Sunday, August 21, 2016

Menikmati Pelangi Malam Hari

Pelangi, fenomena alam yang sulit dijumpai ketika musim kemarau tiba. Tepatnya di komplek Monumen Jogja Kembali (Monjali), Jl Ring Road Utara Yogyakarta, terdapat taman pelangi yang bisa di datangi kapan saja, tidak mengenal musim.
Foto : Ist
Taman pelangi merupakan tempat wisata yang dikemas berbeda dari taman–taman lainnya. Taman pelangi dijadikan sebagai tempat rekreasi yang unik, terutama ketika malam hari. Tempat ini sering sebagai tempat kumpul bersama keluarga, pasangan dan tempat berkumpul teman-teman lama untuk sekedar melepas rindu.
Memasuki komplek taman pelangi, akan disuguhkan puluhan lampion yang menghiasi taman. Kerlap-kerlip lampion semakin menambah romantisme semesta yang tak bermentari. Puluhan lampion yang terpasang beragam. Ada yang berukuran besar, kecil dan sedang. Saat memasuki pintu gerbang taman ini misalnya, dipasang lampion ukuran besar berbentuk pelangi. Dibagian dalam, bentuk lampion flora, fauna dan tokoh-tokoh kartun tertata rapi di langit-langit. Sebagiannya lagi, lampion terpasang di dinding dan yang ditancapkan di lantai.
Gunadi, sebagai Historical Strunggle Guide museum monjali memaparkan bahwa museum Monjali bekerjasama dengan pengelola taman pelangi dalam bentuk meramaikan museum. Taman pelangi memang sengaja didesain sedemikian untuk menarik perhatian pengunjung, sisi lain menampilkan wajah baru museum kala petang. Upaya ini berhasil memikat perhatian warga Yogyakarta. Salah satunya Ratih Heru Herawati (23) yang kebetulan berkunjung di sana. Ia sangat terkesan, atmosfer di sana membuatnya kembali bersemangat beraktivitas setelah lelah aktivitas. Berbeda dengan Rima Wahyuni (24) yang paling membuat dia terkesan di taman pelangi ketika pelepasan lampion tahun lalu.

Saturday, August 20, 2016

Kesegaran Es Tebu Giling Murni

Siapa yang tidak tahu tebu. Jika tebu biasa digunakan sebagai bahan utama pembuatan gula, maka ada satu tempat kuliner di Jogja ada yang namannya es tebu ijo Papilo. Es tebu diambil dari sari tebu hijau pilihan. Tebu hijau ini di ambil langsung dari Kediri. Prasetya Suri Hanggara owner yang mengagas es tebu di Jogja. Ada tiga varian, ada yang cup kecil, sedang dan besar. cup kecil dibandrol dengan harga empat ribu. Cup sedang seharga lima ribu dan yang besar seharga lima ribu.
Proses pembuatannya cukup praktis tanpa campuran apapun. “tebu yang datang dari kediri kita bersihkan sebelum siap digiling,” ucapnya. Jadi, tebu baru akan digiling saat itu juga ketika ada pembeli. Rasannya pun khas manis tebu.
Ketika ditemui di outlet pertama kalinya berdiri, di Jl. Gowok, Angga memaparkan manfaat sari tebu ijo Papiolo. Yaitu sebagai detoksifikasi, meremajakan kulit, menurunkan resiko kanker payudara & prostat. Beberapa penyakit dalam seperti kuning, liver juga dapat diobati dengan minum sari es tebu. Manfaatnya yang besar ini, ada pelanggan yang setiap harinya membeli sari tebu 1,5 liter.
Kini, outlet es tebu Papilo sudah ada 5 outlet, “sebentar lagi akan nambah tiga outlet, sekarang sedang nunggu gerobak dan mesinnya dirapikan,” tukasnya.
Es tebu Papilo berdiri akhir 2015 lalu, sampai saat ini berhasil mempekerjakan 5 karyawan. Cita-cita Angga memang ingin memiliki karyawan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Ia memilih menciptakan lapangan pekerjaan daripada mencari pekerjaan. “Berwirausaha itu wajib bagi yang masih muda. Sarjana banyak, yang mencari pekerjaan banyak, yang nganggur jauh lebih banyak. Tapi ketika kita bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, itu yang membuat kita memiliki kepuasan tersendiri sekaligus memberikan manfaat bagi orang lain,” paparnya yang sebelumnya pernah menjalani banyak usaha. “Ya, masalahnya bagi pemula menciptakan pekerjaan itu hal sulit dan ribet.”

