Tuesday, December 20, 2011

Pengangguran Terdidik Stop Sampai di Sini!


Berawal dari dialog ringan, penulis mencoba mengamati tingkah laku pelanggan yang datang di tempat kerja penulis. Ketika penulis mengajukan pertanyaan tentang alasannya mengambil jurusan keguruan adalah ingin menjadi seorang guru PNS. Perlu di garis bawahi di sini ketika penulis melakukan sedikit debatan, 70% mereka mengambil jurusan itu agar bisa menjadi guru pegawai negeri karena tergiur oleh gaji yang di tawarkan oleh pemerintah.
Kemendiknas mencatat sekitar 30 persen lulusan PT menganggur. Periode 2009-2010 lalu, jumlah lulusan PT (baik negeri dan swasta) pengangguran mencapai 600.000. jumlah ini mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sebab rata-rata pertahun 30% dari 200.000 mahasiswa yang diwisuda tidak terserap.
LIPI mencatat mahasiswa yang mengalami setengah pengangguran mengalami peningkatan lima tahun terakhir. Dari 29,64 juta orang pada 2005 menjadi 32, 8 juta pada tahun 2010. diperkirakan 2011 jumlah warga dengan kategori setengah pengangguran diproyeksikan meningkat menjadi 34,32 juta orang.
Salah satu contoh adalah jurusan Keguruan PGTK di Universitas Negeri Yogyakarta setiap angkatan kurang lebih menampung 240 mahasiswa. Setiap tahun sekolah ini harus menempatkan atau mengutus mahasiswa untuk mencari tempat PPL mereka sebagai syarat kelulusan dan bekal kedepan.
Belum lama, di salah satu Lembaga SMP RSBI di dekat tempat kerja, satu Lembaga Pendidikan didatangi mahasiswa yang sedang PPL sekitar 15 orang perbulan, ini terjadi pada satu kampus. Di sekolah SMP RSBI tersebut tidak hanya dari kampus UNY saja, tetapi ada dari UIN, UGM dan beberapa kampus lain. Jadi satu sekolah terdapat kurang lebih 3 Instansi kampus.
Dengan kata lain, jurusan keguruan yang sekarang sedang naik daun, beberapa tahun ke depan akan mengalami kebosanan, atau bahkan terjadi overload peserta didik. Hal ini di dukung bahwa pemerintah di perkirakan tidak akan mengaji para pegawai PNS yang sudah pensiun, dan akan kwalahan mengaji para PNS baru.
Di sisi lain, semakin banyak permintaan dan jurusan khusus PGSD, PGTK ini, maka akan semakin melahirkan pengangguran terdidik yang lebih banyak. Hal ini mengingat ketersediaan Lembaga Pendidikan strata SD, SMP, dan SMA lebih terbatas dibanding kuota pelamar.
Dapat dilihat dari kasus yang penulis paparkan di atas menunjukkan ketidakberesan pada Sistem dan SDMnya. Terjadi semacam kesalahan persepsi yang berkembang pada masyarakat. Dimana persepsi itu menjadi sebuah dokma. Dokma yang mempengaruhi pola pikir masyarakat pada kesalahankaprahan.
Lembaga Pendidikan sejak awal tidak terlalu menekankan pada etos dan skill anak didiknya. Lembaga Pendidikan lebih terfokus mengasah pikiran. Dalam hal ini contoh konkritnya adalah lembaga pendidikan SD, SMP dan SMA.
Berawal dari tuntutan lembaga pendidikan yang menekankan pada hasil nilai yang bagus dari mereka, maka para peserta juga terfokus hanya bagaimana mendapatkan nilai yang diharapkan. Bahkan mereka cenderung mengesampingkan cara-cara untuk mencapai target.
Fakta yang mengejutkan, sekolah SMP standar RSBI yang terkenal peraturan yang ketat dan disiplin itu di dapati bahwa mereka melakukan contekan massal. Cara yang mereka lakukan pun simple, yaitu memfotocopi materi menjadi lebih kecil 50% dari hasil aslinya.
Contoh mencontek, bila di ambil esensinya, akan muncul sebuah pertanyaan “Untuk apa sebuah nilai. Toh… nilai tidak menandakan kepandaian dan tidak juga dapat mengukur kemampuan pada esensinya?”. “Untuk apak ada ujian semester jika hasilnya mencontek hampir dilakukan oleh seluruh murid. Bahkan pengajar pura-pura menutup mata dengan aksi curang. Lalu untuk apa Ujian?”.
