Foto : Elisa |
Pesawat Hercules jatuh di
Medan. Ini menarik. Di balik kecelakaan yang terjadi, apapun bentuk kecelakaan
tersebut, pasti menjadi tontonan. Perhatikan, saat terjadi kecelakaan sepeda
motor, si korban terseret begitu jauh karena kecelakaan tersebut, perhatikan
apa yang terjadi? Sudah jelas lebih banyak orang yan menonton dan memotret
daripada orang yang menolongnya. Bukankah demikian?
Saat beberapa tahun yang
lalu, ketika Pesawat Garuda tergelincir di Bandara Adisucipto saat turun, lebih
banyak orang yang menonton daripada yang menolong. Ironisnya, pihak pengamanan
harus di sibukkan dengan pengamanan sekitar lokasi, agar warga sekitar tidak
semakin memadati lokasi kejadian. Pihak keamanan yang bisa saja fokus pada
evakuasi, harus terpecah pada pengamanan antusiasme warga.
Kecelakaan pesawat Hercules
mengingatkan pada kecelakaan lainnya. Setiap terjadi kecelakaan terjadi,
mengingatku pada masyarakat yang mulai kehilangan rasa kemanusiaan. Manusia semakin
sensitive, bukan sensitive terhadap nilai kemanusiannya, tapi sensitive pada
berita yang menguntungkan diri yang bersifat ke-aku-an. Orang berbondong-bondong
tidak ingin ketinggalan dan ingin yang terdepan dalam memberitakan insiden
tersebut. Padahal, ada tugas wartawan untuk menyapaikannya. Memang tidak
masalah, yang jadi masalah ketika mengutamakan update dan jadi penonton,
sehingga si korban dikesampingkan.
Bukan, ini bukan soal
besar atau tidak berita. Mungkin sebelumnya, berita-berita semacam ini juga
pernah terjadi di masa sebelum gadget. Tahun-tahun belakangan ini saja,
kekuatan teknologi mampu menghebohkan hal kecil menjadi masalah. Teknologi itu
ibarat seperti cameramen televise. Saat cameramen menge-shoot salah satu
penyanyi secara terus menerus, maka masyarakat akan mendefinisikan bahwa si A
itu adalah anggota penyanyi yang cantik dan manis. Padahal itu ulah seorang cameramen
yang terlalu sering menge-shoot si A.