Friday, August 19, 2016

Hutan Bakau Baros : Belajar dari Mbah Warsono

“Bantul memiliki hutan bakau sebanyak 14 hektar, karena akibat cuaca yang buruk, kini hutan bakau yang masih hidup hanya 5 hektar”.
Foto ; Dokpri
Itulah pemaparan mbah Warsono, selaku pengagas dan menciptakan hutan bakau pertamakali di Baros, Tertoargo, Kretek, Bantul. Mbah War sapaannya, laki-laki bersahaja yang tekun merawat hutan bakau sejak 13 tahun lalu tidak mengenal lelah menyelamatkan lingkungan dengan merawat bakau.
Berawal dari tawaran Relung Toyota diberi bibit bakau, tepatnya 5 Mei 2003 yang lalu iseng mencoba-coba menanami bakau di sungai opak. Bibit diambilkan dari Batang, Cilacap. Sungai opak di Baros pada waktu dulu sangat lebar, lebarnya lebih dari 20 meteran. “Ternyata cocok, bakaunya hidup. Kemudian simbah kembangkan dari sisi Pantai Depok sampai sisi  dekat pantai Samas sana,” ceritanya.
 “30 tahun yang lalu areal sawah ini dan areal bakau ini dulunya Wedi kenser mbak,” cerita Pak Gito (75), salah satu warga yang ditemui di sawah, mencari rumput untuk makan ternaknya.
Mbah War setia merawat bibit bakau yang ditanaminya. Sejak mulai saat itu, Ia memutuskan total merawat pohon bakau yang masih kecil-kecil siang ke malam hingga berhanti hari dan tahun. Pohon bakau mulai tumbuh besar, banyak terjadi perubahan. Tanah di dekat hutan bakau, yang awalnya penuh air, mulai kering. Mbah War, dan warga Baros memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Tanah di tanami kacang-kacangan dan jagung. Sekitar 2008 pemuda-pemudi Barospun akhirnya turun tangan, membantu mbah War mengelola hutan bakau yang mulai meremaja.
Latar belakang mbah War menanami bakau untuk menghalau angin. Seperti yang diceritakan mbah War, pohon bakau sangat membantu warga menyelamatkan tanaman mereka dari terjangan angin laut yang kencang. Tidak hanya itu, pohon bakau juga dapat mencegah terjadinya erosi laut. “Kalo dulu tanaman di sawah kalo angin sebelah tenggara kencang, pasti rusak dan gagal panen. Sekarang tidak lagi. Semenjak ada pohon bakau petani lebih tenang mbak,” tegasnya.

