Monday, June 30, 2014

Empat Keistimewaan Kaum Muhammad SAW



Pernah terbersit pertanyaan seputar siklus kehidupan yang terjadi pada diri kita? Atau kita pernah melakukan suatu kejahatan besar dan akhirnya kita mengakui kecintaan Tuhan terhadap kita sangatlah besar. Meskipun melakukan kejahatan di mata Tuhan, ia tetap bermurah hati memberikan kasih sayang, menjamin rejeki dan tidak menghukum kita detik itu juga. Itulah keistimewaan menjadi kaum nabi Muhammad.
Nabi Adam iri kepada kaum Nabi Muhammad, kenapa bisa adam bisa iri kepada Nabi Muhammad? Padahal saat Adam diturunkan Muhammad belum diturunkan di Bumi? Pertanyaan yang menarik. Adam sudah mengetahui, suatu hari akan ada kaum Muhammad yang memiliki empat keistimewaan yang diberikan Allah.
Pertama, Allah tidak menghalangi rizki setiap hamba-hambanya. Baik hamba yang beriman kepadaNYA maupun yang tidak beriman kepadaNYA. Jadi Allah tetap menjamin rizki setiap hamba yang hidup di bumi pada umat Nabi Muhammad. Disinilah kemurahan Allah kepada hambannya. Sedangkan di masa Adam tidak demikian terjadi.
Kemudian ada seorang anak bertanya pada buliknya, “Lalu kalo beriman, tidak beriman, jahat atau tidak jahat sudah dijamin oleh Allah dan ditanggung kehidupannya selama didunia, untuk apa berbuat baik? Toh yang jahat tetap bisa meneruskan kejahatan, yang kaya tidak beriman dan munafik, syirik dsb juga tetap dijamin rizkinya?”.
Sambil mengotak-atik komputer, bulik menjawab “Itulah bukti kasih sayang Allah kepada hambanya, itulah bukti bahwa Tuhan Maha adil. Lalu apa fungsinya surga dan neraka? Tuhan bersikap seperti itu karena biar surga dan neraka laku. Bagi yang tidak beriman kepadaNYA, tuhan tetap memberikan haknya selama didunia, nah di akhirat nanti tinggal diberi haknya ke neraka. Sedangkan orang yang beriman dan ternyata di dunia tidak cukup beruntung itu juga tetap yang teradil menurut Allah. Karena kenikmatannya akan diberikan di akhirat nanti. Jadi kesusahan dan kepedihannya diberikan selama di dunia. Kira-kira seperti itu dik”.
Kedua, Allah tidak menghilangkan kesehatan hamba-hambanya. Tuhan memberikan kesehatan jasmani dan rohaninya jika hambannya mau merawatnya. Berbeda pada masa Adam, masa Muhammad memiliki banyak kemampuan yang lebih cemerlang. Misalnya banyak dokter mutakir dan para peneliti yang menemukan pengobatan yang dapat menyembuhkan banyak penyakit aneh-aneh. Itulah, kenapa di masa Muhammad banyak muncul-muncul aneh, sebenarnya itu bentuk dari keseimbangan alam yang tanpa disadari manusia.

Pandanganku vs Pandangan Tuhan



Pengetahuan manusia tdk sluas pngetahuan Tuhan, pengetahuan manusia hanya setitik sinar berserakan ini (Foto : Elisa)

