Wednesday, February 26, 2014

Mimpi-mimpi Anak Kampung



Malam ini ku bertandang ke rumah salah satu teman SMK, namanya Ratih. Dia salah satu temanku sekelas. Dia orang terpandai di kelas di bidang Akuntansi, kebalikan dari aku, aku lebih ke otak kanan. Dia orang yang cukup enak di ajak ngomong, supel tetapi dia cukup tertutup masalah pribadinya. Sosok teman yang membuatku menangis setiap kali mengingat jalan hidupnya.
Pernah suatu hari, ketika semua teman-teman sekelas memutuskan hijrah ke negara sebelah, Ratih dan teman-teman termasuk aku, memutuskan tetap tinggal di Jogja. Meneruskan cita masing-masing. Ratih, cita-citanya ingin menjadi seorang akuntan, setelah lulus ingin melanjutkan kuliah. Meskipun sadar, orangtua tidak memiliki biaya untuk tetap sekolah. Ia tak putus asa demi ilmu. Menggunakan sepeda ontel, Ratih dan ayahnya bersepda ontel berdua. Mendaftarkan ke Perguruan Tinggi ini dan itu, mulai dari UGM, UPN, YKPN hanya menggunakan sepeda ontel berdua.
Berceritalah Ayahnya malam ini, “Nekat mbak dulu. Di rumah hanya uang 300.000 tapi tetep saja nyoba mendaftarkan. Padahal uang gedungnya minimal 10 jutaan yang jurusan akuntansi mbak. Dulu nyepeda, banyak yang melihat, tatapan mengejek. Tapi ya itu mbak~ urip nek ra rekoso udu urip mbak,” paparnya.

Semut Bunuh Diri Masal Ketika Persediaan Makan Kurang

Sekelompok Semut (Foto : Elisa)

Ku semprotkan parfum di sudut tembok yang lain, sengaja tidak disemprotkan langsung ke semut-semutnya, jika itu aku lakukan, sama saja aku membunuh semut dengan sengaja. Mereka pun pergi teratur karena harum parfum.  Beberapa hari yang lalu, pulang dari lapangan ngambil data skripsi di salah satu sudut rumahku ada segerombolan semut. Semut-semut ini membawa telur-telur mereka.
Merinding, itu yang pertamakali aku rasakan saat melihat gerombolan semut ini. Segerombolan semut yang mengingatkan pada anak kambingku dulu yang pantatnya terluka, bekas luka itulah terdapat segerombolan Z yang memakan daging anak kambing. Hiiii!!!. Pindah topik membahas semut!
Semut adalah serangga terbanyak di dunia selain manusia. Setiap jengkal pasti juga akan kita temukan semut. Fakta dari semut, semut juga akan melakukan harakiri atau mati bunuh diri ketika kekurangan makanan. Mereka mati bunuh diri demi keberlangsungan hidup calon telur-telurnya. (Wuih~ keren ya). Seperti yang kita tahu, di kelompok semut terdapat tiga kelompok, yaitu ratu, semut pekerja dan semut betina. Menariknya, semut betina dan semut jantan setelah sayang-sayanggan, si semut jantan langsung mati. Kemudian semut betina tetap hidup bertelur, memberi makan telur semut. Catatan penting, semut betina bisa dibilang semut paling steril diantara semut-semut yang lain. (wah~~ wah~~ wah~~).