Thursday, August 18, 2016

KPBJ : Jeritan Perempuan Mengembalikan Identitas

Perempuan berkebaya adalah identitas masyarakat Jogja tempo dulu. Seiring perkembangan teknologi, fashion dan modernisasi masuk di Indonesia, perlahan kebudayaan Jogja merasakan dampak akulturasi budaya luar. “Kain kebaya dan batik justru orang luar yang tertarik. Sungguh ini disayangkan. Kenapa kita mencintai budaya asing? Kenapa tidak mencintai budaya sendiri. Kita punya kebaya dan batik yang cantik-cantik peninggalan nenek moyang yang patut kita banggakan,” kata Flora dengan geregetan gemas.
Foto : Elisa
Komunitas Perempuan Berkebaya Jogja (KPBJ) adalah komunitas yang memiliki tujuan untuk mengembalikan pakaian nasional Nusantara. Komunitas ini diresmikan bulan Oktober 2015, di gawangi oleh bu Esti, Flora, Elrina dan Tinuk. Kecintaan dan keprihatinan terhadap nasib kain kebaya dan Batik di Indonesia mendorong mereka ingin mengembalikan identitas Nusantara dari gempuran budaya luar yang masuk. Mereka memulainya dengan menyentuh sisi kewanitaan  kaum perempuan terlebih dahulu. Semua perempuan, mulai ibu-ibu, perempuan remaja dan anak-anak.
 “Tujuan kita menggugah semangat kita semua. Pertamakali kita menanamkan masyarakat untuk bangga berpakaian kebaya. Tujuan jangka panjang, ketika banyak orang berpakaian berkebaya bisa menciptakan pasar. Para pengrajin batik mendapatkan udara segar,” cerita Flora, salah satu pendiri KPBJ. Ia pun bercerita, salah satu alasan lain bersemangat memperkenalkan pakain berkebaya karena keprihatinan para pengrajin kain kebaya dan batik di Yogyakarta masih sangat tidak layak. Banyak orang menyemangati membatik, namun lupa menciptakan pasar bagi para pengrajin batik.
“Sekarang ini para pengrajin banyak dirumahkan, dan banyak pengrajin yang diculik. Perlu diketahui mbak, batik-batik di Tanah Abang Jakarta, semuanya itu buatan dari Cina. Bukan dari pengrajin kita,” tegasnya, prihatin mengingat nasib para pengrajin lokal. Ia pun mencoba mengambil sisi positif dari dampak pasar terbuka ini. “Tapi jangan salahkan pemerintah. Karena pasar terbuka sudah kesepakatan. Jadi kita ambil sisi baiknya.” Tambahnya.

Wednesday, August 17, 2016

SMK N 1 Pengasih : Melahirkan Lulusan Profesional

SMK N 1 Pengasih merupakan salah satu sekolah kejuruan yang kental dengan prestasi keagamaannya. Terlihat ketika pertamakali masuk di lobi disaat jam istirahat, sebagian besar siswanya menggunakan jilbab. “Meski SMK N 1 Pengasih sekolah negeri, sebagian besar siswa berjilbab semua,” tegas Yuni Suatmis, selaku Waka Humas.
Menghasilkan lulusan yang kompeten, bertakwa, berbudaya dan berwawasan lingkungan yang ingin di tonjolkan sekolah yang berada di Jl. Pengasih, No 11, Pengasih, Wates. Sekolah Menengah Kejuruan diresmikan pertamakali 1 Januari 1968. Awalnya sekolah swasta, setelah surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 162/UKK3/1968 sekolah ini berstatus negeri. Seiring minat dan perkembangan, dari dua jurusan (tata buku dan tata usaha) kini bertambah menjadi beberapa jurusan. Diantarannya jurusan Akuntansi, Penjualan, Multimedia, Administrasi, Tata Busana dan Perhotelan.
Foto : Elisa
Kegiatan keagamaan yang rutin dan yang menjadi pembeda dari SMA lain dan SMK N Pengasih ada mentoring rutin dan pengajian rutin di pagi hari, setiap hari Selasa. Meskipun kental dengan keagamaan, tidak mengecualikan kegiatan lain. Seperti kegiatan ekstrakulikuler seperti basket, voli, kursus dan debat bahasa Inggris dan banyak bentuk ekstrakulikuler lainnya.
Selain kegiatan ekstrakulikuler, upaya sekolah memberikan skill, wawasan kepada para siswa diadakan kursus selepas pelajaran wajib. Kursus inilah menjadi bekal awal anak didik untuk belajar seperti halnya dunia kerja di luar. Sertifikat yang sekolah keluarkan bisa dijadikan tiket untuk menambah nilai ples bagi siswa.

