tata ruang kota,” ceritanya.

Upaya Patria Budi Suharyo mengurangi sampah kota tidak jauh berbeda seperti yang dilakukan oleh Rossa. Yaitu dengan cara mendaur ulang sampah, harapannya mampu mengurangi penumpukan sampah di TPS dan di TPA. “Saya akan menjadi generasi muda yang ramah akan lingkungan, jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi,” imbuhnya. Menurutnya, peduli ligkungan perlu dibiasakan sejak muda. Karena jika sampah dibiarkan dan tidak ada yang peduli, sampah dapat menjadi masalah yang abadi. (Linda, Elisa)