Disebuah masjid yang besar, mataku mengamati beberapa orang yang mengenakan jilbab. Bukan karena mendiskrimanasikan mereka, karena aku sendiri termasuk yang berjilbab, hanya saja banyak cerita. Terlepas cerita itu benar atau salah, yang jelas bukti yang sering aku lihat memang seperti cerita yang berseliweran itu. Mengulas soal ibadah. Mengingatkanku pada salah satu kawanku.
Mayoritas teman dan kenalanku adalah orang umum, mulai islam yang berjilbab dan islam tidak berjilbab, bahkan sampai orang-orang non muslim sekalipun. Banyak belajar dari pergaulan seperti ini dari mereka. bagaimana dinamika, pemikiran dan tingkah laku mereka. Sangat mengerti betul. Suatu ketika, kawan saya berkunjung disuatu tempat, adzan berkumandang. Kawan saya ini menyempatkan mampir melaksanakan kewajiban (sholat). Masuk ke salah satu masjid besar, secara fisik memang kawanku ini tidak mengenakan jilbab seperti muslim lain. Bukannya disambut hangat, justru diusir tidak boleh beribadah di moshola. Sehingga memberikan kesan bahwa islam itu keras. Padahal sekeras-kerasnya islam memiliki “tata krama” yang sopan dan santun.
Suatu ketika, masuklah kesebuah mall bersama teman-temanku. Banyak stand berjualan, mulai dari baju, aksesoris, maupun barang-barang mewah lainnya. Pelayannya berpenampilan seksi dan memakai rok mini. Waktu kian siang, memutuskan naik ke lantai atas mendirikan sholat dhuhur. Di sana ada beberapa penjaga yang memakai rok mini dan cantik itu juga sholat. “wuih, ternyata sholat”, itu yang terbersit dipikiran secara umum mungkin.
Tuhan itu milik semua, bahkan Tuhanlah memiliki dan menguasai semua manusia. manusia yang berok mini, yang ber-rok cekak maupun tidak ber-rok sekalipun juga milik Tuhan. Apakah Tuhan itu hanya untuk mereka yang tertutup? Sejak kapan orang mengaku-aku Tuhan hanya milik orang yang tertutup. Sadis dan egois sekali kalo begitu, mereka yang terbuka dan sering melakukan maksiat tidak berhak memiliki Tuhan kita Allah begitukah?. Sejenak aku menjadi berfikir, begitu munafiknya diriku, bahkan lebih menufik. Mengaku-aku kaffah, padahal cara berfikir dan menanamkan fikiran sok kaffah, tetapi belum cukup paham apa itu kaffah.
Kembali merenung, melihat kebelakang semua kejadian dan pengalaman yang sudah terjadi. Mereka yang belum mampu menutup aurot, mengusik pikiranku. Apakah syurga dan neraka ditentukan dari hal itu? kalo iya, kenapa banyak cerita hikmah didalam agamaku yang menceritakan seorang pelacur sekalipun bisa masuk surga karena memberikan air kepada si anjing yang kehausan? Padahal dengan jelas, pelajur tertuliskan dan dituliskan perbuatan dosa besar yang tak terampuni. Kemudian ada seorang pemuda yang membunuh 99 orang, dan akhirnya masuk syurga? Kenapa? Apakah aku yang bodoh mengolong-ngolongkan orang masuk syurga hanya lewat cara berpakaian? Ah mungkin aku yang bodoh dan sok tahu ternyata. Padahal maha tahu itu hanyalah Allah. Sombong sudah jika mengaku-aku sok tahu dengan apa yang kita ketahui, padahal itu belum seberapa dibandingkan ilmu yang Allah miliki.

