Tuesday, April 21, 2015

Ketika Sepihak Rasa, Ini Yang Bisa Dilakukan



Aku tak ingin membuatmu menangis dan bersedih. Sungguh, sebenarnya aku tidak inginkan hal itu. Aku lebih memilih aku yang menangis daripada kau yang menangis karena kau memaksa perasaanmu kepadaku.
Itulah beberapa fenomena yang sering dirasakan bagi beberapa pasangan diluar sana yang akhirnya cintanya tidak bahagia. Tapi, apapun itu, yakinlah bahwa akhir cintamu kelak, tetap akan bahagia. Jika tidak bahagia dengan orang yang sekarang kau cintai, kelak kau akan bahagia dengan orang yang mencintaimu.
Ini beberapa hal yang kamu lakukan jika ternyata kau menemukan cinta yang sepihak rasa.
Jangan memaksa orang lain mencintai kita. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik. Tujuan dari menyatakan cinta dan berharap cinta saling bersambut adalah membahagiakan satu sama lain. Ketika cinta tidak bersambut, dan kita memaksakan salah satu dari kita untuk mencintai, maka hubungan itu hanya ingin mencapai kebahagiaan satu pihak saja.
Jika memang kita mencintainya, biarkanlah, lepaskanlah ia. Belajarlah kita menjadi sosok yang tulus dalam mencintai. Tulus itu hal yang tidak mudah dan berat. Karena berat, kita harus berusaha bagaimana caranya. Jika kita memang mencintainya, biarkanlah ia dengan hidupnya. Nikmati saja rasa cinta yang menyedihkan bagi kita detik itu, itu lebih baik daripada kita memaksa hati orang lain, demi kebahagiaan diri kita sendiri. Sedangkan orang yang kita paksa tidak bahagia. Relakah orang yang paling kita cinta menderita karena kita?
Merelakan itu hal yang berat. Karena berat, itulah esensi kebahagiaan yang sesungguhnya. Anggap saja, ini cara Tuhan menyakiti kita untuk sementara waktu. Setelah rasa sakit yang kita hayati, Tuhan akan berikan rasa bahagia yang berlipat. Lebih baik tangisan kita yang menanggung, daripada orang yang kita kasihi, orang yang berhak bahagia dengan pilihannya, menangung penderitaan kita karena paksaan. Ikhlaslah, meski ikhlas itu sulit dan membutuhkan waktu. Bahkan, kata ikhlas lebih berat dari perang senjata dan debat mulut.

Dibalik Rasa Kasihsayang



Pergilah rasa bersalahku. Aku sadar, aku tidak bisa menyalahkan oranglain sebagai pembelaan atas rasa krisis pada diriku. Aku sadar, kesadaranku bahwa orang lain tidak bersalah semakin memperosokan perasaanku semakin dalam. Tolong, bantu aku membuang rasa bersalahku.
Bukan salah dia, atau salahnya. Bukan, ini masalahku. “Tuhan, kau tahu. Ini sikap dan tingkahlakuku yang bersalah. Tuhan, aku sadari itu. Semakin aku menyalahkan diriku. Semakin sedih diriku yang tidak mampu melawan egoku”
Selalu menangis. Antara menangisi diriku sendiri dan menangisi orang lain. Ingin minta tolong, tapi tidak ada satupun yang bisa dimintai tolong, selain diriku sendiri. Entah jiwaku yang mana, marah karena tidak dihargai, terbuang dan tidak seharusnya jiwaku, entah yang mana dari sisiku, tidak melakukan hal semacam itu.
Aku malu, sungguh malu. Semkin aku merasa bersalah diriku sendiri. Aku tidak bisa menunjuk siapa yang salah, karena memang aku yang bersalah. Memang lebih baik dibuang dan tidak direspons sekalian, sekalipun itu menyakitkan. Itu memang baik. Memang, memang itu benar.
Aku ingin ada orang yang mengerti, tapi siapa lagi yang bisa mengerti. Aku merasa bersalah dengan diriku dan pada orang lain. Seandainya aku tega memotong tanganku, mungkin sudahku potong agar aku tidak berulah mengusik hidup orang lain. Aku semakin menyalahkan diriku sendiri.
Aku merasa bersalah dengan cara dan egoku. Seandainya aku mampu menekan off egoku, mungkin sudahku tekan off. Agar perasaanku tidak selalu hidup dan tumbuh. Tolong, bantu aku keluar dari dari pengharapan kosong yang semakin membuatku bersalah.
Aku tidak seperti apa yang tampak. Aku jauh berbeda dari apa yang tampak. Aku ini bukan siapa-siapa yang sedang mencari siapa yang mampu menghentikan rasa bersalahku. Aku tidak menyuruh orang bersedia membantuku, tapi sebenarnya butuh bantuan. Aku hanya berusaha agar tidak terus merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Aku selalu mencari alasan agar mampu menyalahkan orang lain, agar aku tidak menyalahkan diriku sendiri.

Saturday, April 11, 2015

Aku Menulis Karena Aku Menyukainya



Foto : Elisa

Berlarilah Rima menuju ke kelas 2, Akuntansi 1. “Elisa mana? Kamu mengirim puisi di KR?” Tanyanya penuh heran. Aku sendiri hampir melupakannya, kalau pernah mengirimkannya. Yihu, benar saja, tepatnya tahun 2008, adalah Tahun yang paling berkesan bagiku. Di tahun inilah, Ibu memberi restu mimpi gila saya, yaitu menjadi seorang penulis. Sejak tiga tahun yang lalu, ibu tidak sepenuhnya merelakanku menjadi seorang penulis. Ini tiket satu-satunya yang bisaku jadikan tiket mengambil hati Ibu, bahwa “Aku bisa”. Waktu itu, saya masih duduk di bangku SMK, jurusan Akuntansi kelas 2.
Kenapa kamu ingin menjadi penulis? Apa enaknya menjadi penulis? Itulah pertanyaan klasik yang sering teman-teman lontarkan padaku. Jawabku seklasik pertanyaan mereka. Karena aku suka menulis
Karena Aku Suka
Karena Aku Suka Menulis, itulah alasan sederhana. Tidak ada alasan spesifik kenapa saya terobsesi menjadi seorang penulis. Padahal, sejak dibangku SD, bisa dibilang saya mengalami gangguan ADHD, susah konsentrasi, susah menuliskan kalimat dan bentuk kesulitan belajar yang lainnya.
Saat saya duduk di bangku SD, kelas tiga, saya masih belum bisa membaca dan menulis sama sekali. Sehingga, harus tinggal kelas. Saya mulai belajar mengeja dan menulis ketika dibangku kelas empat. Kelas enam, saya masih terbata-bata membaca.
Naik di bangku SMP, tidak ada perubahan signifikan. Hal yang pasti, saya mulai semangat belajar ketika dibangku kelas Lima. Saat duduk di bangku SMP kelas 2, karena alasan menghemat uang – lebih tepatnya karena diberi uang saku ortu super minim – saya sering ke perpustakaan sekolah. Sekedar membantu membersihkan Mbak Alfi. Pada suatu ketika, saya melihat satu buku terjemahan luar negeri.
Buku yang saya lupa judul dan penulisnya itulah, yang memotivasiku ingin memiliki komputer sendiri dan menulis. Padahal, kemampuan membaca, menulis waktu itu jauh lebih buruk dibandingkan teman-teman seusiaku. Berawal dari itulah, motivasi belajarku mulai terpompa hingga kekuatan superjet. Alasan klasik ini pulalah yang menyebabkan Ibu terlanjur underestimate terhadap cita-citaku ingin menjadi seorang penulis.