 |
Curamnya Medan |
Kembali
menyusuri Jalan Kaliurang, Suzuki Titan melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Kali
ini bersama tanteku. Menuju Gardu Pandang, ini ketiga kalinya. Tidak ada yang
spesial dari tempat ini. Petualangan yang tidak ada kisah seru dan tragisnya. Ku
tinggalkan Gardu Pandang, menuju parkiran motor, dan dipertemukanlah dengan
seorang penjaga parkir. Kita ngobrol asyik, dan jatuhlah satu pertanyaan yang
dilontarkan dari tanteku, menanyakan salah satu Makam yang ada di bukit dekat
kaliurang.
Pertamakalinya
aku menyusuri jalanan ini, entah jalan apa. Pastinya menuju Makam salah satu
kyai, bertanya pada setiap warga, setiap gang aku tanyakan. Mengikuti petunjuk
dari warga, ku beranikan diri melaju meneruskan tekat tanteku.
Melewati
sebuah jembatan yang menurutku eksotis, sebuah jembatan yang tepat dijadikan
lokasi pemotretan atau tempat syuting, batinku saat itu. Kembali mengurungkan
imajinasi yang seringkali berkeliaran kecil di kepala. Saat itu menunjukkan
pukul 4 (kurang lebih), cuaca agak gelap. Tibalah dikaki gunung. Kesan pertamakali
sampai, begitu MENYERAMKAN dan bulu kudukku berkali-kali berdiri tanpa sebab. Sepeda
motor diparkirkan disebuah rumah kecil, rumah penginapan sederhana. Disinilah aku
bertemu beberapa orang dari Semarang, Klaten, Gunungkidul dan Jakarta. Sempat terlibat
obrolan kecil bersama mereka. Tidak begitu banyak. Suasana sepi.
Sekitar
4.30 aku dan tante menaiki kaki bukit. Melewati sebuah sungai begitu curam dan
sangat besar. Sungai yang dipenuhi oleh material vulkanik letusan Gunung Merapi
beberapa tahun yang lalu. Ya, ini pertamakalinya aku datang di sini. Kaki besiku
dengan semangat menaiki bukit, melewati jalan setapak, melempar pandangan ke
arah kiri terlihat sebuah jurang yang curam. Aku dan tanteku meneruskan, nafas
terengah-engah itu pasti, bermandi keringat sudah pasti. Jalan yang ekstrim dan
sedikit licin memaksa kita menaiki bukit dengan cara mengendap-endap, berpegangan
pada akar pohon besar yang melintang. Bukit ini tidak seperti di Gunung Api
Purba Nglanggeran yang banyak dibantu dengan tali dan dibuat tangga. Bukit ini
benar-benar tidak ada alat pengaman sama sekali.
Sebuah
pohon sebesar lenganku mencoba aku raih. Kakiku memancal dan lenganku yang
kecil ini menarik tubuhku, dan HAP!! Aku berhasil naik jalan setapak yang
ekstrim. Kembali meneruskan perjalanan. Cuaca semakin gelap. Sudah 30 menit
tidak kunjung sampai puncak. Saat itu hewan mulai berderik, kabut mulai
menebal. Suasana angker semakin terasa. HIPOTERMIA, itulah yang aku takutkan
ketika kabut mulai tebal, kepalaku mulai pusing, dehidrasi tiba-tiba menyerang
(tidak bawa apapun, karena ini dadakan naik bukit). Tanteku masih bersemangat,
dan aku mencemaskan kecelakaan saat pendakian.