Sunday, June 29, 2014

BLUSUKAN JAKARTA PART 3 : Hotel Mewah Tak Semewah Hati Para Pengunjung



Taksi berwarna biru berhenti tepat di depan kantor. Kami segera malaju menuju salah satu hotel yang cukup besar dan berbintang di Jakarta. Taxi menuju ke Bandara Soekarno Hatta, gedung-gedung menjulang. Kali ini saya tidak berdecak kagum seperti orang-orang “ndeso” pada umumnya, meskipun saya sendiri berasal dari “ndeso”. Justru miris aku melihat gedung menjulang, ketika sesampai dijembatan layang, entah di kawasan mana saya tidak tahu. Kejauhan terlihat milyaran genting didataran rendah, kemudian kanan kiri gedung-gedung menjulang sangat tinggi.
Dari kejauhan udara terlihat begitu suram. Sangat suram, tidak terlihat jelas oleh mata. Mungkin itu efek fatamorgana bercampur asam kendaraan Ibu kota dan asap pabrik di kawasan Tanggeran sana. Sedih aku melihatnya, dan cukup damai hidup di Desa saja. Taxi kembali kedataran yang lebih rendah, tak bisa saya memandang panorama yang menyedihkan di Ibu Kota. bagiku, tidak ada daya tarik sama sekali. Pohon nyaris jarang terlihat. Sepanjang jalan hanya pohon dipinggir jalan satu dua tiga saja.
Tibalah di Hotel Sheraton Bandara Jakarta. Kali ini tidak menginap. Bukan, kali ini saya mendapat kesempatan mengikuti rapat bersama para menteri minyak di tanah air. Mengikuti proses rapat yang dihadiri petinggi besar dan penting. Mungkin di sana ada menteri yang sering muncul di televisi, sayangnya selama ini saya sendiri tidak pernah melihat televisi. Wajar jika saya menyamaratakan mereka semua, menyamakan seperti halnya saya sebagai masyarakat biasa (miskin, kaya dan terkenal maupun tidak terkenal sama saja). Tak peduli dengan orang-orang yang ada di depan saya pada waktu itu. Seusai rapat, dan menjadi notulen. Salah satu sekertaris atasan kita bercerita kepadaku sosok orang-orang penting yang ada di depanku dengan segala prestasi dan lain sebagainya. Saya hanya mengangguk, memang setelah diceritakan aku juga tetap tidak mengerti dan tidak tahu siapa. Menurut ceritannya, beliau para menteri kaya di Indonesia. lagi-lagi wong ndeso hanya mengangguk dan dengan polos “ooooo…”, dalam hati, aku tidak peduli dengan itu.

BLUSUKAN JAKARTA PART 2 : RAMDHAN TAHUN 2012 LALU



Teringat masa ketika saya magang di salah satu “oil” di Jakarta Selatan. Kali itu saya bersama kedua sahabat saya tinggal di Komplek perumahan cukup elite di kawasan Kalibata. Rumah yang kita tumpangipun rumah salah satu yang cukup memiliki nama di Negeri ini. Masih ingat betul pada saat itu juga bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Hal yang menarik bagi saya ibadah di sana. Di Jakarta itu mau sholat sulit, mau puasa godaannya juga besar. Di sana itu, ramadhan atau tidak ramadhan suasannya sama kayak tidak ramadhan, mungkin beda. Tapi tidak sekental di Jogja.
Bukan Jakarta namannya, jika segala sesuatu mudah dijangkau. Sesuatu yang sebenarnya mudah dijangkau terasa sulit dijangkau. Seperti saat itu, malam tarawih pertama. Saya dan kedua sahabat saya kesulitan mencari mushola atau masjid yang dekat kompleks.
“Itu non, samping kompleks ada masjid. Mau tarawih non? Yuk bareng saja”, sahut mas Jo pengertian. Mas Jo adalah salah satu penjaga rumah yang kita tumpangi.
“Dekat apa jauh mas Jo?” tanyaku penasaran, karena suara adzan cukup santer terdengar dari rumah.
“Dekat, Cuma situ”, jawabnya sambil berkemas mengambil kopiah dan mengambil air wudhu.
Aku segera lari ke lantai dua mengambil mukena, disusul kedua sahabatku.
“Tunggu mas Jo!” kita bertiga lari mengutil di belakangnya.
Kami keluar dari kompleks, yeah… makam pahlawan kalibata terlihat diujung mata. Makam yang pernah disebut-sebut saat saya wawancara di Makam pahlawan kusumanegara mengatakan makam pahlawan kalibata memperoleh penghargaan dan memperoleh kucuran dana perawatan yang cukup banyak itu benar-benar pemandangan biasa yang sering aku lihat. Tidak hanya di awang-awang lagi, dan memang bersih dan bagus. Kami menyusuri jalan raya yang masih saja padat, semakin padat malah. Suara klakson mobil metromini berdempim, saling bersahutan dengan motor roda dua dan mobil pribadi, karena banyak yang menepi sekedar berbuka. Kami  belok kanan masuk ke gang, melewati markas Slenk ketika berlatih musik.
“Mas Jo, katanya deket. Kok jauh. masih jauh nggak?”
“Nggak non, deket lagi. Tuh disitu”, jawabnya
Kita berjalan, menguntit dibelakangnya. Lagi-lagi kaki sudah capek. Yah itulah pengalaman ketika di Jakarta. Masjid yang cukup besar. Ini pertamakalinya tarawih di Ibu Kota seorang diri tanpa sanak saudara, tanpa ada sanak saudara pula di sana. Semenelantar-lantarnya kita, tetap orang yang paling beruntung, setidaknya merasakan sebulan tinggal dirumah gedongan dan merasakan jadi orang kaya dan naik mobil pejabat meskipun diam-diam, ke kantor juga fasilitas cukup.
Tahukah kamu, masjid yang terasa jauh sebenarnya sangat dekat dengan rumah yang kita tinggali. Penyebab kenapa lokasi tersebut nampak jauh adalah, karena komplek perumahan di dinding tinggi. Sehingga harus muter komplek terlebih dahulu. waktu yang dirasakan disana pun juga tarasa sangat singkat. Banyak waktu habis di jalan.