Nilai tidak mencerminkan kepandaian, dan apakah benar nilai tertinggi itu benar nilai murni. Kebanyakan orang mengejar nilai bagus dengan alasan pekerjaan. Toh banyak pula orang yang tidak pandai dalam pelajaran juga bisa sukses. Bisa mengapai mimpinya. Haruskah orang sukses itu di kata sukses jika ia juara dalam pelajaran di kelas?. Hal inilah yang menyebabkan penulis tergelitik. Mencoba menelaah, mencoba merefleksikan kembali bahwa ada yang harus di benahi bersama di sini untuk kita diskusikan.
Faktor Penyebab
Terjadinya pengangguran terdidik ini diakibatkan karena niat mereka yang salah. Kemampuan mereka menganlisis masa depan meleset. Adapun dari mereka dengan dalih keterpaksaan ingin menyenangkan orang tua. Agar di bilang menjadi anak yang berbakti, dan karena gengsi terhadap lingkungan.
Faktor penyebab para mahasiswa tetap kuliah adalah faktor internal. Dimana dalam faktor internal ini dari awal mahasiswa memang hanya bertujuan kuliah hanya ingin mendapatkan beberapa hal sebagai berikut
1. Ijazah Jimat terampuh
Selembar ijazah. Setelah mendapatkan ijazah melamar pekerjaan dengan upah yang besar. Biasannya mereka mengesampingkan kemampuan secara riil yang ada pada dirinya.
Ijazah merupakan tiket terampuh dalam dunia lapangan. Ijazah ini pulalah yang sebenarnya tidak menjamin dia memang benar jenius dan pintar atau pas-pas-san. Sering kali nilai ijazah yang tertera tidak sesuai dengan kemampuan aslinya, alias proses untuk mendapatkan nilai itu melalui cara-cara curang.
2. Narsis
Alasan klise bagi mereka yang kuliah agar di pandang lebih di masyarakat. Title dan gelar yang di dapatnya bisa menjadikan dia ditempatkan pada kelas sosial yang lebih terhormat.
3. Bentuk kepatuhan kepada orang tua
Seperti teman saya, akhirnya ia memutuskan kuliah karena perintah orang tua. Ingin di bilang menjadi anak yang patuh terhadap orang. Mahasiswa mengesampingkan cita-cita yang diinginkannya tanpa memberikan penjelasan dan kompromi dengan orang tua.
sisi faktor lain kenapa orang tua demikian juga di karenakan anaknya di sebut bodoh, miskin.
Para orang tua juga ikut berperan dalam perubahan psikologi sosialnya. Tentunya seorang orang tua ingin selalu duduk sama rendah/sama atas dengan orang tua lain. Sehingga kuliah bukan murni karena ingin mendapatkan cita-cita, dan menempa ilmu secara esensinya.
Dari beberapa faktor penyebab inilah komudian lahir perasaan konfromnitas yang terjadi pada masyarakat. Konformnitas inilah yang sudah membudaya. Dalam Psikologi sosial Konformnitas ini sangat erat pengaruhnya. Misal seseorang kuliah karena teman di lingkungan banyak yang kuliah. Sehingga mendorong orang untuk tetap kuliah agar di pandang sama. Hal ini juga berlaku untuk orang tua si mahasiswa.
Tidak hanya itu, bagi mereka yang kuliah karena tuntutan kemauan orang tuanya hanya akan menjadikan kuliah adalah syarat mencari legalitas yang syah bernama ijazah. Menjadi ijazah lulusan PT sebagai alat peruntungan dalam memasukkan lamaran pekerjaan.
Dilihat dari aspek Akademik, Ijazah memang mempunyai harga mati. Ijazah sebagai kunci modal utama. Para orang tua berasumsi apabila anaknya kuliah hingga perguruan tinggi dan mendapatkan ijazah, maka kelak akan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dengan gaji tinggi.
Orang tua menuntut anak untuk belajar, mengikuti les. Tidak hanya itu, bagi para orang tua rela mahasiswa mengirim biaya pendidikan kuliah. Alih-alih uang yang seharusnya untuk keperluan kampus di selewengkan ke hal-hal yang lain. Orang tua percaya begitu saja karena sepengetahuan untuk biaya kuliah.
Inilah dampak dari tujuan awal yang salah. Persepsi umum yang di pelihara pada tempat yang salah akan mengakibatkan keputusan yang salah. Dilihat dari aspek lapangan pekerjaan, para fresh greduate ini jarang mendapatkan kesempatan kerja karena lapangan kerja dalam iklannya sebagian besar mencari orang yang sudah berkompeten dan mempunyai pengalaman kerja. Sehingga para lulusan terbaru mengalami kesulitan dan menganggur.