Tuesday, August 16, 2016

Imogiri Sebagai Metropolitan Budaya

Kedungmiri merupakan desa wisata yang masih menjaga keaslian budaya dan alamnya. Ditempat ini terdapat panggung terbuka yang diperuntukan masyarakat, tidak ada pengecualian. Semua warga boleh datang ke lokasi kapan saja. Lokasinya di kompleks persawahan desa Wunut, Sriharjo, Imogiri, Bantul. Sebuah tempat yang masih alami.  Terlihat tempat duduk berundak-undak terbuat dari beton, bentuknya melingkar. Bagian tengah jadikan sebagai center pertunjukan. Di samping timur, terhampar persawahan padi yang siap berbuah. Di samping utaran disuguhkan dengan persawahan padi terasering yang menghijau. Sisi selatan, membelah sungai Oyo dan kegagahan gunung sebagai dinding kemegahan alam.
Foto : Elisa
Imogiri sebagai gerbang metropolitan budaya mendorong Sugianto (43) Kepala dukuh Wunut untuk terus melestarikan budaya Jogja yang ada. Panggung terbuka dibuat dengan tujuan sebagai tempat bermain, tempat berkumpul untuk masyarakat Yogyakarta dan digunakan untuk tempat pertunjukan budaya yang masih terjaga. Seperti jatilan, tahlilan, kerawitan dan budaya jawa yang masih berjalan hingga saat ini. “Mumpung kita masih ada dan masih menjalankan tradisi dari Nenek kita dahulu, ayo dijaga dan dilestarikan bersama-sama. Jangan justru hilang karena desakan perkembangan jaman yang semakin cepat ini,” cerita pak Sugianto.
Panggung terbuka kedung miri dibuka untuk umum bulan November 2015. Event pertama adalah pemeran kitiran sewu, hasil dari kerajinan warga Bantul dibantu oleh mahasiswa UGM dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) 60%-nya adalah keluar tidak mampu. Harapan Pak Sugi pertujukan itu sebagai langkah awal untuk memperkenalkan kedungmiri ke masyarakat. Ia sangat bersemangat jika desa wisata mendapatkan apresiasi dan diterima masyarakat sebagai desa wisata yang mengedukasi dan memberikan manfaat.
“Meskipun kita dari pelosok desa, tapi kami memiliki cita-cita yang banyak. Masalahnya, kita tidak bisa berjalan sendiri tanpa bantuan masyarakat, para pemuda terdidik, kreratif juga lampu hijau dari pemerintah. Harapannya, satu persatu harapan kami bisa terwujud. Imogiri memiliki banyak potensi yang bisa diangkat,” paparnya.

Ponidah (43), salah satu warga setempat mengaku senang jika tempat ini nantinya akan menjadi tempat wisata. “Asalkan tidak merusak lahan persawahan, tidak merugikan warga. Syukur pemerintah membuat akses khusus para wisatawan yang ingin naik ke terasering, agar tidak menginjak-injak hasil tanaman warga,” tegasnya.Begitupun dengan harapan besar Pak Sugi jika kelak kedungmiri bisa menarik wisatawan, secara otomatis, akses jalan dan infrastruktur Wunut akan dibenahi. Mengingat akses menuju lokasi bersisihan dengan sungai Oyo yang kini mulai rusak karena erosi. “Ketika kedungmiri dan Jembatan Selopamioro ramai wisatawan, otomatis tepian sungai akan dibangun agar jalan utama menuju titik lokasi tidak rusak karena erosi,” tegasnya di akhir percakapan. 