Friday, June 20, 2014

Melarang Tahlil & Sholawat, Tetapi Tetap Melakukannya Tanpa Sadar



Foto : Elisa
Di dalam Islam, Apa hukumnya tahlil dan sholawat? Boleh atau tidak boleh? Ada segolongan yang mengatakan tahlil boleh, ada pula yang mengatakan tidak boleh, itu bid’ah dan lain sebagainya. Kali ini kita membahas hukum tahlil.
Membahas tahlil, untuk lebih jelasnya, kita harus tahu terlebih dahulu sejarah kemunculan NU dan Muhammadiyah (MD). NU lebih fokus pada masyarakat “ndeso”. Karena orang “Ndeso”, mereka sulit dalam menangkap informasi dan pemahaman baru. MD lebih fokus pada masyarakat “kota”. secara logika dan pemahaman jauh lebih baik selangkah dibandingkan orang-orang yang “ndeso” itu tadi.
Sebagian Muhammadiyah ada yang melakukan tahlilan dan sholawat, ada pula yang tidak melakukan tahlilan dan sholawat. Ini karena mereka memiliki dasar sendiri. Mayoritas Muhammadiyah yang melakukan tahlilan dan sholawat adalah mereka yang berada dikawasan perkampungan atau “ndeso” karena berbaur dengan orang-orang “ndeso” yang mayoritas adalah orang NU.
Penyebaran Islam Muhammadiyah dalam mengenalkan agama Islam lebih mudah. Karena mereka lebih memiliki kemampuan kognisi yang lebih maju. Berbeda dengan orang NU, penyebaran islam jauh lebih sulit. Karena di desa, masyarakat lebih kolot dan kuper (nyaris tidak tahu dunia peradaban kota) pada waktu dulu. Orang “ndeso” saat diberikan pengertian A tidak langsung paham, sebaliknya orang kota saat diberi pengertian A, mereka cepat menangkap dan paham, inilah perbedaan yang menyebabkan terjadi perbedaan antara MD dan NU. Agama yang mereka anutpun sebelumnya (Hindu dan Budha) juga masih sangat begitu kental. Mereka juga cukup keras menerima ajaran islam masuk. Karena budaya yang sudah ada pada itulah, Islam diperkenalkan dengan cara-cara yang lebih halus kepada mereka. misalnya dengan tahlilan, sholawatan, dan lain sebagainya.