Pendakian Turgo Tinggalkan Traumatis



Curamnya Medan
Kembali menyusuri Jalan Kaliurang, Suzuki Titan melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Kali ini bersama tanteku. Menuju Gardu Pandang, ini ketiga kalinya. Tidak ada yang spesial dari tempat ini. Petualangan yang tidak ada kisah seru dan tragisnya. Ku tinggalkan Gardu Pandang, menuju parkiran motor, dan dipertemukanlah dengan seorang penjaga parkir. Kita ngobrol asyik, dan jatuhlah satu pertanyaan yang dilontarkan dari tanteku, menanyakan salah satu Makam yang ada di bukit dekat kaliurang.
Pertamakalinya aku menyusuri jalanan ini, entah jalan apa. Pastinya menuju Makam salah satu kyai, bertanya pada setiap warga, setiap gang aku tanyakan. Mengikuti petunjuk dari warga, ku beranikan diri melaju meneruskan tekat tanteku.
Melewati sebuah jembatan yang menurutku eksotis, sebuah jembatan yang tepat dijadikan lokasi pemotretan atau tempat syuting, batinku saat itu. Kembali mengurungkan imajinasi yang seringkali berkeliaran kecil di kepala. Saat itu menunjukkan pukul 4 (kurang lebih), cuaca agak gelap. Tibalah dikaki gunung. Kesan pertamakali sampai, begitu MENYERAMKAN dan bulu kudukku berkali-kali berdiri tanpa sebab. Sepeda motor diparkirkan disebuah rumah kecil, rumah penginapan sederhana. Disinilah aku bertemu beberapa orang dari Semarang, Klaten, Gunungkidul dan Jakarta. Sempat terlibat obrolan kecil bersama mereka. Tidak begitu banyak. Suasana sepi.
Sekitar 4.30 aku dan tante menaiki kaki bukit. Melewati sebuah sungai begitu curam dan sangat besar. Sungai yang dipenuhi oleh material vulkanik letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu. Ya, ini pertamakalinya aku datang di sini. Kaki besiku dengan semangat menaiki bukit, melewati jalan setapak, melempar pandangan ke arah kiri terlihat sebuah jurang yang curam. Aku dan tanteku meneruskan, nafas terengah-engah itu pasti, bermandi keringat sudah pasti. Jalan yang ekstrim dan sedikit licin memaksa kita menaiki bukit dengan cara mengendap-endap, berpegangan pada akar pohon besar yang melintang. Bukit ini tidak seperti di Gunung Api Purba Nglanggeran yang banyak dibantu dengan tali dan dibuat tangga. Bukit ini benar-benar tidak ada alat pengaman sama sekali.
Sebuah pohon sebesar lenganku mencoba aku raih. Kakiku memancal dan lenganku yang kecil ini menarik tubuhku, dan HAP!! Aku berhasil naik jalan setapak yang ekstrim. Kembali meneruskan perjalanan. Cuaca semakin gelap. Sudah 30 menit tidak kunjung sampai puncak. Saat itu hewan mulai berderik, kabut mulai menebal. Suasana angker semakin terasa. HIPOTERMIA, itulah yang aku takutkan ketika kabut mulai tebal, kepalaku mulai pusing, dehidrasi tiba-tiba menyerang (tidak bawa apapun, karena ini dadakan naik bukit). Tanteku masih bersemangat, dan aku mencemaskan kecelakaan saat pendakian.

Monday, February 3, 2014

MEMAAFKAN DIRI SENDIRI



Saat marah pada orang, lebih tepatnya kita sedang marah pada diri sendiri. Hal ini terjadi karena
1. kita tidak bisa memahami orang lain, atau orang lain anda inginkan memahami anda. Marah itu terjadi karena kita belum mampu menerima kenyataan

2. kenapa marah pada oranglain, tetapi mengorbankan diri sendiri? => itu terjadi karena kita memberontak pada diri sendiri yang masih belum bisa menerima poin 1 tadi

3. kenapa kita berubah pikiran? karena kita sebagai manusia selalu memiliki pertahanan pembelaan diri, pembelaan yang melindungi diri sendari dari ancaman luar, dari todongan kata-kata orang, dari norma soial yang berlaku, dari stereotip mayarakat.

4. kenapa kita masih tetap marah tanpa alasan? (marah yang tak beralasan), karena kemarahan kita tidak memiliki hak untuk menyalahkan orang lain, karena orang lain itu sebenarnya sama. sama-sama memiliki hak, kau marah karena ingin menuntut hak orang lain (kau tidak bisa melakukannya, karena kau tahu persis hak mereka), kau juga bukanlah bagian hidup darinya, jadi tidak ada kewenangan untuk marah dan mengingatkannya.

Masih marah? maafkanlah dirimu sendiri tanpa kau sadari. Kita itu yang sakit jiwa. Sembuhkan diri kita sebelum menuding oranglain yang salah dan harus diobati.

OBOR DAN HUJAN




Aku pernah melewati jalan setapak ini. Remang-remang, hanya sinar rembulan, sinarnya tidak sampai ke bumi. Karena tertutup oleh mendung. Aku harus segera sampai desa sebrang, ada Ayah yang menungguku di sana. Dia membutuhkan obor yangku bawakan ini.

Membawa bekal seadannya, ku bawa obor pesanan Ayah. Aku mengendap-endap jalanan, meskipun aku membawa obor, jalanan terlihat silau. Langkahku sempat terhenti sejenak. Terhenti karena gerimis turun, semakin lama semakin lebat. Padahal obor ini harus segera diantar ke temat Ayah. Tadi ibu sempat berpesan, “Apapun yang terjadi, obor ini harus sampai ditangan Ayah tetap menyala,” pesan ibu nampaknya membuatku terhenti, berfikir ulang. Tidak mungkin aku menembus hujan, sekalipun aku menembus hujan, obor akan mati ditengah jalan.