Elisa
Dipublikasi di Tabloid BIAS | Eds 1| 2016

Monday, August 15, 2016

Latihan Menghargai Oranglain

Pacaran dimasa sekolah dianggap tidak perlu. Bagi sebagian lagi, pacaran itu perlu dan penting. Seperti pendapat Ahid Arrijal Musthafa Nugroho, pelajar dari SMK N Pengasih 1 Wates. Pacaran baginya sebagai penyemangat belajar dan sebagai media saling diskusi upaya intropeksi diri.
“Prinsipnya gini aja, pacaran itu bisa diartikan latihan berkeluarga. Dalam artian latihan mengelola emosi satu sama lain ketika mengalami pertentangan pendapat,” tegasnya. Adapun sisi negatif berpacaran menurut Ahid, membuat boros uang.
Ahid Arrijal MN
Hal sama dirasakan oleh Miftahul Lutfi Andrian (16), SMAN Jetis Bantul yang baru tiga bulan berpacaran. Ada masannya dompet lebih cepat terkuras karena untuk mentraktir pacar. Adapun akibat berpacaran yang dirasakan Ahid, online Shop yang dikelolanya tersendat karena terbengkalai.
Lalu apakah benar pelajar yang berani pacaran sebagian besar karena uang saku berlebih dan sebagian lagi, banyak pelajar yang sudah mendapatkan penghasilan dari pekerjaan freelance mereka? Menurut Lutfi, pernyataan tersebut ada benarnya, laki-laki yang sudah memiliki penghasilan sendiri lebih percayadiri ketika memiliki pasangan, dibandingkan mereka yang belum memiliki pendapatan sama sekali. Berbeda dengan pendapat Ahid, menurutnya ekonomi bukan penentu seseorang memutuskan mau pacaran atau tidak. “Tergantung midnset masing-masing menurutku. Duit itu kalo dilihat Cuma nafsu, bukan cinta dan bukan sayang. Pacaran itu karena cinta, peduli dan karena sayang,” sanggahnya. 
“Ya, kalau belum siap dompet menipis dan belum siap untuk galau, ya jangan pacaran,” imbuhnya. Meskipun begitu banyak konsekuensi pacaran ketika masih sekolah, Ia menikmati pacaran sehat yang dijalaninya. Karena dengan memiliki pacar, Ia merasa semangat belajar. Senang karena selalu diperhatikan dan selalu diingatkan. Berawal dari sinilah, Ahid bisa belajar banyak hal dari dua insan yang berbeda.

Sunday, August 14, 2016

Pacaran bukanlah Life Style

Pacaran seolah juga menjadi life style remaja. Ironisnya, banyak anak-anak di bawah umur juga mengikuti gaya hidup berpacaran ini. Dinarsih (17) dari SMA 7 Bantul membenarkannya. “Aku pernah dengar kalau zaman sekarang kalau tidak punya pacar, tidak gaul,” ungkapnya.
Sisi lain, Ia tidak setuju dengan budaya pacaran. Baginya, pacaran di wakt sekolah masih belum penting. Ia justru merasa risi melihat teman-teman yang berpacaran di tempat umum.
Foto : Arik
“Pernah melihat orang berpacaran dan bermesraan. Perasaanku sebagai orang yang melihatnya merasa kaget dan risi. Jika di tempat umum, sikapnya biasa saja. Motivasi mereka apa coba bersikap seperti itu? Hormati orangtua kita yang melahirkan, membesarkan dari kecil, jangan buat malu orangtualah,” ceritanya penuh kekhawatiran.
Dhea Ananda Aisyah, SMA 1 Purwosari juga tidak menyetujui budaya pacaran. Baginya, pacaran itu tidak ada yang sehat, hanya mendatangkan kemaksiatan dan zina. Di dalam ajaran agamannya tidak ada yang membolehkan pacaran. “Apalagi pacaran di masa-masa sekolah, lebih banyak mendatangkan akibat negatifnya,” tegasnya.
Pendapat aisyah dibenarkan oleh Alvin Oktavian, SMK 2 Yogyakarta. Menurut Alvin, cara mencegah berpacaran dengan memperkokoh keimanan dan mempertebal keimanan.
Guru biologi di SMK Kesehatan Insan Mulia, Ibu Erlin mengatakan prihatin dengan fenomena pacaran di kalangan remaja. Menurutnya berpacaran di bawah umur tidaklah lepas dari peranan televisi yang memberikan tayangan yang tidak mendidik. Budaya sinetron di televisi justru cenderung mengajarkan untuk berpacaran.

