Tuesday, June 30, 2015

Kehilangan Rasa Kemanusiaan



Foto : Elisa

Pesawat Hercules jatuh di Medan. Ini menarik. Di balik kecelakaan yang terjadi, apapun bentuk kecelakaan tersebut, pasti menjadi tontonan. Perhatikan, saat terjadi kecelakaan sepeda motor, si korban terseret begitu jauh karena kecelakaan tersebut, perhatikan apa yang terjadi? Sudah jelas lebih banyak orang yan menonton dan memotret daripada orang yang menolongnya. Bukankah demikian?
Saat beberapa tahun yang lalu, ketika Pesawat Garuda tergelincir di Bandara Adisucipto saat turun, lebih banyak orang yang menonton daripada yang menolong. Ironisnya, pihak pengamanan harus di sibukkan dengan pengamanan sekitar lokasi, agar warga sekitar tidak semakin memadati lokasi kejadian. Pihak keamanan yang bisa saja fokus pada evakuasi, harus terpecah pada pengamanan antusiasme warga.
Kecelakaan pesawat Hercules mengingatkan pada kecelakaan lainnya. Setiap terjadi kecelakaan terjadi, mengingatku pada masyarakat yang mulai kehilangan rasa kemanusiaan. Manusia semakin sensitive, bukan sensitive terhadap nilai kemanusiannya, tapi sensitive pada berita yang menguntungkan diri yang bersifat ke-aku-an. Orang berbondong-bondong tidak ingin ketinggalan dan ingin yang terdepan dalam memberitakan insiden tersebut. Padahal, ada tugas wartawan untuk menyapaikannya. Memang tidak masalah, yang jadi masalah ketika mengutamakan update dan jadi penonton, sehingga si korban dikesampingkan.
Bukan, ini bukan soal besar atau tidak berita. Mungkin sebelumnya, berita-berita semacam ini juga pernah terjadi di masa sebelum gadget. Tahun-tahun belakangan ini saja, kekuatan teknologi mampu menghebohkan hal kecil menjadi masalah. Teknologi itu ibarat seperti cameramen televise. Saat cameramen menge-shoot salah satu penyanyi secara terus menerus, maka masyarakat akan mendefinisikan bahwa si A itu adalah anggota penyanyi yang cantik dan manis. Padahal itu ulah seorang cameramen yang terlalu sering menge-shoot si A.

Khasanah Bulan Puasa Kini



Foto : Elisa

Marhaban ya Ramadhan. Umat Islam diseluruh dunia merayakan puasa. Lain Negara, lain budaya tentunya. Salah satunya di Indonesia, terkhusus di wilayah Yogyakarta. Banyak sekali event yang muncul dibulan puasa. Salah satunya, muncul pasar dadakan, atau setiap teras rumah dekat jalan mendadak menjajakan beraneka makanan maupun minuman. Yihui, segeeeerrrr. Mulai kolak berbahan dari pisang, sampai kolak yang berisi beraneka buah. Dicampur dengan sirup dan kuah yang manis, berwarna menggoda. Duh, duh, begitu dimanjakan pencernaan tubuh ini.
Di tilik dari sudut pandang manapun juga, setiap sudut titik jalan tetap memiliki ke khasannya masing-masing. Salah satunya adalah, setiap sore beberapa titik tempat menjadi begitu riuh, ramai dan alhasil walhasil macet. Saat siang hari, menghemat tenaga dengan berdiam di dalam ruangan, meminimalisir keluar tersengat matahari, karena takut energy tersedot dan lemas. Ya, jika itu tidak Anda alami, setidaknya ini yang saya alami, sekedar di dalam kantor bekerja dan malas keluar.
Atmosfir lain di bulan puasa, selain mendadak muncul pasar tiban dan hampir semua rumah menjajakan makanan. Ada pula suasana mendadak banyak orang yang menawarkan makanan lebaran di tempat kerja atau lewat online. Hem, saya kira di Yogyakarta ini semua orang muslim itu puasa. Ternyata tidak. Ih WOW, saya sedih karena baru tahu diusia saya yang 24 tahun ini. Begitu banyak orang yang ternyata tidak berpuasa.

