Aku Menulis Karena Aku Menyukainya



Foto : Elisa

Berlarilah Rima menuju ke kelas 2, Akuntansi 1. “Elisa mana? Kamu mengirim puisi di KR?” Tanyanya penuh heran. Aku sendiri hampir melupakannya, kalau pernah mengirimkannya. Yihu, benar saja, tepatnya tahun 2008, adalah Tahun yang paling berkesan bagiku. Di tahun inilah, Ibu memberi restu mimpi gila saya, yaitu menjadi seorang penulis. Sejak tiga tahun yang lalu, ibu tidak sepenuhnya merelakanku menjadi seorang penulis. Ini tiket satu-satunya yang bisaku jadikan tiket mengambil hati Ibu, bahwa “Aku bisa”. Waktu itu, saya masih duduk di bangku SMK, jurusan Akuntansi kelas 2.
Kenapa kamu ingin menjadi penulis? Apa enaknya menjadi penulis? Itulah pertanyaan klasik yang sering teman-teman lontarkan padaku. Jawabku seklasik pertanyaan mereka. Karena aku suka menulis
Karena Aku Suka
Karena Aku Suka Menulis, itulah alasan sederhana. Tidak ada alasan spesifik kenapa saya terobsesi menjadi seorang penulis. Padahal, sejak dibangku SD, bisa dibilang saya mengalami gangguan ADHD, susah konsentrasi, susah menuliskan kalimat dan bentuk kesulitan belajar yang lainnya.
Saat saya duduk di bangku SD, kelas tiga, saya masih belum bisa membaca dan menulis sama sekali. Sehingga, harus tinggal kelas. Saya mulai belajar mengeja dan menulis ketika dibangku kelas empat. Kelas enam, saya masih terbata-bata membaca.
Naik di bangku SMP, tidak ada perubahan signifikan. Hal yang pasti, saya mulai semangat belajar ketika dibangku kelas Lima. Saat duduk di bangku SMP kelas 2, karena alasan menghemat uang – lebih tepatnya karena diberi uang saku ortu super minim – saya sering ke perpustakaan sekolah. Sekedar membantu membersihkan Mbak Alfi. Pada suatu ketika, saya melihat satu buku terjemahan luar negeri.
Buku yang saya lupa judul dan penulisnya itulah, yang memotivasiku ingin memiliki komputer sendiri dan menulis. Padahal, kemampuan membaca, menulis waktu itu jauh lebih buruk dibandingkan teman-teman seusiaku. Berawal dari itulah, motivasi belajarku mulai terpompa hingga kekuatan superjet. Alasan klasik ini pulalah yang menyebabkan Ibu terlanjur underestimate terhadap cita-citaku ingin menjadi seorang penulis.


Karena Aku Pengembara Ilmu
Memang cita-citaku dari bangku SMP menjadi seorang penulis buku terkenal. Yihui, Saya sadar betul kemampuan saya. Mungkin saya orang yang tidak tahu malu, saya tetap maju, meski itu terlalu melulu. Tidak banyak babibu, saya mulai mencoba.
Uang jajanku terkumpul untuk biaya rental dan mengeposkan surat. Yah, namannya anak bandel sejak orok, waktu itu ibu memarahiku setiap kali mengirim naskah. Ibu marah karena, selalu minta uang lebih dan karyaku tidak ada hasil. Yes, sikap keras kepala dari orok tetap membangkang, diam-diam saya tetap melanjutkan visi mengirim tulisan ke surat kabar, tanpa sepengetahuan ortu.
Hampir tiga tahun, tidak ada satupun puisi dan cerpen yang dimuat di surat kabar. Jika dihitung, ada lebih 50 karya yang terbuang di tempat sampah redaksi. Hingga, di tahun ke-4, barulah membuatkan hasil.
Apa yang aku tulis adalah apa yang aku rasakan dan apa yangku pikirkan. Jika saya orang ‘tulul’ maka, aku akan menuliskan ke-tulul-anku. Jika saya gagal dalam melangkah, saya tuliskan kegagalan saya. Jika saya berhasil menorehkan sejarah, saya tuliskan faktor yang menyebabkan saya mencapai titik itu, berdasarkan interpretasiku sendiri.
Saya menulis karena saya tidak tahu. Dengan cara menuliskannya, saya akan mendapatkan timbal balik dari pembaca. Reaksi dari pembaca, disitu saya belajar dan mengkombinasikan dengan kehidupan nyata. Kemudian, menuliskannya kembali. Itulah alasan lain aku ingin menulis. Ada banyak hal yang harus kita tulis, bukan sebagai menunjukan seberapa hebat kita, sebagai monumental kisah perjalanan hidup kita. Karena, tulisan di masalaluku, akan kembaliku kenang di masa datang bersama anak-anak.

Menabung Amal Untuk Pulang
Kenapa kamu ingin menulis? Kenapa kamu betah seharian di kamar menulis? Gajimu sebagai penulis kecil, kelak kau akan makan dengan apa? Itulah pertanyaan klise yang lain. Di dalam benak saya, menulis akan menghasilkan uang banyak. Kenyataanya, menulis tidaklah sehijau hutan di hutan amazon yang hijau penuh dolar untuk kipas-kipas.
Hal yang paling saya ingat, saat mengikuti pelatihan menulis di Joglo KR bersama salah satu penulis. Satu pelajaran yang saya ingat, pekerjaan yang paling banyak faedahnya ada tiga, petani, guru dan penulis. Yihui, meski uang sedikit, tapi saya memiliki banyak tabungan untuk bekal pulang.
Menjadi seorang penulis memang tidak menjamin surga. Bahkan, menjadi seorang penulis juga tidak menjamin dia orang yang paling benar dan paling pandai. Seorang penulis itu hanya, menuliskan apa yang dituliskan dan apa yang dirasakan. Penulis itu juga bukan pembuat Kitab Suci yang isinya sebuah “pembenaran MUTLAK”. Penulis itu hanya menyampaikan persepsi dan gagasannya. Penulis itu juga tempatnya keliru. Penulis itu hanya ajang berbagi pandangan, yang apabila tidak sepandangan, boleh diabaikan.
Alasan klasik kenapa saya ingin menjadi penulis. Saya hanya suka dengan menulis dan menuangkan apa yang saya tahu dalam sebuah kata-kata yang mampu pembaca cerna dan pahami. Yah, itulah. Karena saya terlanjur jatuh cinta dengan menulis. Karena hidupku hampa tanpa menulis. Dengan menulis, sama saja saya sedang mengobati diri sendiri dari hiruk pikuk dendit di otak yang saling menabrak ingin dimuntahkan. Menulis itu sebagai katarsis yang menyelamatkan diri sendiri dari rasa represi dan lelah, sekaligus sebagai share bagi mereka yang merasakan hal sama.
Aku Menulis Karena Aku Menyukainya Aku Menulis Karena Aku Menyukainya Reviewed by elisa on Saturday, April 11, 2015 Rating: 5

No comments:

Sahabat

Powered by Blogger.