Saturday, August 13, 2016

Perjuangan peraih juara ketiga LKS Bahasa Inggris

Yogyakarta, gudangnya anak berprestasi lahir. Salah satunya adalah Alvin Octavian, dari SMK N 2 Yogyakarta. Alvin berhasil memperoleh peringkat ketiga dalam Lomba Kompetensi Siswa (LKS) cabang Bahasa Inggris tingkat Nasional, bertempat di Riau, 30 Oktober 2015 yang lalu. Alvin berhasil mengalahkan 34 tim dari 34 propinsi se-Indonesia.
Pelajar yang masih duduk di kelas 11 jurusan Tehnik Informasi dan Jaringan bersyukur dengan kemenangan yang telah diperolehnya. Alvin belum bisa berpuas dan berbangga diri. Ia masih harus terus belajar keras untuk mendapatkan hasil yang lebih untuk kejuaraan kedepannya. Mempersiapkan dengan matang adalah kunci bagi Alvin, tidak sekedar latihan dan berdoa saja, “Jika perlu mempersiapkan jauh-jauh hari secara rutin dan lebih intensif”, tegasnya.
Sejak kecil, Alvin menunjukan ketertarikn dengan bahasa Inggris. Bersama ayahnya, Ia memulai belajar bahasa Inggris. Melihat ketertarikan yang besar, kemudian sang Ayah mengkhursuskannya. Salah satu motivasi Alvin mengikuti kompetensi siswa bahasa Inggris adalah untuk menambah pengalaman, mengukur seberap jauh kompetensi yang telah diasah, dan ingin mengharumkan nama sekolah. adapun motif lain bagi Alvin terhadap kedua orangtua selama ini sudah mendukung, yaitu membuat bangga mereka.
“Bahwasanya kesuksesan itu bukanlah warisan, akan tetapi perlu diperjuangkan. Kita pasti bisa meraih sebuah mimpi, entah dalam bidang apapun. Perjalanan meraih mimpi penuh rintangn yang panjang. Pastikan untuk menghadapinya, terus semangat, biarkan semangat itu yang menerangi setiap mimpimu.” papar Alvin yang hobi mendengarkan musik ketika semangatnya turun.

Bagi Alvin selama mengikuti kejuaraan tersebut banyak kesulitan dan tantangan yang ditemui. Misalnya, kurangnya penguasaan panggung yang merupakan poin penting dalam penilaian, minimnya pengalaman menggunakan alat presentasi yang disediakan sehingga cukup menghambat jalannya presentasi, “dan ketatnya persaingan oleh tim dari propinsi lain yang cukup membuat saya khawatir dan was-was. Meskipun begitu, saya menjalaninya dengan enjoy,” tutupnya. 

Elisa & Dhea
Dipublikasi di Tabloid BIAS | Eds 1| 2016

Friday, August 12, 2016

Pameran Seni Rupa : Mengajak Mengingat Kembali Wajah Kita

Pameran seni yang diselenggarakan oleh STRSD Visi ini mengambil tempat di Jogja Nasional Museum dan digelar selama tiga hari. Pembukaan dimulai 11 Maret pada pukul 19.30 WIB – selesai oleh Drs. Andang Suprihadi, selain itu ada pula workshop, dan beberapa pertunjukan seni yang ditampilkan oleh IRC (Indonesia Reggae Community), DER JAEGER, FJ Kunthing, Terpal and Black Anomali, selain itu ada LAS (Lereng Art Studio) dan Stamp yang memberikan pengatahuan tentang mural dan graffiti. Hari selanjutnya pameran bisa dihadiri dari pukul 11.00 WIB – 22.00 WIB.
Lupa Rupa menampilkan berbagai macam jenis seni rupa, mulai dari digital, lukis, pensil, cetak-mencetak, hingga batik. Pameran ini bersifat kolektif, sebagian besar objek yang dipajang merupakan kumpulan karya dari berbagai seniman yang ingin ciptaan mereka dipublikasikan, tak hanya dari Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari luar kota, seperti Surabaya, Jakarta, Purwokerto, Bandung, dan lain-lain.
 “Kami menerima siapa saja yang mengajukan karya ereka kepada kami, kami tidak membeda-bedakan apakah orang tersebut seniman terkenal atau tidak. Bahkan ada anak SMP dan SMA yang mengajukan karya mereka kepada kami,” terang Hardrian (23), selaku wakil ketua panitia, ketika ditanya tentang makna pameran ini.
Pameran Lupa Rupa menurut Hardrian merupakan representasi kegelisahan panitia, melihat fenomena sosial di Yogyakarta. Perkembangan zaman itu memang ada, dan modernisasi tak bisa dihentikan, karena itulah banyak orang yang telah lupa wajah mereka, rupa mereka, dengan kata lain lupa diri. Harapannya, pameran inilah yang akan mengingatkan kembali jati diri kita sebagai warga Jogja. Warga Jogja yang menjaga kebudayaan, seni dan banyak hal yang telah ditinggalkan untuk kita.