Saturday, June 27, 2015

Tidak Memiliki Uang Bukan Alasan Untuk Putus Sekolah



Pernah mengalami putus sekolah? Saya pernah dan terjadi beberapa kali. Meskipun tidak begitu mengenaskan, yah, lumayan bisa digunakan untuk bercerita dan menjadi bahan tulisan. Menurutku dan bagiku, sekolah dimanapun tidak masalah, yang menjadi masalah ketika kita tidak mendapatkan apa-apa dari sekolah itu.
Sejak dulu, sejak duduk di bangku SMP mendapatkan sekolah yang nyaris tutup. Yah, sekarang SMP tempatku belajar sudah berstandar Nasional. Disinilah zona amanku, saat SMP. Meskipun ayah kerja tidak pasti peghasilannya, ada kakak perempuanku yang Ibu andalkan untuk biaya pendidikanku. Bahkan, waktu SMP saya sudah memegang ponsel pribadi pertamakali.
Saat dibangku SMK, karena kakak perempuanku pulang dari merantau dan sudah berkeluarga, maka tidak ada yang diandalkan lagi. Ada fase dimana saya tidak bisa membayar sekolah, untungnya, karena kemampuanku dibidang non akademik, sekolah mencarikanku beasiswa. Yah, beasiswa karena memperkenalkan SMK yang nyaris tutup itu ke media.
Begitupun ketika duduk dibangku Perguruan Tinggi. Singkat cerita, karena mendapatkan beasiswa bebas uang gedung dan beasiswa SPP & SKS selama setahun, saya meneruskan Perguruan Tinggi. Semester ke tiga, masalah kembali menerpa.  Waktu itu, uang kerja paruh waktu di rental computer habis digunakan untuk membayar angsuran kredit motor. Sedangkan untuk membayar SPP & SKS pun tidak ada sepersenpun. Bapak tidak bekerja, dan Ibu sebagai pengasuh bayi tidak sebera, habis untuk uang makan sehari-hari.

Friday, June 26, 2015

Ini Dia Perilaku Pelajar dan Mahasiswa Jaman Sekarang



Ijazah tidak menjamin kita bisa masuk surga. Ijazah juga tidak selamannya bisa menjamin kita bekerja di perusahaan ternama.  TIdak dapat dipungkiri, ijazah menjadi modal utama untuk melamar pekerjaan. Hingga muncul kasus pemalsuan ijazah.
Sesekali bertanya pada diriku sendiri, lebih penting ijazah atau lebih penting pendidikan? Pendidikan? Pertanyaanku ini membuat kepalaku terasa pusing. Pusing, karena pendidikan pun menjadi media untuk pamer dan membanggakan diri. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya saat ada orang yang bertanya “Kamu kuliah dimana?” maka dengan bangga akan menjawab “Aku kuliah di UGM”, “Aku di ITB” atau “Aku kuliah di luar negeri”. Ih WOW bukan??? Memang, tetapi kembali lagi, dimanapun mengenyam pendidikan, harusnya dikembalikan pada si pelaku sendiri.
Ketika aku masih kecil, masih SD sebagian besar teman-temanku mengenakan baju seragam baru yang rapi dan bersih. Selain itu, mereka juga memamerkan tas, sepatu, dan diskrip mereka yang bagus dan mahal. Sedangkan, ada anak-anak lain yang tidak mampu membeli tas, sepatu dan diskrip baru, setiap ajaran baru hanya diam. Iri. Dan, nampaknya iripun tidak pantas bagi mereka yang miskin.
Atau cerita lain ketika aku masih duduk di Perguruan Tinggi. Banyak yang mengunakan motor bagus, setiap ada motor keluaran baru selalu beli baru. Atau, membeli gadget  baru setiap ada keluaran terbaru. Ada juga yang menggunakan tas cantik ke kuliah seperti tas kantoran, banyak pula yang ke kampus mengenakan tas seperti artis papan triplek. Banyak pula, setiap pagi masih diberi uang saku jajan dan uang bensin. Setiap kali memfotocopi dan membeli buku juga sudah diberi anggaran atau masih bisa meminta kepada orangtua. Yah, secara tidak langsung, orangtualah yang selama ini membiayai semua tetekbengek selama kuliah bukan?