Aku sempat berhenti beberapa saat, menanti hujan reda dan segera aku berlari mengantarkan obor kepada Ayah. “Jangan terlalu lama, ayah menunggumu,”. Hujan terus turun tak henti, halilintar sesekali menyambar, aku masih berfikir, aku gundah dengan pesan ibu dan memikirkan kondisi ayah di sana yang ketakutan dengan gelap.

Aku tidak boleh diam menanti hujan reda, karena hujan ini tidak tahu akan berhenti kapan. Jika aku menerjang hujan dan tetap berlari, obor akan mati sepanjang perjalanan. Hujan akan memadamkan bara api obor. Sedangkan ibu berpesan agar obor jangan sampai padam. Ketika aku menunggu hujan reda, aku bisa membayangkan ayah di sana ketakutan, dan aku tidak mungkin membiarkan ayah ketakutan sendirian di sana. Lagi-lagi aku memikirkan orang-orang yang aku sayang.

3 BOLA DI KAPAL



Foto : Elisa

Tiga bola disebuah kapal. Tiga buah bola yang tidak pernah dimainkan olehku. Aku tahu bola itu tidak terlalu buruk bentuknya. Tiga bola ini bergerak bebas, bergerak mengikuti gelombang ditengah lautan. Ketika gelombang datang bola itu bergerak saling mendekat, terkadang saling berjauhan terkadang ketiganya saling bertabrakan hebat (tergantung gelombang ombak di tengah lautan). Aku menikmati pergerakan bola itu di atas kapal

Suatu hari ketika aku bermain teman yang sama denganku, anak nelayan yang tinggalnya bersebelahan. Ketika aku mengikuti berlayar mencari sebuah ikan, aku juga melihat dua bola temanku. Saat waktu makan siang, aku duduk di dek kapal, saat ombak datang, satu bola berlarian, dan bola satunya tetap berada di tengah tiang kapal, bola diikat oleh jaring bola yang diikatkan di tiang. Bola tidak bergerak seperti satunya. Kasusnya berbeda dengan bola yangku miliki. 

Ku kembali pulang, dan ikut ayah berlayar lagi. Tiga bola itu masih terongokkan di dek kapal. Bekejaran satu sama-lain saat kapal kembali terpelanting ombak besar, terkadang tiga-tiganya saling bertemu dan akirnya berpencar lagi. Begitu terus menerus. Akan terulang dan terulang. Begitupun yang terjadi pada dua bola di kapal teman. bola itu tetap tidak bergerak dan saling bertabrakan secara dramatis meskipun ombak nyaris menelungkupkan kapal. Ada satu bola yang tetap berada di posisi semula, dan bola satunya mengelinding entah kemana, hingga akhirnya bola satunya pun bertemu kembali ditiang dekat bola yang terikat oleh jala, akan tetap berhenti disitu saat tidak ada ombak, jika ombak kembali, akan mengelinding lagi dan saat ombak kembali tenang akan kembali di dekat bola yang terikat.

Aku dibuat berfikir dengan tiga bola milikku. Aku diam, masih memfikirkannya agar ketiga bolaku ini tidak menganggu aktifitasku dengan ayahku saat menjaring ikan-ikan. Saat ikan-ikan itu mulai kita angkat, bola itu terus saja bergerak, sehingga mengganggu, menambah keribetan kita saat berlomba-lomba meraih ikan yang mencoba lepas dari jaring.

Cara yangku lakukan hanya membuat pembatas seperti milik teman sepermainanku. Agar bola-bola ini tidak saling berbentur dan tidak menganggu ayah saat mengambil ikan. Aku ingat ketika ayah memiliki beberapa penawaran, saat aku, kakak dan adik memiliki permintaan yang berbeda-beda, sedangkan Ayah hanya memiliki nasi dan ikan asin. Ayah binggung menuruti permintaan kita bertiga, biasanya yang ayah lakukan adalah meletakkan makanan tersebut di depan kami. Ayah tidak peduli apakah kita akan memakan atau tidak. Awalnya kita bertiga tidak ingin mengambilnya, namun setelah melihat kerja keras ayah selama ini menghidupi kami, akirnya kakak mengambil dan memakannya dengan nikmat.