Aspek lain sebagian besar mahasiswa menganggap lulusan/ijazah mereka sebagai kemampuan yang harus dibayar mahal oleh perusahaan. Mereka merasa bisa bersaing dan terjun lapangan dengan hasil yang baik. Sedangkan perusahaan menilai bukan dari gelar yang di perolehnya, tetapi dari kualitas diskripsi dan menempatkan dirinya di dunia kerja. Dimana dunia kerja tidak ubahnya lulusan mahasiswa seperti SMA.
Nilai tambah dalam hal ini adalah keaktifan dan kejelian para fresh graduate dalam setiap kesempatan. Dunia kerja tidak selamannya aktif memberikan kesempatan secara terbuka di media. Peran nilai penting di sini lulusan PT harus aktif menanyakan dan memasukan lamaran.
Jadi dari ulasan dan pemikiran kritis yang mencoba penulis tulis di atas, menggambarkan serumit itulah pertempuran yang mengarah pada zona aman. Dari peliknya permasalahan tersebut, seorang lulusan yang baru mempunyai pengalaman sedikit, kita harusnya mempunyai kemampuan intraprenership.
Intraprenership disini lebih menekankan pada kemampuan yang optimal dari dalam diri anda untuk menggubah orang-orang di sekitar anda. Kemampuan untuk menjadikan diri anda sebagai model pembawa perubahan positif.
Anda bukan sebagai korban menunggu kematian, tetapi anda menjadi pemain yang harus memainkan detik kematian menjadi hidup kembali abadi karena kegigihan dan prinsip-prinsip anda yang membawa perubahan. Menyumbangkan ide dan pikiran itu lebih memuaskan.
Elisa, 14122011

Pojok Motivasi Lewat Catatan Tuhan.
by Elisa Berdzikir, Berfikir dalam roda kehidupan.
Salam Semangat! Dari Elisa, CP : 085327125712.
ajang Share demi perbaikan bersama ^_^

Thursday, December 1, 2011

Sebuah Kisah Nyata SANG AYAH MENANGIS KESAKITAN



-->
Sepasang suami istri mempunyai delapan anak. Kedelapan anak ini merantau di Negeri Orang. Hanya tinggalah di rumah seorang anak yang tetap tinggal bersama Ayah dan Ibunya. Profesi anak ini bekerja di bengkel montor kecil. Gajinya di bawah UMR. Gajinya habis hanya untuk biaya transport. Yah dia adalah tetangga penulis sendiri.
Ketujuah anak yang lain sudah berkeluarga. Di perantauan mereka hidup serba terbatas pula. Gaji mereka habis untuk keperluan rumah tangga mereka sendiri.
Pada suatu waktu, sang Ayah yang dahulu setahu penulis pintar berbahasa Inggris ini jatuh sakit untuk yang pertamanya. Waktu berjalan tak menghiraukan konsekwensi setiap umat. Sakit sang ayah ternyata tidak kunjung sembuh. Hipotesis sementara dari penulis penyebab sakit ini di sebabkan karena konsumsi obat-obatan yang berlebihan disertai dengan merokok yang banyak.
Akibatnya kini sang ayah sakit-sakittan. nyarisnya sang istri tidak segera mencoba memeriksakan secara tanggap untuk berobat. Sang istri melakukan ini karena terkendala dengan biaya.
Tengah malam setiap kali penulis susah tidur, penulis mendengar dari balik tembok. Tembok yang terpisahkan oleh gang sempit sekitar 1 meter ini terdengan suara parau. Semacam suara rintihan, kadang keluhan. Sesekali batuk memenuhi kesepian malam. Batuknya terkekeh-kekeh. Terdengar tersengal-senggal.
Sebulan yang lalu, penulis ingat betul saat itu baru pulang lembur di rentalan kakak sekitar 23.40 WIB. Ibu penulis menyampaikan kabar duka bahwa Sang Ayah tetangga di bawa kerumah sakit, dan di Opname.
Penulis diam dan berfikir di atas tempat tidur dan mendekap tas gendong. Berfikir dan bercabang pikirannya kemana-mana. Sedikit penulis jengkel dan nanar. Sebuah nanar yang disebabkan perasaan iba, namun tidak ada yang dapat penulis lakukan untuk menolong.
Bahkan sawah satu-satunya dijual untuk biaya opname. Dokter menyatakan bahwa penyakitnya segera di operasi. Persoalan lain yaitu ketahanan tubuh sang ayah tidak memungkinkan untuk tetap diteruskan operasi karena terlalu lemas.
Dokter memutuskan tidak di operasi, tetapi setiap aktivitas dalam tubuhnya di kontrol oleh selang. Sebelumnya maaf, seperti BAB dan BAK melalui saluran selang yang terpasang pada tubuhnya. Setiap 10-12 hari selalu kontrol.
