Foto : Elisa |
Aku mencoba mengigat-ingat
kapan pertamakali kita bertemu, bagaimana kita bertemu dan hingga akhirnya
kesan, simpat dan kekaguman itu muncul dengan sendiri. Aku tahu aku orang yang
begitu ramai, ibarat seperti burung kutilang yang selalu bersiul-siul setiap
pagi. Ada banyak hal yang dibicarakan. Selalu saja banyak pertanyaan yang aku
lemparkan.
Aku mencoba mengingat-ingat
ketika aku mencoba melukai dan menumbuhkan bibit-bibit benci di hati. Entah saat
itu mungkin yang terpikirkan kau sangat benci padaku, atau sebaliknya. Sebelum akhirnya
(mungkin) tetap tidak bisa membenciku,
karena tidak pernah niatan untuk menyakiti. Ditengah kebencian masih saja
muncul kerinduan sehingga sesekali kau datang.
Aku mencoba
mengingat-ingat, saat itu aku juga berfikir. Perasaan bersalah dan menjadi orang
yang paling jahat sedunia adalah pikiran yang terpatri pada saat itu. Ku coba
ingat lagi dan ingat lagi, hampir masalalu semuanya orang-orang introvert yang
sangat sulit aku pahami. Tenang pembawaannya, tidak banyak bicara. Melatih dan
mengajari bagaimana bersikap dengan orang-orang berdarah dingin dan
berpembawaan tenang seperti ini.Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi tidak bisa
aku ingat, ternyata aku mulai akrab dan mengenali orang-orang introvert.
Aku mencoba
mengingat-ingat pertemuan pertama yang penuh diam. Tidak! Tidak!, pertemuan
pertama yang mungkin aku mencoba untuk banyak berbicara, berbicara apapun itu. Ku
ingat dan ku ingat lagi, aku melemparkan pertanyaan remeh temeh demi mengusir
rasa sepi. Aku asal bertanya yang sebenarnya pertanyaan yang sengaja aku
ada-adakan. Tidak hanya itu, terkadang aku juga menceritakan cerita konyol
dalam hidup untuk mengusir kesepian, menghindari spasi yang terlalu senjang.