Tuesday, June 17, 2014

Elegi Hidup Yang Tetap Disyukuri


Sedih itu ketika kakak pertama saya keluar dari rumah. Ia keluar rumah bukan karena ada masalah dikeluarga terjadi pertengkaran konflik dan lain sebagainya. Tetapi karena gangguan kejiwaan yang dialami kakak pertama. Tepatnya setahun setelah gempa 2006 yang lalu, depresinya tengah parah-parahnya. Saat itu, tidak ada yang bisa diandalkan. Seisi rumah tidak tahu akan mencari kemana. Hampir seminggu belum pulang jua.
Ayah saat itu juga segera pergi menjemput ke Semarang, karena dikira pergi kesana. Hasilnya di sana hasilnya nihil. Hal yang paling menyedihkan ketika air mata ibu menetes  dan pikirannya kalut. Tentu saja, keluarga siapa yang anggota keluarganya keluar dari rumah karena gangguan jiwa. Uang tidak ada, sepanjang jalan dia makan apa? Hujan seperti ini juga berteduh dimana? Tidur dimana? Itulah yang menganggu pikiran sekeluarga.
Teringat pula pengalaman hidup ketika ke Jakarta bertemu dengan pak Josua, kalimat yang masih saya ingat betul “Saya juga punya anak seperti kalian, cewek juga. Aku menolong agar anakku juga memperoleh pertolongan dari Tuhan jika anakku tengah mengalami kesulitan, dan tidak ada orang satupun yang menolong”, itulah setiap kali melihat orang gila disepanjang jalan selalu berusaha memanusiakannya. Memang karena mereka juga seorang manusia yang sangat sangat pantas kita manusiakan, meskipun mereka tidak bisa membedakan ketika dia dimanusiakan atau sbaliknya.
Orang yang selalu kurang dan susah bersyukur banyak sebabnya. Mungkin orang tidak akan pernah paham bagaimana rasanya bahagia ketika mempedulikan oranglain, sedangkan orang yang dipedulikan tidak mempedulikannya. Berbuat baik, bukan berarti ia malaikat, tetapi bisa juga karena ia bisa merasakan atau pernah merasakan bagaimana perasaan orang yang disekitarnya. Lebih tepatnya rasa tidak tega hati. Orang gila di jalanan, bisa jadi juga dicari keluarga besarnya yang sama mencemaskan. Khawatir sudah makan atau tidak dan banyak hal lain.
Masalah penilaian orang lain itu urusan orang lain. Orang lain ingin membicarakan jelek atau baik itu juga urusan mereka. Urusan mereka bukan tanggung jawab saya. Karena jika meladeni urusan mereka, maka yang akan terjadi saya justru akan terpuruk, tidak berkembang dan lain sebagainya. Bloking mental itu bisa dimenajemen. Ketika saya mulai menyalahkan dan mencari-cari kesalahan orang lain, saya berusaha menyadarkan diri. kurang apakah saya? Orang terberuntung di dunia adalah saya, masih banyak orang diluar sana yang lebih menderita.