Saturday, August 6, 2016

Museum Purbakala Pleret : Mengembalikan Kejayaan Masa Lalu

Hampir semua museum di Yogyakarta memiliki ciri khas dan memiliki cerita yang unik. Sama halnya dengan museum Purbakala di Pleret, tepatnya berada di Jl. Raya Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul. Susanto, selaku koordinator museum pleret menceritakan bahwa museum ini berdiri di atas laut buatan. “Jadi, tempat ini dulunya di masa kerajaan Majapahit Islam (1646-1677M) adalah bekas laut buatan untuk berlatih perang. Sebelum tahun 2014 tempat ini masih banyak digenangi air,” ceritanya.
Foto : Elisa
Kota Gede dan Pleret memiliki kesamaan, sama-sama dulunya sebagai komplek kerajaan. Di daerah Jambon Blawuran, Pleret misalnya, ditemukan fragmen mariam. Meriam ini digunakan sebagai persenjataan untuk perang. Adapun peninggalan lain seperti ditemukan giok, piring keramik masa lampau, sampai umpak keraton kerto. Sambil menikmati hangatnya pagi, Pak Susanto menceritakan bahwa Umpak Kerto yang ada di museum ini adalah umpak terbesar di Jogja. Terlihat dari jarak umpak satu dan umpak yang lain panjangnya 17cm. Konon, umpak pada masa dahulu digunakan sebagai pertemuan Sultan Agung dengan Rakyatnya. Di umpaknya itu sendiri terdapat ukiran tulisan arab yang memiliki makna filosofis, yang artinya “mengajarkan kepada Tuhan”
Museum purbakala Pleret terdapat sumur Gumuling. Sumur yang ada sejak jaman dahulu. Tinggi sumur 3 cm, mitosnya sumur ini secara spiritual terhubung dengan pantai selatan. Warga di sana juga mempercayai, sumur tersebut digunakan untuk jamasan pusaka keraton. Meskipun museum ini terbilang kecil dari museum-museum yang lainnya, ternyata museum masih berdiri di kompleks kerajaan Mataram Islam. “Jadi, luas kerajaan Mataram di Pleret luasnya sama dengan luasnya kerajaan Yogyakarta. Yakni memiliki luas 205 hektar, panjangnya 2.256  m kata Prof. Inayati,” papar Susanto.

