Yogyakarta, sebagai kota budaya. Semua pelajar Jogja
pun mengakuinya. Begitupun dengan Sudiharsono. S.Pd., guru Pembimbing di SMK
Kesehatan Wonosari. Ia memaparkan akan kekagumannya dengan budaya bahasa jawa,
khususnya di Yogyakarta, kaya akan kekayaan bahasannya. Di Yogyakarta
setidaknya ada beberapa bentuk bahasa. Mulai bahasa jawa krama alus, krama
lugu, krama inggil, ngoko lugu, ngoko alus dan ngoko inggil. Guru Seni Budaya
ini juga kagum dengan macam budaya lain seperti tarian tradisional, permainan
tradisional dan makanan tradisional. Semuanya memiliki kekhasan.
Pak Sudi, panggilan akrabnya, selalu mengenalkan
kepada anak didiknya tentang seni budaya Yogyakarta dengan metode pengajaran
yang memperbanyak praktikum daripada teori. Menariknya, ketika mengajar juga
mengajak untuk jalan-jalan ke tempat bersejarah. Mengingat Yogyakarta juga
sebagai sasaran turis untuk berkunjung dan mengenal kebudayaan Jogja lebih
detail.
Berbeda dengan Eutik Sadiah, guru Pembimbing Seni
Budaya, SMK INSAN MULIA, Yogyakarta. Cara Ia melestarikan dan mengenalkan
budaya kepada anak didiknya dengan menanamkan nilai dan moral budaya sedari
dini. “Sehingga mereka akan terbiasa sampai dewasa. Misalnya mengajak untuk
menonton kesenian daerah, mengajak melakukan kunjungan ditempat bersejarah, dan
membatasi serta mengawasi anak untuk tidak bermain gadget unt hal negatif,”
paparnya.
Tidak di munafikan bahwa kemajuan teknologi memberikan
kekhawatiran para guru kepada anak didiknya. “Budaya Barat masuk memberikan
pengaruh dan banyak remaja yang justru meninggalkan budaya yang kita miliki,”
kata Pak Sudi menyayangkan. Keprihatinan ini juga sama seperti yang dirasakan
oleh bu Eutik. Meskipun demikian, mereka tetap tidak berputus asa untuk
membangun membangun semangat cinta terhadap budaya sendiri.