Gila Lebih Baik Daripada Mengaku-Aku Waras Tapi Jiwanya Gila



Foto : ELisa

Habis membaca sebuah tulisan Cak Nun, mengingatkanku saat dulu saya masih bekerja di rental komputer di seputar Jalan Wonosari km 14. Saat itu saya ambil sif pagi sampai malam karena di tengah-tengah saya harus cabut dari tempat kerja karena ada jam kuliah. Tepatnya pagi hari, sekitar pukul 11.00 WIB, kebetulan saat itu saya cewek sendiri, biasannya ada 2 atau tiga laki-laki. Datanglah lelaki berambut gimbal, berpita debu dan berkuku panjang. Celananya sobek dan masyaallah begitu tampannya ia, sampai-sampai tak tega menatapnya.
Lelaki itu menghampiri tokoo sambil membawa gergaji yang sudah usang, sesekali teriak-teriak seperti para demonstran yang tengah mencaci dan menjelek-jelekkan capreas maupun cawapres. Persis sekali seorang demonstran. Saya kira orang yang suka melakukan demonstrasi juga tidak jauh beda dengan si rambut gimbal ini. Bedannya hanya pada cara berpakaiannya.
Toko-toko lain menyebutnya gila, tetapi saya hanya menyebutkan orang yang kurang beruntung saja. Ia menghampiriku, tentu saja rasa takut itu ada. Secara aku adalah perempuan seorang diri. Saya beranikan diri, dengan suara yang lembut "Piye?". Ia pun mengeluarkan kalimat yang membuatku cukup kaget "Aku tuku wedang e kae", sambil menunjuk ke sebuah kulkas, sambil mengeluarkan uang cepek. Saya berikan dan saya bukakan dan aku berikan minuman itu, dan menerima uang cepek itu, (tentu saja kekurangannya saya ganti, karena ini bukan toko saya).
Entah kenapa, yang aku fikirkan seperti ini. Hampir semua orang mengatakan dia GILA, tapi aku tidak memperlakukannya dia orang gila. Justru aku kasihan dan tidak tega melihat orang-orang kurang beruntung. Orang yang mengaku normal tetapi kelakuannya seringkali melebihi kelakuan orang yang gila. Pertemuanku dengan orang gila ini mengingatkanku pada seorang pelanggan yang memaki-maki dan marah-marah karena terjadi kesalahan pelayanan oleh salah satu rekan kerja saya. Wajahnya cantik, kuliahnya juga disalahsatu Perguruan Tinggi cukup bergengsi di Jogja. Meminta dan maksa agar uangnya dikembalikan. Di sisi lain memang itu hak seorang pelanggan dan kewajiban pula yang harus dilakukan oleh seorang karyawan. Namun disisi lain, Orang gila dan orang normal terkadang lebih baik orang gila.
Sebuah cerita lain lagi, lagi-lagi belajar dari sosok orang yang dicap sebagai orang GILA dalam arti sebenarnya. Suatu malam, kali ini Saya satu sif dengan teman laki-laki. Karena hujan, toko menjadi sepi dari pelanggan fotocopi dan sepi ketikan. Tak sengaja mata jatuh di toko Bakso dan mie ayam samping timur tempat kerja saya. Lagi-lagi ada pemuda berambut gimbal berpita debu dengan kuku yang sangat panjang. Seluruh tubuhnya berhembodikan oleh debu yang berkerak hitam. Ia duduk di depan toko mie ayam tersebut sambil menatap Jalan Wonosari. Aromannya harum sekali, tidak ada parfum yang menyamainya, dan tidak pernah laku bau parfum ini, baunya seperti campuran antara keringat campur kotoran kencing dan BAB jadi satu. Matannya kosong. Karena penasaran, sepanjang dua jam kurang saya amati gerak-geriknya.

Sunday, June 15, 2014

Pelukan Sebagai Obat Kekesalan Dan Sebagai Pengembali Mood


Berawal dari ponakan menangis karena ulahku. Saat itu, ketika bermain dengan koponakan kaki ponakan terjepit di sepeda. Refleks, spontanitas segera saya  lepas dan saya  peluk penokan erat, pelukan tulus, pelukan permintaan maaf, pelukan penenang. Awalnya saya  tidak menyadari pelukan sebagai obat kekecewaan, sedih dan lain sebagainya. Setelah kejadian ini. Jihan, itulah nama ponakan saya paling kecil. Detik itu juga, suaranya yang berteriak menangis begitu kencang, dalam hitungan menit saja tangisan itu sudah berhenti. Meski kesalahan bersumber padaku, tetapi ponakan teteap memeluk erat tubuh saya. Setelah cek dikaki, kakinya memerah dan luka. Sakit jelas, tapi tangisannya tidak over dan lama seperti tangisanku saat kecil. Sambil bertanya “Sakit dik kakinya? Bulik obati ya? Pakai ini ya yang dingin?”, tanpa sorot dendam atau menyalahkan, ponakan hanya terisak-isak sambil menganggukkan kepalanya sambil mengalungkan kedua tangannya dileher saya.
Karena penasaran, lain waktu ponakan tidak sengaja dibuat menangis olehku lagi. Segera saya  peluk dan saya  gendong. Tangisannya segera mereda. Lain waktu, ponakan menangis kembali, kali ini bukan karena ulahku, tetapi ulah kakaknya. Karena saat itu sedang sibuk, tidak ada yang berlari dan memeluknya. Ibuku yang tengah memasak hanya berceramah bla bla bla tanpa ada pelukan. Hasilnya tangisannya lebih lama berhenti. Ketika ibu saya menghampiri dan mengendongnya, tangisan itu masih tetap berteriak-teriak tak henti-henti.
Kembali lagi mengulas masa lalu penullis yang terkenal suka menangis. Setiap menangis bisa 8 jam lamanya. Saat saya  menangis dahulu memang saat saya  menangis tidak langsung dipeluk maupun diberikan sebuah sambutan hangat. Itulah kenapa saya  lebih lama menangis. Dan seingat saya (antara ingat dan antara lupa) setiap kali saya  menangis waktu kecil, sebenarnya karena membutuhkan perhatian. Ya, hanya butuh perhatian. Sebuah perhatian yang tidak harus saya  katakan, tetapi menuntut orang rumah paham apa yang saya  inginkan tanpa harus mengatakannya.
Dari kasus yang saya alami sendiri dan melalui beberapa eksperimen kecil-kecilan inilah, akhirnya saya memutuskan untuk googling. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pelukan adalah obat yang sangat ampuh untuk menyembuhkan kekecewaan, sakit, depresi, keminderan dan banyak hal lagi.
Saat seseorang melakukan pelukan akan menghasilkan hormon oksitosin. Bisa dibilang juga hormon oksitosin ini sebagai hormon cinta. Saat seseorang menghasilkan hormon oksitosin mereka bisa merasakan rasa bahagia (cek di googling sendiri ya yang penasaran). Daily Mail mengungkapkan bahwa hormon oksitosen ternyata dapat digunakan sebagai obat gangguan perkembangan pada anak-anak yang mengidap autisme.