Teruslah Mendidik Diri Sendiri

Foto : Elisa
Seberapa penting pendidikan? Terlalu pentingnya pendidikan, banyak orang yang mengorbankan sebagian hartanya untuk menukar uangnya demi ilmu. Terlalu pentingnya illmu, banyak orang rela mengencangkan perut agar bisa mengenyam pendidikan. Pentingnya wawasan, banyak orang merelakan merantau ke negeri orang untuk mencari Ilmu. Pentingnya sebuah pendidikan pula, pemerintah mewajibkan setiap warga negarannya wajib belajar 12 tahun.
Pemerintah memberikan fasilitas lebih terhadap warga yang putus sekolah dan tidak mampu. Pemerintah memberikan beasiswa yang memiliki prestasi, sebagai bentuk apresiasi. Pemerintah memberikan fasilitas dan bantuan sarana prasarana untuk lembaga pendidikan yang membutuhkan fasilitas. Dan banyak hal yang diberikan agar setiap warga negara merasakan keberkahan dan sejuta manfaat dari ilmu.
Pendidikan menjadi media untuk memperoleh ilmu, wawasan dan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebagai bukti telah menempuh lembaga pendidikan, setiap orang mendapatkan label yang disebut ijazah, gelar. Label ini pulalah yang menciptakan masyarakat melabeli seseorang menjadi lebih tinggi kedudukannya, menjadi lebih terhormat atau sebaliknya. Banyaknya pelabelan dan persepsi masyarakat inilah yang akhirnya menjadikan hakikat belajar menjadi berambigu, samar dan tujuannya tidak lagi murni. Kemudahan mengenyam pendidikan saat ini semakin rancu niat dan pandangan dalam belajar.
Pendidikan Tak Lagi Sama
Dahulu, pendidikan diperoleh penuh dengan perjuangan keras. Hanya orang-orang yang memiliki jabatan, kedudukan tinggi dan hanya orang spesial saja yang diperbolehkan merasakan bagaimana sekolah. Kini, semakin mudahnya akses masuk dunia sekolah, semakin banyak orang yang terlena. Kini, banyak orang yang masuk sekolah bukan karena mencari ilmu, tapi ingin mencari ijazah, mencari popularitas, mencari gelar, mencari kedudukan dan agar dipandang lebih tinggi oleh orang-orang sekitar.
Bahkan, di jejaring sosial banyak opini dan topik mengenai sekolah hanya diperuntukan oleh mereka yang pandai, dan bukan diperuntukan oleh orang yang bodoh. Sistem pendidikan pun mulai dipertanyakan. Keprihatinan dunia pendidikan semakin membuat berfikir ulang. Salah satu contoh kasus, siswa lulusan SMA/K/MA harus menjadi orang yang pintar agar lolos seleksi mamasuki Perguruan Tinggi. Dari banyaknya tes tersebut bentuk cerminan bahwa untuk bisa sekolah harus pintar terlebih dahulu. Sejatinya, fungsinya lembaga pendidikan adalah untuk mencerdaskan masyarakat yang memang tidak tahu menjadi tahu.
Motivasi Belajar Demi Orang Tua dan Prestise
Sistem pendidikan yang selalu berubah-ubah, dan pengaruh stereotip, lingkungan ternyata memberikan impect terhadap pelajar. Pernah menanyakan kepada anak-anak SMP yang berada di sekitaran rumah, kenapa mereka sekolah? karena ingin membahagiakan orangtuanya, karena menuruti keinginan orangtua, karena Orangtua menuntut anak untuk mendapatkan nilai bagus, juara kelas dan diimiing-imingi dengan hadiah jika mampu mencapai target tersebut.
Motivasi belajar bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk bekal dirinya sendiri. anak-anak justru termotivasi oleh hadiah yang ditawarkan orangtua, anak termotivasi oleh pujian orangtua jika ia berhasil. Anak hanya mengejar reward dan mengejar pujian dari masyarakat. Kebiasaan ini, tertanam sejak kecil, walhasil secara alam bawah sadar, hingga ia dewasa, ia tidak mengejar ilmu,  melainkan mengejar ijazah, gelar, pandangan orang lain dan sebagainya.
Pendidikan Bukan Ajang Bisnis Pamer Kekayaan
Bangga bisa masuk ke sekolah ternama. Siapa yang tidak bangga anak-anaknya berhasil masuk sekolah yang memiliki predikat terbaik seluruh provinsi, Nasional, bahkan Internasional. Sesama orangtua saling berburu sekolah terbaik, dengan embel-embel mencari muka di mata oranglain. Merasa hebat ketika bisa masuk di sekolah X, misalnya. Tidak sekedar itu, terkadang, lembaga pendidikan juga dijadikan sebagai media untuk pamer kekayaan. Mengingat, beberapa sekolah terbaik terkenal dengan biaya yang mahal.