Pernah ketika tiba waktunya kontrol, sang istri tidak membawa cek ke dokter, lebih tepatnya telat 3 hari akibat dana. Akibatnya BAK mengeluarkan darah. Pernah pula suatu malam ketika semua tertidur, dengan jelas jelas penulis mendngar tangisan lirih. Tangisan sakit yang tertahan. Malam itu tumpah ruah, dimana kala semua burung-burung berkicau, anak-anak kecil bermain di depan rumah penulis sang ayah menahan sakitnya, baik itu pagi, siang, sore.
Dalam diam malam itu penulis meletakkan HP yang sedang asyik FB an. Mata penulis menerawang dalam gelap kamar, menatap genting dan menangkap cahaya malam yang masuk ke dalam. Sesekali melihat dinding asbes yang sedikit bengkak. Pikiran menerawang. Hati kecilpun berceloteh banyak hal. Seandainya aku punya uang, ingin sekali membantu tetang. Ingin sekali tangis yang tertahan sang ayah berubah menjad sykur karena sembuh.
Kembali ke topik!!!!
Bercitalah sang Ibunda penulis ketika duduk mengamati Fafa (Seorang balita yang diasuh ibu) mendengar sang ayah dengan istrinya bercakap-cakap.
“Tolong coba masakkan makanan untukku”, kata sang ayah dengan menahan sakit
“Maunya juga begitu pak!. Tapi apa yang mau dimasak. Tidak ada yang dimasak”, jawab istri sedkit emosi.
BAYANGKAN, JAMAN SEKARANG MASIHKAH ANDA PERCAYA KEKURANGAN PANGAN??. Yah inilah lingkungan penulis dalam realitas.
Detik itu pula ibu penulis diam-diam menguping percakapan mereka. Ibu segera bangkit. Bergegas ke dapur. Saat itu ibu penulis bingung mencari makanan apa?. Yang ada di dapur juga tidak ada. Hanya ada beras cadangan untuk 2 hari yang akan datang. Ibu membagi beras itu menjadi dua, separuh diberikan tetangga yang sedang kesulitan itu.
Ibu penulis segera tergopoh gopoh lagi mencari “genter” (Tongkat panjang untuk memetik buah). Ibu memetik buah rambutan dan mangga yang ada di depan rumah. Yah… hanya beras dan buah ini yang kita punya. Ibu tidak peduli nasib keluarga penulis 2 hari yang akan datang seperti apa. Hanya yakin akan Tuhan saja modalnya. (Toh nyatanya penulis masih hidup, dan menuliskan cerita ini. itu berarti Tuhan melindungi keluarga penulis J).
Yah… inilah elegi hidup disekitar penulis. Seandainya aku diizinkan berteriak, maka ingin rasanya ku maki mereka yang tak sadar dengan amanat harta mereka, semacam harta yang di buang sia-sia. Harusnya ada rasa malu. (lho lho lho kok jadi terbawa emosi J. Pis… kembali ketopik!).
Ku tulis cerita ini bukan bermaksud mengumbar aib tetangga. Tetapi sebagai share, pembelajaran bersama. Juga sebagai masukan internal spriritual. Apapun keadaan yang sudah terjadi harus di syukuri. Sebelumnya penulis susah makan dan selalu pilih-pilih makanan. Dengan hadirnya kasus ini, penulis menyadari sesuatu hal pelajaran hidup yang besar. Keterbatasan bukan masalah. Asalkan sehat jasmani dan rohani semua menjadi barokah.
Sejak dulu penulis diharapkan pada roda kehidaupan yang melankolis, bahasa hancurnya “susah”. Mungkin maksud Tuhan agar apabila suatu saat penulis menjadi orang yang besar, penulis dapat memahami realitas yang seperti yang telah penulis lalui. Betul….????. Tuhan tidak akan main-main pada hambanya. Tinggal penulis dan Anda menyikapinya ;-).
Semoga tulisan ini memberikan hikmah bagi para pembaca. Ada kritik saran “monggo” (Silahkan) di utarakank. Masalah adalah pengantar seseorang dalam menuju pendewasaan yang bijak. Salam SEMANGAT dari Elisa.
Apa yang anda genggam, rasakan sekarang adalah anugrah dari Tuhan.
Baik itu buruk dan baik. Semua itu tetaplah yang terbaik bagi anda.
Jika anda sekarang tidak merasa tidak baik,
maka di waktu yang akan datang,
apa yang anda anggap tidak baik, akan membaikkan apa yang anda sangka tidak baik
(Elisa, 1 Desember 2011: 19.34WIB)