Monday, June 2, 2014

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Cina Bukan Tuntutlah IJASAH Sampai Ke Negeri Cina


Jika tujuan awal adalah Ijasah, ketika ada permasalahan seperti ini (permasalahan negara, sosial, dan konfromnitas) yang digunakan ya hanya gelarnya. Dengan gelarnya, ngomong "bla bla bla" asal gelar kelihatan mentereng dan orang bodoh saja yang akan termanggut-mangut mendengarkannya.  Nampaknya aku juga salah satu orang yang bodoh yang mudah percaya apa yang dikatakan karena gelarnya itu.
Jika tujuan awal adalah gelar, ketika ada permasalahan seperti ini, mereka mengandalkan gelar besarnya bukan untuk menyatukan umat-umatnya, tetapi untuk menguatkan pendapat subjektifnya. Ilmunya digunakan sebagai pembenaran dan mekanisme pertahanan diri. Atau seperti aku, agar dianggap sebagai orang berintelektual dan gemar membaca, ikut hinggar binggar, ikut berdendang makian, bermandikan racun dari segala penjuru dan dari berbagai cara lewat jejaring maupun lewat non jejaring. Padahal dibalik itu, ada banyak hal yang tidak diketahui. Nyebar ini itu bak nyebar angket penelitian skripsi penuh semangat, padahal dibalik itu, bisa jadi pemilik angket memihak salah satu atau salah dua, bisa jadi penulisnya yang tidak tahu dan menyebbkan terjadi kesalahan dalam penulisan. Mungkin hanya aku saja yang bodoh, mudah keblinger dan mudah puas hanya mencari kepuasan dan butuh pengakuan. Ah mungkin aku yang bodoh, tetap meneruskan aksi dengan ke-PD-an super tetap memaki dan tetap sak klek dengan pendapat diri sendiri yang aku rasa sudah benar.
Nampaknya aku juga pengembira kebodohan, memanfaatkan mencari ijazah untuk pendongkrak status sosial, untuk cari reputasi, dan untuk pencitraan saat diundang dalam suatu acara bisa memamerkan gelar. Atau untuk mengantisipasi kelak jadi menteri atau bisa jadi mencalonkan jadi capres atau jadi anggota dewan, gelar menentukan pilihan rakyat. Bisa-bisa jurusan pun bisa menentukan keberpihakan rakyat untuk CONTRENG MONYONGKU dengan PD super duper dan lenggang kangku. Yah, mungkin aku yang terlalu kolot mematokkan pada gelar dan berfikiran seperti ini.